15. Tanam Rasa

925 63 3
                                    

Pemandangan dihadapanku saat ini masih menjadi pusat perhatian. Bagaimana mungkin aku akan menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Aku akui dia memang tampan, apalagi saat sedang tertidur seperti ini. Wajahnya terlihat damai dan tenang. Kalau saja tidak mengganggu tidurnya, mungkin aku sudah menyentuh wajahnya sejak tadi. Entah kenapa aku tak bosan menatap lama wajahnya. Apalagi posisi wajah kami hanya berjarak dua jengkal.

Aku memejamkan mata saat dia merasa terusik. Suasana kembali hening. Mata kembali kubuka. Dia masih memejamkan mata. Syukurlah. Jangan sampai aku tertangkap basah memerhatikannya yang sedang tidur. Sudah cukup lama dan puas memerhatikannya, aku memilih turun dari ranjang. Tak terasa hampir dua jam aku tidur dan sekarang sudah hampir Zuhur. Aku memilih masuk kamar mandi untuk cuci wajah sekaligus wudu.

Saat aku keluar dari kamar mandi, sosoknya kudapati sedang duduk di tepi ranjang. Dia tersenyum saat menatapku. Wajahnya khas bangun tidur. Aku hanya bisa menunduk, menahan senyum sambil berjalan menuju sisi ranjang. Dia beranjak dari tepi ranjang, berjalan menuju kamar mandi.

"Nanti Abang tinggal sebentar ke masjid buat shalat Zuhur berjamaah."

Satu hal yang membuat aku merasa dihargai, dia selalu pamit jika akan melakukan suatu hal. Aku hanya mengangguk untuk membalas ucapannya.

"Bang," panggilku saat mengingat sesuatu.

Dia menjeda masuk ke dalam kamar mandi. "Kenapa?" tanyanya.

"Mukena."

"Itu." Dia menunjuk ke arah  lain.

Aku sontak mengikuti arah jarinya. Terlihat lipatan kain tersampir pada sandaran kursi. Suara pintu tertutup mengalihkan perhatianku. Ternyata dia sudah menyiapkannya. Pasti saat aku masih tidur. Aneh, sih. Aku yang merasa tidak terbiasa atau dia yang terlalu peka?

Apa aku siapin baju dia sebagai ganti karena sudah peka sama aku? Tapi gimana kalau pilihan aku salah? Aku juga nggak tau selera dia dalam memakai baju. Tapi nggak ada salahnya dicoba.

Setelah meyakinkan diri, aku berjalan menghampiri lemari, lalu membukanya perlahan. Susunan pakaian tertata rapi di hadapanku saat ini. Aku mengamati setiap tumpukan, lalu beralih pada pakaian yang tergantung. Jubah warna biru tua menjadi pusat perhatianku. Dia cocok mengenakan pakaian apa saja, termasuk jubah. Teringat saat ijab kabul, dia menggunakan jubah warna putih, aku suka. Aku meraih jubah itu. Kumandang azan Zuhur terdengar, bersamaan dengan suara pintu terbuka. Sontak tatapanku terlempar ke sumber suara. Seketika aku menunduk saat mendapatinya telanjang dada, hanya handuk yang menutupi sebagian tubuhnya.

"Tadinya aku mau nyiapin-"

"Nggak apa-apa. Abang justru senang karena Anis sudah mau perhatian sama Abang," potongnya sambil mengulurkan tangan.

Pakaian di tanganku terulur ke arahnya, memberanikan diri untuk mengangkat kepala. Dia menerima pakaian dariku, lalu segera mengenakannya.

"Bisa tolong ambilkan peci," pintanya.

Aku segera menuruti permintaannya, meraih pecil dengan asal, lalu memberikan padanya. Walaupun tak yakin, tapi pakaian yang aku pilih terlihat cocok dia kenakan. Apa karena dasarnya dia cocok pakai apa saja?

"Abang ke masjid dulu, takut terlambat." Dia berlalalu dari hadapanku setelah penampilannya rapi.

Handuk di atas ranjang mencuri perhatian. Buru-buru mengejar salat sampai lupa menjemur handuk. Aku meraih kain tebal itu, terasa agak basah dan menyisakan aroma wangi. Tanpa sadar bibirku mengembang. Aku segera menjemur handuk miliknya, lalu menunaikan salat Zuhur.

***

"Ada pertanyaan lagi nggak buat Abang?"

Akhirnya dia membuka suara setelah cukup lama tanpa obrolan. Saat ini, kami sedang dalam perjalanan menuju rumah Mama. Aku hanya bisa menggeleng untuk membalas pertanyaannya, karena memang tidak ada kesalahan yang dia perbuat.

Hati yang Terjodoh (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang