23. Dua Kabar

712 52 6
                                    

Keadaan memaksaku untuk jauh dari rumah ini dan orang tercinta, sedangkan dalam hati terdalam menginginkan agar tetap di dekat mereka. Hal ini yang terkadang membuatku sedih dan ingin kembali di saat rindu menyapa. Tidak ada jalan lain untukku melakukan semua ini. Demi aku, Bang Umar dan Kak Isna.

"Makan yang banyak. Mama sengaja masak ini waktu tau kalian mau pulang."

Melihat perhatian Mama pada Bang Umar pun membuat aku iri sekaligus bahagia. Tak pernah aku melihat raut Mama seperhatian itu, bahkan pada anak-anaknya.

"Kata Anis, Nak Umar lagi sakit? Kenapa maksa buat ke sini? Kalau nggak bisa kan masih ada waktu lain buat pulang."

"Anis sudah bilang begitu, Ma, tapi Bang Umar maksa buat ke sini." Aku menyambar.

"Nggak apa-apa, Ma, biar sekalian izin liburnya sama Abi." Bang umar menimpali.

"Umi, Abi, sehat, kan?" tanya Mama mengalihkan.

"Alhamdulillah, sehat, Ma."

Aku hanya mendengar obrolan ringan antara mertua dan menantu kesayangan. Pilihan Mama memang tak salah. Bang Umar memang menantu idaman. Bisa aku lihat saat ini, bahkan tanpa ada nada paksaan setiap menjawab pertanyaan Umi. Tutur katanya lembut, tak hanya pada Umi saja, tetapi pada semua orang.

"Nis, kamu kenal Bima, anaknya Pak Ramli? Teman SMAnya Isna, katanya sering ketemu kamu kalau lari pagi?"

Bima? Ada apa Mama tanya mengenai dia? Di depan Bang Umar lagi.

"Nggak begitu kenal, Ma. Dia nyapa aja waktu Anis lagi lari pagi dan nanyain Kak Isna. Kenapa?" tanyaku balik setelah menjelaskan.

"Tiga hari yang lalu dia datang ke sini dan menyampaikan kalau dia suka dengan Isna sudah lama, tapi baru bisa menyampaikan sekarang karena alasan kesiapan. Dia berniat untuk serius jika diterima," ungkap Mama.

"Terus jawaban Kak Isna apa?" Aku penasaran.

"Mama nggak tau karena saat dia datang Isna belum pulang. Isna juga belum bilang apa-apa mengenai jawabannya sampai sekarang."

Aku menoleh sekilas ke arah Bang umar. Dia masih sibuk menikmati makanannya dengan ekspresi datar. Tatapanku kembali pada Mama. "Menurut Bang Umar gimana?" tanyaku pada suami. Penasaran dengan pendapatnya.

"Tunggu saja. Kita juga nggak boleh maksa Kak Isna. Dia berhak memilih tanpa paksaan. Apa pun jawaban Kak Isna nantinya, kita harus terima," balas Bang Umar.

Apa aku tanya langsung sama Kak Isna? Tapi aku khawatir akan jadi permasalahan lagi dengan hubungan kita. Sepertinya lebih baik aku diam saja dan nunggu penjelasan dari dia atau dari Mama. Ini privasinya. Aku nggak mau bikin keruh lagi hubungan kita.

***

Jujur, aku penasaran dengan jawaban Kak Isna mengenai tawaran Bima. Aku lihat, Bima memang sejak lama menaruh rasa pada Kak Isna. Buktinya saat aku lari pagi dan ketemu dia, yang dia tanyakan selalu Kak Isna. Atau jangan-jangan mereka pernah menjalin asmara sebelumnya? Apa ini rasa takutku saja?

Aku beranjak dari ranjang untuk kelaur kamar. Daripada sibuk memikirkan masalah Kak Isna, lebih baik aku mencari kesibukan di rumah ini. Biasanya di jam seperti ini Mama sedang sibuk menyiapkan makan malam. Sekaligus sambil menunggu Bang Umar pulang dari masjid.

Panjang umur. Orang yang sedari tadi aku pikirkan sudah ada di ruang makan bersama Kanaya. Aku berjalan cepat menghampiri meja makan. "Baru pulang, Kak?" tanyaku setelah tiba di dekat Kak Isna.

"Udah dari tadi," balasnya datar.

"Mama mau Anis bantuin apa?" Aku menawarkan bantuan pada Mama yang sedang berkutat di dapur.

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang