8. Pengakuan

342 62 1
                                    

Sampai saat ini aku masih mencari waktu yang pas untuk terus terang pada Mama mengenai niat laki-laki itu untuk melamarku. Mama pasti senang mendapat kabar ini, tapi bagaimana dengan kesiapan hatiku? Aku masih berusaha memantapkan hati untuk menerima. Butuh waktu untuk memikirkan dengan matang mengenai lamaran. Dua mingguenurutku belum cukup. Tapi dia memberi waktu hanya sampai itu.

Dua hari ini aku seperti orang stres. Makan tak selera, banyak melamun, lebih banyak menyendiri, dan hal lain yang membuat diri ini terasa berat untuk dipikir. Mengungkapkan pada Mama pun masih enggan.

Suara pintu kamar ini terbuka membuat barisan strategi bubar seketika. Aku memejamkan mata agar tidak kembali mendapat pertanyaan dari Mama mengenai keadaanku. Suara langkah alas kaki semakin mendekat.

"Nis, kamu sakit?" tanya Mama. Suaranya terdengar sangat dekat.

"Agak nggak enak badan, Ma." Aku terpaksa bohong. Masih memejamkan mata.

"Mau periksa? Atau mau urut?"

"Nggak, Ma. Anis cuma butuh istirahat."

"Pantes dari kemarin kayak nggak semangat. Tadi Om kamu telepon, katanya mau ngomong sama kamu. Kenapa kamu nggak angkat telepon dari Om-mu?"

Dari semalam aku mengubah mode telepon menjadi diam, lupa mengubahnya kembali menjadi berdering. Tak heran jika telepon atau pesan masuk senyap. Aku sudah bisa menebak kenapa Om Arif menghubungiku.

"Anis lupa ubah mode dering karena pusing banyak SMS masuk dari temen. Nanti Anis telepon balik," jelasku.

"Ya sudah, kamu cepat bangun dan makan. Kamu belum sarapan. Ini sudah mau jam sebelas."

"Iya," balasku singkat.

Mama terdengar mengayun langkah untuk keluar dari kamarku. Apa aku bilang saja pada Mama sekarang?

"Ma," panggilku sebelum Mama membuka pintu.

"Kenapa?"

Aku menggigit bibir bawah. Ragu. Aku beranjak duduk. "Anis mau ngomong sesuatu sama Mama," ungkapku.

"Nanti saja. Mama lagi nunggu tukang sayur. Kayaknya sudah di depan."

"Penting, Ma."

"Ya udah, buruan." Mama terdengar tak sabar. Masih berdiri di sana.

"Sini lah, masa mau ngomong penting Mama malah di sana."

"Kamu ini, ya. Tinggal ngomong aja." Suara Mama terdengar kesal, tapi beliau menghampiriku.

Aku menghela napas, menyiapkan hati untuk mengungkapkan.

"Kalau Anis dilamar seseorang dua minggu lagi Mama setuju nggak?" tanyaku memastikan.

"Yang mau ngelamar kamu siapa? Jangan bercanda, deh. Mama mau belanja loh, Nis."

"Serius, Ma. Anis mau dilamar seseorang dan dikasih waktu dua minggu buat kasih kepastian kapan dia sama keluarganya boleh ke sini buat lamar aku."

"Bukannya kamu lagi cari kerja? Katanya mau kuliah? Kenapa tiba-tiba mau dilamar laki-laki? Kapan kamu pacarannya? Kamu nggak nutupi sesuatu dari Mama, kan?" cecar Mama.

Bibirku mengembang lebar. Mama memang tahu jika aku tak pernah pacaran, jadi tak heran jika beliau bertanya seperti itu. Mama masih memasang wajah tegas.

"Umar sama keluarganya yang mau ke sini buat lamar Anis, Ma." Akhirnya aku terus terang.

Hening. Mama terlihat kaget, bergeming.

"Jangan bercanda, Nis. Kamu loh langsung nolak waktu Mama tawarin buat taaruf sama Nak Umar."

"Biar Mama percaya, Anis telepon Om Arif sekarang, deh." Aku meraih ponsel di atas nakas, mencari kontak Om Arif, lalu menghubunginya.

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang