22. Cemas

327 58 7
                                    

Sepertinya, hujan-hujanan kemarin yang membuat Bang Umar demam dan flu. Dari semalam suhu tubuhnya naik, bahkan sampai saat ini belum turun. Aku sudah membujuknya agar ke dokter atau minum obat penurun demam, tetapi Bang Umar menolak, lebih memilih untuk dibuatkan teh hangat. Entah alasan apa yang membuatnya enggan untuk berobat, membuatku bingung harus berbuat apa. Lebih heranya, dia tetap melakukan salat berjamaah di masjid walaupun sedang demam.

Suara pintu terbuka di sertai salam membuatku segera beranjak dari tepi ranjang. Sudah kuduga jika Bang Umar akan segera pulang, mengingat kondisinya sedang kurang enak badan. Setelah mencium puncak kepalaku, Bang Umar langsung merebahkan tubuh di atas tempat tidur.

"Abang minum obat, ya, biar panasnya turun." Aku masih berusaha membujuk.

"Abang mau tidur saja, nanti juga enakan, Sayang. Hari ini libur dulu ngajinya, ya, Abang mau istirahat." Bang Umar langsung menarik selimut, lalu disusul suara bersin.

Apa lebih baik aku telepon Umi? Beliau pasti lebih tahu tindakan apa yang harus dilakukan saat Bang Umar sakit.

Aku meraih ponsel di samping bantal, lalu bergegas meninggalkan kamar untuk menelepon Umi. Dari pada aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa, memang lebih baik bertanya. Malu bertanya sesat di jalan. Aku mendaratkan tubuh di atas sofa, lalu segera mencari kontak Umi. Setelah menekan layar warna hijau, aku menempelkan ponsel pada telinga. Tersambung. Tak lama, kalimat salam menyapaku.

"Wa alaikumussalam," balasku ragu.

"Kenapa, Nis? Tumben pagi-pagi telepon?" tanya Umi.

"Mi, Bang Umar demam dari semalam. Anis bingung harus gimana, soalnya Bang Umar nggak mau minum obat dan nggak mau diajak ke dokter," aduku.

"Apa Umar habis hujan-hujanan?" tebak beliau.

"Iya. Kemarin kita nggak sengaja hujan-hujanan waktu mau pulang dari air terjun."

"Umar memang nggak pernah mau kalau sakit dibawa ke dokte atau minum obat, kecuali kondisinya memang sudah parah. Biasanya, Umi balurin minyak zaitun sambil dipijit dan dibikinin wedang jahe sama Bi Asih. Kalau nggak ada minyak zaitun bisa pakai minyak urut. Habis itu biarin dia istirahat, nanti kalau sudah enakan pasti bangun sendiri."

"Oh, gitu. Makasih, Umi. Anis jadi nggak begitu khawatir."

"Nggak apa-apa. Lagian baru pertama kali lihat Umar sakit, jadi khawatir kenapa-napa. Insyaallah, Umar nggak apa-apa."

"Iya, Umi. Anis minta maaf kalau sudah ganggu Umi pagi-pagi."

"Umi malah seneng anak mantu telepon. Jangan sungkan kalau mau nanya apa saja. Umi siap terima walaupun malam-malam."

"Makasih, Umi. Anis mau bikin wedang jahe dulu buat Bang Umar."

Sambungan telepon terputus setelah aku membalas salam Umi. Aku segera menuju dapur, memastikan bahan untuk membuat wedang jahe. Hanya ada wedang jahe instan yang dibeli Bang Umar tempo hari, karena aku tidak pernah memasak, jadi jangan harap ada bumbu dapur itu di rumah ini. Setelah membuat wedang jahe, aku membawanya ke kamar untuk diberikan pada Bang Umar. Saat aku tiba di dalam kamar, sosok yang aku cari tidak ada di atas tempat tidur.

"Bang," panggilku sambil berjalan menuju kamar mandi. Memastikan jika Bang Umar ada di sana.

Gumaman terdengar dari dalam sana. Syukurlah, setidaknya aku cukup tenang. Aku tak jadi mendekat ke kamar mandi, memilih kembali ke ranjang. Langkahku terhenti saat melihat sesuatu di lantai. Seperti bercak darah. Aku segera meletakkan mug di atas kursi, lalu kembali mengayun langkah menuju kamar mandi. Di saat yang sama pintu kamar mandi terbuka.

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang