17. Gejolak Hati

816 62 5
                                    

Sesuai janji, dia mengajakku makan malam di luar. Setelah salat Magrib, kami langsung berangkat setelah pamit pada Mama. Aku tak tahu dia akan mengajakku makan di mana, karena aku tak memiliki tempat rekomendasi untuk makan malam berdua dengan laki-laki, karena tempat yang biasa aku singgahi kebanyakan untuk anak nongkrong.

Saat ini, aku sedang menantinya di dalam mobil di parkiran masjid, sedangkan dia sedang salat Isya berjamaah di dalam sana. Aku tidak ikut salat karena tadi sore tamu bulanan datang, jadilah aku menunggunya di sini. Suara ponsel bergetar mengalihkan perhatianku. Ternyata dia tak membawa ponselnya. Aku menatap layar ponsel yang tergeletak di atas dasbor. Terlihat pesan masuk dari seseorang. Rasa penasaran menggelanyutiku untuk memastikan siapa pengirim pesan itu. Aku meraih benda pipih itu setelah memberanikan diri, lalu mengusap layarnya. Tidak dikunci. Seketika aku menyungging senyum saat melihat pemandangan layar ponsel miliknya, karena menapilkan foto ketika dia mencium keningku di saat prosesi ijab kabul. Setelah puas menatap layar utama ponselnya, aku membuka daftar pesan masuk. Dari sekian banyak pesan, tak ada satupun pesan dari wanita kecuali dari aku dan Umi. Rasa penasaranku semakin bertambah. Tidak mungkin hanya aku dan Umi. Aku membuka log panggilan. Sama. Di sana pun hanya beberapa orang yang dia hubungi dan yang lebih banyak adalah Umi. Kata-katanya tempo hari terlintas mengenai pacaran.

Pencarianku berlanjut pada kontak. Satu per satu aku sangat mengamati setiap kontak yang tersimpan. Aku terksiap saat pintu mobil terbuka, segera menekan tombol asal. Panik. Ponselnya masih ada di tanganku. Percuma saja jika aku meletakannya kembali, telanjur dia sudah melihat. "Tadi ada yang kirim pesan," ungkapku menutupi rasa gugup.

"Dari siapa?" tanyanya sambil duduk di kursi kemudi.

"Aku belum buka." Aku mengulurkan ponsel miliknya.

"Tolong buka dan bacain. Abang mau fokus nyetir."

Ini serius? Aku kira dia bakal marah karena aku bukan HPnya, tapi dia malah nyuruh aku buat buka dan baca pesan yang masuk.

"Nggak apa-apa kalau Sayang nggak mau, Abang nggak maksa."

Pikiranku buyar, lalu menatap ke arahnya. Entah kenapa perasaanku saat ini sulit untuk diungkapkan. Apa saat ini aku mulai jatuh cinta dengannya?

"Kenapa? Jangan bikin Abang khawatir." Dia menoleh sekilas ke arahku.

"Aku boleh peluk Abang nggak?"

"Kenapa harus izin?"

Aku segera memeluk lengannya, menyandarkan kepala pada lengan bagian atas. Usapan mendarat di kepalaku. Suasana mendadak hening. Entah aku yang terbawa suasana atau dia yang sengaja membuat suasana ini.

"Ada SMS dari Ustadz Reza, katanya laporan yang Abang minta sudah ditaruh di ruangan Abang," ungkapku perihal pesan masuk sambil mengurai pelukan.

"Tolong balaskan. Syukron," balasnya.

"Apa? Bisa ulangi?" Aku mengurai pelukan.

"Syu-kron."

"Abang saja deh yang balas, aku nggak tau, takut salah."

Ya sudah, nanti Abang yang balas."

"Bang."

Hanya gumaman yang dia berikan.

"Aku boleh lihat isi HP Abang nggak?"

"Boleh."

Kembali di luar dugaan. Dia benar-benar membuatku tak bisa berkata. Mungkin jika laki-laki lain akan menolak saat privasinya dibuka pacar atau orang lain, tapi berbeda dengan laki-laki satu ini. Muhammad Umar Abdillah. Laki-laki seperti apa, sih, kamu?

***

Kami sudah tiba di restoran pilihannya. Restoran ini terletak di daerah Jakarta Selatan. Jarak tempuhnya cukup jauh dari Bekasi, memakan waktu dua jam. Bagaimanapun aku tetap menghargai usahanya. Tempat ini cukup sepi dan nyaman. Seleranya cukup berkelas. Jika dinilai, tempat ini bukan untuk kalangan ke bawah, tapi lebih ke kalangan ke atas.

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang