4. CV Taaruf

384 62 0
                                    

Walaupun masalah itu sudah selesai, tapi bekasnya masih ada. Hubungan Mama dan Kak Isna seperti ada jarak. Aku bisa merasakan dari cara mereka berinteraksi. Apalagi akhir-akhir ini Mama lebih banyak diam. Seperti tadi pagi, wajah semua orang terlihat datar, termasuk aku. Ini tidak biasa. Biasanya, Mama selalu membuka obrolan dengan pertanyaan mengenai apa pun pada salah satu anaknya ketika di meja makan. Kenapa keluargaku menjadi seperti ini? Apa masalah itu yang merubahnya?

Langkahku terhenti saat melihat Mama duduk seorang diri di teras samping rumah dengan tatapan kosong. Melamun. Ada rasa sedih menghantuiku melihat Mama seperti itu. Beliau pasti masih merasa sedih dan kecewa meski keadaan sudah terlihat baik-baik saja, tapi tidak untuk hatinya. Aku melanjutkan langkah, menghampiri beliau untuk membubarka lamunannya.

"Mama ngelamunin apa?" tanyaku agar lamunan Mama buyar.

Ekspresi kaget terlihat dari wajah beliau. "Mama nggak lagi ngelamunin apa-apa," tepis beliau.

Aku duduk di tepi pot kotak permanen yang menempel pada dinding, menjeda obrolan sebelum berlanjut ke pertanyaan serius.

"Kamu akhir-akhir ini sering banget pulang cepet dan lebih banyak waktu di rumah. Nggak lagi ada masalah sama kerjaan, kan?" tebak Mama.

Akhirnya Mama merasa jika sekarang aku lebih banyak di rumah. Rahasia itu masih tersimpan rapat. Entah sampai kapan aku akan menyembunyikannya dari semua orang di rumah ini. Yang pasti tidak lama lagi akan terungkap. Aku masih diam. Bingung akan membalas apa.

"Mama masih sedih, ya, gara-gara Kak Isna nggak jadi dijodohin sama Umar?" tanyaku mengalihkan pertanyaan Mama.

"Nggak. Kata siapa Mama sedih? Kamu sok tau, ya," kilah Mama.

"Tanpa Mama menutupi, Anis udah tau, Ma. Mama mungkin bisa bilang begitu, tapi nggak dengan hati Mama. Iya, kan?"

"Anak Mama sekarang pinter-pinter ngomongnya. Sudah, Mama mau masuk." Mama beranjak dari kursi, berlalu dari hadapanku.

Aku beranjak dari posisi, duduk di gazebo, lalu merebahkan tubuh. Ranting dan daun pohon sawo menghiasi pandanganku saat ini. Ternyata di sini cukup nyaman dan sejuk. Pantas saja Mama sering duduk di sini, ternyata duduk di sini bisa menenangkan hati. Aku memejamkan mata, menimbang niat untuk datang ke rumah Om Arif. Entah kenapa aku merasa penasaran dengan sosok laki-laki bernama Umar itu.

"Saat ini, yang bisa itu kamu."

Kata-kata Kak Isna selalu menghantuiku. Belum lagi Mama. Hal itu yang membuat aku penasaran akan sosok laki-laki itu. Setampan dan sebaik apa hingga Mama menginginkannya menjadi menantu.

Kayaknya aku memang harus ke rumah Om Arif. Lagian cuma taaruf dulu, belum sampai ke arah serius, jadi aku bisa menilai gimana sifat laki-laki itu. Demi Mama. Demi keluarga ini agar kembali seperti biasa.

 Demi keluarga ini agar kembali seperti biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Akhirnya aku menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah yang sudah cukup lama tak aku kunjungi. Seingatku, terkahir kali mengunjungi rumah ini saat syukuran Fikri karena khitan. Selain jaraknya yang cukup jauh dari rumah, alasan lainnya adalah Om Arif jarang di rumah. Aku pun sibuk kerja. Beliau yang sering datang ke rumah untuk memastikan keadaan Mama atau untuk hal penting. Maklum, hanya tiga bersaudara dan orangtua serta kakak pertama mereka sudah tiada, jadi hanya Om Arif saudara kandung Mama satu-satunya.

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang