Aku nggak minta apa-apa dari kalian.
Cuma minta tap bintang aja buat penyemangat.Terima kasih.
♡♡♡
Sampai sekarang dia belum masuk ke dalam kamar hotel ini setelah acara selesai, bahkan sampai aku melepas semua yang melekat di tubuh ini, lalu berlanjut mandi. Sudah hampir dua jam aku di kamar ini, tapi tanda-tanda dia akan ke sini pun tak ada. Sudah berulang kali aku mengecek ponsel, tetapi tak ada telepon atau pesan darinya. Jika tahu akan seperti ini mungkin aku akan menahan Kanaya atau Kak Isna untuk tetap di sini sampai dia datang. Sayangnya mereka semua sudah pulang. Ya sudah, lebih baik aku tidur daripada menunggunya.
Baru akan merebahkan tubuh, suara bel menggema di ruangan ini. Aku beranjak dari tempat tidur, merapikan penampilan, lalu mengayun langkah menuju pintu. Sepertinya dia datang, atau mungkin bisa jadi pramuhotel. Aku membuka pintu, lalu mendapati sosok laki-laki mengenakan kemeja putih berdiri di hadapan pintu. Dugaanku benar. Dia datang. Aku segera membuka pintu lebar, lalu mundur dua langkah. Salam terucap dari bibirnya.
"Wa alaikum salam." Aku memberi jalan untuknya masuk setelah membalas salam.
Dia pun melangkah masuk, lalu aku mengikutinya. Suasana terasa canggung karena hanya ada kita berdua di dalam sini. Pertama kali kita hanya berdua di dalam satu ruangan. Seketika aku menghentikan langkah sebelum menubruk punggungnya, lalu melangkah mundur. Dia membalikkan tubuh.
"Tadi aku pesan makan malam, nanti terima saja, khawatir aku belum selesai mandi." Dia membuka obrolan.
"Iya," balasku singkat sambil mengangguk lemah.
"Aku mandi dulu," pamitnya.
Aku kembali mengangguk. Dia berlalu menuju kamar mandi. Embusan napas lega keluar dari mulutku. Setidaknya untuk saat ini aku bisa bernapas lega karena tidak berhadapan dengannya. Suara bel kembali menggema di ruangan ini. Aku bergegas menghampiri pintu karena itu pasti yang dimaksud dia. Benar. Makanan yang dia pesan datang. Aku kembali masuk setelah menerima makanan itu, lalu meletakannya di atas meja. Aku mengedarkan pandangan saat mengingat sesuatu. Tidak ada koper atau tas miliknya di kamar ini, hanya ada koper milikku, dan itu pun Kanaya yang membawakannya untukku. Suara bel kembali menggema di ruangan ini. Aku kembali menghampiri pintu untuk memastikan. Sosok laki-laki paruh baya berdiri di depan pintu saat aku membuka benda persegi panjang itu. Wajahnya tak asing dalam ingatanku. Salam pun terucap dari bibirnya.
"Wa alaikum salam," balasku sambil mengangguk ragu.
"Ibu menyuruh saya untuk mengantarkan tas ini buat Mas Umar." Dia mengulurkan tas ransel padaku.
"Oh, iya." Aku menerima tas ransel itu.
"Kalau begitu saya langsung pamit."
Hanya anggukan kepala yang kulakukan, lalu masuk ke dalam setelah beliau berlalu pergi. Ternyata dia baru ingat jika tidak membawa pakaian. Di saat yang sama dia keluar dari kamar mandi. Aku langsung menunduk karena melihatnya hanya mengenakan kaus dalam dan handuk untuk menutupi sebagian tubuhnya.
"Tadi ada yang nganterin ini buat kamu." Aku mengulurkan ransel miliknya.
"Makasih." Dia menerima ransel itu, lalu membukanya.
"Makanannya juga sudah datang," imbuhku.
Tatapannya terlempar ke arahku, lalu beralih pada makanan di atas meja. "Tunggu sebentar, ya, aku mau sholat dulu, nanti kita makan bareng setelah aku sholat."
"Iya."
Dia meletakkan ransel di atas tempat tidur, lalu segera mengenakan sarung. Sedangkan aku hanya duduk di kursi sambil menantinya selesai salat. Rasanya sangat canggung hanya berdua saja. Lebih baik aku menyibukan diri dengan menyiapkan makan malam yang dia pesan agar selesai salat, kita langsung makan. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya dia selesai salat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang Terjodoh (Tamat)
Teen FictionAnis Hasna Azizah terpaksa menerima perjodohan laki-laki yang seharusnya dijodohkan dengan sang kakak --Isnaini Hasna Safira. Laki-laki itu bernama Muhammad Umar Abdillah. Dia adalah putra sahabat ayahnya. Dunia seakan tak adil untuk Anis, selalu me...