16. Laki-laki Terbaik

843 65 4
                                    

Tiga hari bersamanya setiap hari membuatku mulai nyaman dengannya. Ada banyak yang kita lakukan bersama dari membuka kado, merapikan pakaiannya ke dalam lemariku, lalu sama-sama membersihkan kamar ini. Sekarang, kami sedang menata letak barang yang dia berikan saat seserahan ke dalam kamarku. Ini sudah kami rencanakan sejak kemarin. Dia perhatian, lembut, dan sangat menghormatiku. Selain itu, dia pun lebih banyak bicara daripada aku. Rasa khawatir yang pernah aku rasakan sebelum menikah dengannya terjawab saat ini. Dia tak seperti apa yang kubayangkan sebelumnya.

"Besok Abang udah mulai masuk ngajar. Jam enam Abang udah jalan ke pondok. Mungkin pulangnya akan sore atau sampai malam. Semoga Anis ngerti karena Abang punya tanggung jawab di pondok dan kampus," ungkapnya sambil membantuku memasang alas ranjang.

"Iya. Aku bisa ngerti," balasku sambil mengangguk.

"Kalau boleh diperpanjang, Abang pilih libur panjang aja biar bisa pacaran terus sama istri. Padahal lagi sayang-sayangnya dan menikmati masa pacaran."

Ucapannya membuatku hanya bisa tersenyum malu. Bisa-bisanya dia menggombal di saat serius. Tapi entah kenapa aku selalu suka dengan semua ucapan manisnya. Apalagi ucapannya yang barusan, terdengar seperti laki-laki yang sedang bucin pada pacarnya.

"Abang serius, Sayang. Kok malah cuma tersenyum."

Walaupun sudah dilarang dia tetap memanggilku seperti itu, tapi anehnya sekarang justru aku tak masalah dan malah menerima, kecuali saat ada orang lain walaupun keluargaku.

"Emang Abang mau dipecat ngajar kalau nggak masuk?" balasku bertanya.

"Nggak mungkin juga Abang dipecat dari pondok. Kalau dari kampus mungkin iya."

Sudah tentu dia tak akan dipecat dari pondok karena pemilik saat ini adalah Abi. Berbeda dengan kampus, di mana dia bekerja di sana.

"Sudah beres, kan? Katanya mau mandi?" Aku mengalihkan topik seteleh selesai merapikan tempat tidur.

"Nanti malam mau ikut Abang nggak?"

"Ke mana?"

"Pacaran."

Aku hanya menghela napas.

"Abang mau ajak makan malam di luar sebelum besok sibuk sama tugas."

"Iya. Sekarang Abang mandi. Aku mau nyapu."

"Siapin baju, ya."

"Iya ...."

Dia meletakkan bantal guling yang sudah diganti sarungnya, lalu beranjak dari ranjang untuk menuju kamar mandi. Setelah mengganti sarung bantal, aku bergegas menyapu kamar ini, lalu menyiapkan pakaian untuknya. Kemarin, dia memintaku untuk selalu menyiapkan pakaian yang akan dikenakan olehnya, baik pakaian di dalam rumah atau untuk bekerja, dan aku menuruti permintaannya. Apa saja yang aku siapkan akan dia kenakan. Lagipula hanya menyiapkan daripada aku tak ada kerjaan.

Setelah menyapu kamar dan menyiapkan pakaian untuknya, aku keluar dari kamar. Biasanya, di jam seperti ini orang-orang rumah sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan bersama, lalu bersiap untuk menuju tugas masing-masing.

"Apa Mama bilang sama om kamu buat carikan pengganti Bekti?"

Langkahku seketika terhenti saat mendengar kalimat itu. Maksud Mama apa? Apa aku nggak salah dengar? Pengganti Kak Bekti?

"Nggak usah, Ma. Isna nggak enak sama Om Arif."

"Emang Kak Isna sama Kak Bekti kenapa sampai Mama mau carikan pengganti?" Aku menyela sambil menghampiri mereka.

Tatapan mereka langsung beralih padaku. Ekspresi keduanya terlihat seperti kaget. Aku yakin jika mereka menyembunyikan sesuatu. Mama terlihat melempar pandangan pada Kak Isna.

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang