Memang terasa berat untuk meninggalkan rumah Mama, karena rumah itu memiliki banyak kenangan, tapi keadaan memaksaku untuk mengambil keputusan ini. Keputusan terbaik untuk aku, Bang Umar, dan Kak Isna. Lagi pula aku masih bisa ke sana jika rindu dengan Mama, sama seperti saat aku masih bekerja. Sejak kemarin, aku dan Bang Umar sibuk mengurus barang-barang yang akan dibawa ke rumah pondok. Sejak mengungkapkan janji jika akan selalu percaya padanya, aku mulai menyebut namanya di dalam hati sebagai tanda rasa percaya.
Senyum kusungging saat melihat bulir keringat menghiasi wajahnya karena sibuk menata barang bawaan kami dari rumah Mama. Barang-barang yang kami bawa sebagian besar adalah barang seserahan darinya. Mama yang menyuruh kami untuk membawa barang-barang itu dengan alasan barang itu milik kami, jadi kami berhak membawanya. Memang, kami membutuhkan sebagian barang-barang itu untuk mengisi rumah baru kami daripada harus beli. Setelah barang turun dari mobil dan dibawa masuk, dia menata sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku pun tak diperbolehkan membantunya, hanya boleh memberi masukan.
"Bang." Aku mengulurkan gelas berisi air putih setelah aktivitasnya selesai.
Dia membalikkan tubuh, lalu tersenyum sambil menerima pemberian dariku. "Terima kasih," ucapnya sambil duduk di ujung tempat tidur.
"Lanjut nanti saja, Abang pasti cape. Lagian udah mau Zuhur, Abang harus siap-siap buat salat berjamaah." Aku mengingatkan.
"Iya, Sayang. Abang lanjut nanti setelah salat Zuhur," balasnya setelah meneguk air putih pemberianku sampai tandas.
Suara bel dari arah ruang tengah menggema sampai ke kamar ini. Siapakah gerangan seseorang yang datang?
"Sayang," panggilnya saat aku akan beranjak keluar.
"Kenapa?" tanyaku memastikan.
"Itu santri antar makan siang. Abang saja yang temui. Sayang tunggu di ruang makan saja, ya."
"Oh, ya sudah."
Aku bergegas menuju ruang makan, sedangkan Bang Umar menemui santri. Sebelum pindah ke sini dia memberikan dua syarat padaku, salah satunya dilarang keluar dari rumah ini tanpa izin darinya. Syarat utamanya adalah penampilan. Dia meminta agar aku mengenakan gamis saat akan keluar dari rumah. Aku langsung setuju karena memang tak ada pilihan lain. Sudah tidak ada waktu untuk memikirkan pilihan. Lagi pula dia menjelaskan alasannya secara logis dan detail. Anggap saja itu sebagai bukti bahwa aku percaya padanya.
"Sayang suka kambing nggak?"
Pertanyaan itu membuatku menoleh ke sumber suara. Dia meletakkan nampan berisi makanan di atas meja. Aku segera menutup pintu kulkas setelah meraih botol berisi air putih, lalu menghampirinya sambil menggeleng. Nampan itu berisi seperti nasi kuning dan daging di atasnya.
"Sayang coba ini, nanti pasti suka."
"Nggak mau." Aku menolak.
"Enak, kok. Coba, deh." Dia mendorong nampan agar berada di tengah dan memudahkan aku untuk menjangkau.
"Nggak mau, Bang."
"Ya sudah, Sayang makan ayamnya saja, ya."
"Abang udah cuci tangan?"
"Astagfirullah."
Aku hanya bisa menahan senyum. Bisa-bisanya kali ini aku yang mengingatkan, biasanya dia yang lebih teliti. Sambil menantinya cuci tangan, aku menuang air ke dalam gelas. Dia sudah kembali dan duduk di kursi sebelumnya, lalu kami menikmati makan siang bersama. Ternyata bukan nasi kuning seperti dugaanku, melainkan nasi kebuli. Rasanya enak dan aroma khas rempah-rempah.
***
Apa yang tidak pernah aku lakukan dalam seumur hidup perlahan kulakukan. Contohnya salat Tahajud dan Duha. Aku sama sekali tak pernah melakukan keduanya, dan akhir-akhir ini mulai menunaikan tanpa paksaan dari siapapun, termasuk Bang Umar. Kehadiran Bang Umar dalam hidupku menghadirkan hal positif. Aku jadi rajin ibadah. Jika aku bertanya, dia akan menjawab dengan detail sampai ke ayat dan hadits. Aku sangat beruntung bisa menikah dengan laki-laki pintar seperti Bang Umar. Ada banyak kebaikan dari dirinya yang tidak kuketahui sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang Terjodoh (Tamat)
Teen FictionAnis Hasna Azizah terpaksa menerima perjodohan laki-laki yang seharusnya dijodohkan dengan sang kakak --Isnaini Hasna Safira. Laki-laki itu bernama Muhammad Umar Abdillah. Dia adalah putra sahabat ayahnya. Dunia seakan tak adil untuk Anis, selalu me...