5. Pengakuan

851 78 0
                                    

Rasa percaya diri yang aku miliki perlahan luntur setelah membaca ulang CV dari Umar. Iya jika dia mau taaruf denganku, tapi bagaimana jika dia menolak? Bukan pesimis, melainkan sangat tipis kesempatan aku untuk bisa taaruf dengannya. Berbeda kondisi saat dia akan taaruf bersama Kak Isna. Apalagi selisih umur kita. Dia dua puluh tujuh, sedangkan aku baru akan masuk ke dua puluh tiga bulan depan. Besok, aku berniat mengirim CV langsung ke tempat Om Arif mengajar. Diterima atau tidak itu urusan nanti yang penting aku sudah usaha.

"Kalau masih ngantuk tidur lagi aja, Nis. Lagian ini hari libur."

Masalah satu belum selesai, aku justru menambah dengan masalah baru. Sepertinya lebih baik cerita pada Mama mengenai pekerjaan bahwa aku sudah mengundurkan diri. Lebih baik aku cerita agar beban pikiran berkurang.

Tubuh kutegakkan, menatap Mama yang masih membersihkan meja makan. "Maafin Anis, ya, Ma." Aku menunduk.

"Kok tiba-tiba minta maaf? Emang ada apa?" Mama memastikan.

"Sebenarnya, Anis sudah risegn dari kantor, Ma."

"Bukannya kamu mau pindah ke kantor cabang?"

"Ditolak, Ma. Alasannya karena Anis anak baru satu tahun. Ya sudah, sekalian saja Anis keluar. Udah lama juga Anis pingin keluar dari sana karena udah nggak betah. Belum lagi kontrakan naik lagi. Anis pingin kerja yang jaraknya nggak jauh dari rumah biar bisa pulang pergi."

"Gimana sama kelanjutan kuliah?"

"Kayaknya bakal ditunda lagi sampai Anis nemu kerjaan baru."

"Ya sudah nggak apa-apa. Satu tahun kerja di sana dan mau bertahan saja sudah hebat, apalagi harus mandiri. Mama memang lebih suka kalau kamu kerja nggak jauh-jauh, apalagi kamu anak gadis. Khawatir kenapa-napa. Semoga cepat dapat kerjaan baru yang dekat dengan rumah." Mama memberi nasihat.

Satu masalah selesai. Bangkai yang aku sembunyikan akhirnya terungkap. Aku bersyukur karena memiliki Mama yang tidak menuntut anaknya untuk seperti yang beliau mau. Dari awal pun aku sudah mendapat peringatan jika bekerja di sana, tapi aku kukuh dengan keputusan karena keinginan untuk menabung agar bisa kembali kuliah. Ternyata sampai saat ini keinginan untuk kuliah masih harus diundur.

"Anis nikah aja kali, ya, Ma," celetukku.

Senyum lebar menghiasi wajah Mama. "Ada-ada saja kamu, Nis. Kemarin ditawarin taaruf sama Nak Umar nggak mau."

Sebenarnya, ingin sekali cerita pada Mama jika aku menerima tawaran beliau untuk taaruf dengan Umar. Tapi aku harus sabar sampai mendapat jawaban. Semoga ini jalan terbaik yang harus aku lalui. Tunggu ya, Ma. Apa pun hasilnya, semoga tidak membuat Mama kembali sedih.

***

CV yang aku kirim sudah diterima Om Arif dan sudah diberikan pada yang bersangkutan. Sudah tiga hari aku menanti jawaban, tapi tak kunjung dapat, baik dari Om Arif atau Umar. Nomor telepon kami tertera di CV masing-masing. Aku hanya mencontek dari CV milik Umar, hanya isinya yang berbeda. Apa langsung aku hubungi saja untuk meminta jawaban? Tapi Om Arif menyuruhku agar tidak menghubunginya sebelum mendapat jawaban.

Hodie merah jambu senada dengan celana training sudah menghiasi tubuhku. Tak lupa sepatu kets menambah kesempurnaan penampilanku kali ini. Sibuk kerja membuatku lupa pada olahraga. Bahkan berat badan tak terkontrol, naik drastis. Pagi ini, aku ingin lari pagi mengelilingi kompleks rumah. Setelah rapi, aku bergegas keluar dari kamar. Tudung kutarik untuk menutupi kepala karena sengaja tak mengenakan jilbab. Ribet. Jika bukan perintah Papa, mungkin aku malas mengenakannya.

"Kamu mau ke mana pagi-pagi?"

Pertanyaan itu membuatku terkesiap, menatap ke arah Kak Isna. Dia terlihat masih mengenakan baju tidur. "Mau ke mol," balasku datar.

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang