"Siapa, Nis?"
Pertanyaan itu terdengar dari dalam saat aku akan memasuki rumah. Aku membalikkan tubuh, mengangguk pada laki-laki yang tak jauh dari posisiku sebagai tanpa pamit untuk masuk ke dalam. Tante Fia terlihat berjalan menghampiriku.
"Tamunya Om Arif." Aku menyampaikan.
Suara pagar terbuka mengalihkan obrolan kami. Sepertinya Om Arif pulang. Aku masuk ke dalam, sedangkan Tante Fia melanjutkan langkah untuk memastikan tamu yang datang. Suara mobil terdengar memasuki garasi. Aku kembali duduk di kursi sebelumnya, meraih gelas berisi sirup, lalu meneguknya. Hati masih diselimuti pertanyaan mengenai kedatangan laki-laki itu. Aku bersyukur karena Mama tak bisa ikut. Bagaimana jadinya jika beliau ikut lalu melihat laki-laki itu di sini?
"Nis, bantuin Ate siapin piring buat makan, ya. Ate mau bikin minuman buat Ustadz Umar." Tante Fia memberi instruksi saat tiba di ruangan ini.
Ah, nama itu akhirnya disebut. Benar. Dia yang datang ke sini. Muhammad Umar Abdillah. Laki-laki yang sudah menolak taaruf denganku. Akhirnya kami bertatap muka. Tak ingin terus memikirkannya, aku fokus membantu Tante Fia menyiapkan peralatan makan. Entah kenapa di dalam hati seperti ada yang mengganjal. Antara penasaran akan maksud kedatangannya sekaligus rasa kecewa telah ditolak. Jika saja kita tak bertemu, mungkin rasa kecewa itu tak kembali timbul.
Aku mengembuskan napas saat Tante Fia berlalu dari dapur sambil membawa nampan berisi jamuan untuk tamu. Berharap Tante Fia menugaskan aku untuk mengantarkan nampan itu, tapi harapan itu pupus karena beliau sendiri yang melakukannya. Kenapa aku menjadi seperti ini?
"Nis, dipanggil om kamu." Tante Fia menyampaikan saat kembali ke ruangan ini.
"Masih ada ...." Aku menggantukan kalimat. Malas menyebut namanya.
"Iya. Ke sana saja."
Maksud Om Arif apa manggil aku saat ada dia? Apa mengenai CV milik dia agar dibalikin langsung sama orangnya? Kenapa nggak Om Arif saja? Aku males ketemu dia.
"Loh, malah ngelamun."
Map segera kuraih dari dalam tas, berlalu dari ruang makan untuk menuju ruang tamu. Berulang kali mengembuskan napas untuk menenangkan hati yang seketika dilanda gugup. Sejenak, aku menghentikan langkah sebelum tiba di ruang tujuan karena di dalam hati masih terasa belum siap. Setelah cukup tenang dan merapikan pakaian, aku masuk ke dalam ruang tamu dengan raut terpaksa tenang.
"Duduk sini, Nis." Om Arif menginstruksiku agar duduk di sampingnya.
Langkahku terayun mendekati beliau, duduk sesuai instruksi, lalu mengulurkan map pada Om Arif. "Ini yang Om minta," kataku.
Om Arif menerima map dariku, lalu meletakkannya di atas meja. Aku hanya bisa menunduk, tak berani menatap laki-laki yang masih duduk di sofa tunggal. Sweter yang dia kenakan sudah dilepas, menyisakan kaus putih yang menghiasi tubuhnya. Dia terlihat sederhana di luar pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang Terjodoh (Tamat)
Teen FictionAnis Hasna Azizah terpaksa menerima perjodohan laki-laki yang seharusnya dijodohkan dengan sang kakak --Isnaini Hasna Safira. Laki-laki itu bernama Muhammad Umar Abdillah. Dia adalah putra sahabat ayahnya. Dunia seakan tak adil untuk Anis, selalu me...