19. Wanita Pilihan

842 66 5
                                    

Setelah melihat kondisi rumah pondok sudah memungkinkan untuk ditinggali, aku jadi tak sabar untuk segera pindah ke sana, tetapi dia masih saja belum ada kepastian. Sekarang, kami berada di rumah orang tuanya setelah dari pondok. Setelah salat Ashar kami langsung ke sini karena Umi sudah menunggu. Kami tertidur pulas setelah membahas masalah rumah itu. Lebih tepatnya aku yang tertidur lebih dulu karena tak kuat menahan kantuk.

"Makan yang banyak, jangan malu-malu, Nis. Umi sengaja masak buat kalian karena tau mau datang." Umi membuka obrolan setelah meletakkan mangkuk berisi sayur, lalu duduk di antara kami.

Dia langsung meminta disiapkan makan siang oleh Umi saat tiba di rumah ini, mengingat kami belum makan siang karena kami menunda dan berakhir terlupa karena tidur. Ada hal yang membuatku heran darinya yang tak mau membangunkan aku saat tidur, kecuali untuk salat. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum untuk membalas ucapan Umi.

"Kapan jadi pindah, Umar?" tanya Umi pada anak sulungnya.

"Insyaallah pekan ini, Mi. Sayangku juga sudah siap." Dia menimpali.

Kenapa harus sebut itu di depan Umi, sih? Bikin aku tambah malu saja.

"Anis. Nanti kalau sudah tinggal mandiri terus ada masalah jangan dipendam sendiri, ya. Anis bisa cerita sama Umi kalau Umar bikin kesalahan, nanti Umi yang nasehatin. Kadang dia suka lupa waktu kalau sudah sibuk sama kerjaan. Tapi semoga setelah mengundurkan diri jadi dosen, dia ada banyak waktu buat Anis," terang Umi.

"Iya, Umi." Aku kembali mengangguk sambil tersenyum.

"Insyaallah, Umar akan terus berusaha jadi imam yang baik buat Sayang. Umar juga udah bilang, kalau ada apa-apa cerita saja dan jangan dipendam sendiri. Iya kan, Sayang?"

"Ih, Abang. Aku kan udah bilang." Aku meninju pelan pahanya, karena posisi kami bersebelahan.

"Umi selalu mendoakan yang terbaik buat rumah tangga anak Umi. Makanya Umi bilang sama Anis, jangan sungkan di sini. Rumah Umi rumah Anis juga, sama seperti anak Umi yang lainnya."

Obrolan kami terjeda saat pembantu hadir di antara kami, lalu menyampaikan jika Pak Lukman sudah datang dan akan langsung memetik buah rambutan di belakang rumah. Selain mengenai keluarganya, aku pun penasaran dengan rumah ini. Halamanya dan dalamnya saja sudah luas, lalu ditambah halaman belakang. Keluarga dia memang kaya. Buktinya saat ini adik kedua dia sedang kuliah di Yaman.

Setelah selesai menyantap makan siang yang merangkap makan malam, dia mengajakku untuk ikut ke belakang rumah, memetik buah rambutan. Sudah tentu aku mau karena tak ingin menyiakan kesempatan langka. Sesuai dugaan, halaman belakang rumah ini cukup luas. Pohon rambutan di belakang rumah berbuah banyak. Selain rambutan, ada beberapa pohon buah lainnya di sana. Dia langsung membantu Pak Lukman yang sudah lebih dulu ada di lokasi, sedangkan aku hanya duduk di teras sambil melihat pemandangan dua laki-laki beda usia tengah memetik buah rambutan.

"Biasanya, dia paling nggak mau kalau disuruh metik buah rambutan."

Aku menoleh ke sumber suara. Umi terlihat berdiri di sampingku. "Emang kenapa, Mi?" tanyaku memastikan.

Umi berjalan melewatiku, lalu duduk di kursi kosong sebelah kiri. "Dia pernah jatuh karena digigit semut. Nggak Umar, Yuda, atau Hamzah nggak ada yang berani manjat pohon rambutan itu sampai sekarang."

"Selain itu, apalagi yang Bang Umar takutin?"

"Umar alergi bulu kucing. Jangan heran kalau nanti dia nggak berani sentuh atau dekat-dekat dengan hewan berbulu. Dia bukan takut, tapi hanya menghindari saja."

"Bu, dicari Bapak."

Obrolan kami terpotong saat pembantu menyampaikan pesan tersebut. Umi langsung beranjak dari kursi, lalu pamit padaku untuk memenuhi panggilan Abi. Aku kembali sendiri di sini, menatap dia yang sibuk mengibas pakaiannya, lalu berjalan ke arahku sambil membawa segerombol rambutan yang masih merah dan segar.

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang