SATU
Blurt out the first things that come out into your head, that is called being impulsive.
"Arka, kekkou suru ka?"
Maukah kamu menikah denganku?
Perempuan ini berdiri di hadapannya, menatapnya dengan serius setelah menerima kehangatan yang membuatnya tersentuh malam ini. Apakah kehujanan dan tersesat membuat seorang manusia menjadi impulsif?
Seumur-umur, ia selalu dianggap sebagai orang yang cepat. Ia ingat saat kecil, satu-satunya yang merupakan temannya adalah buku. Di kelas tiga SD, ia membaca Rich Dad Poor Dad dan bersumpah menjadi orang kaya. Di kelas empat SD, ia membeli koran setiap hari untuk mengerti apa yang terjadi pada dunia. Ketika SMP, ia selalu tidur di dalam kelas tapi tetap mengerti apapun yang dijelaskan. Disaat orang lain baru menulis satu paragraf, ia sudah menulis tiga paragraf. Begitu juga dengan keputusan, Harumi selalu mengambil keputusan dengan cepat.
Kali ini, ia juga mengambil keputusan tanpa waktu lama untuk berpikir. Beberapa jam bertemu kembali dengan Arka membuatnya terbesit pertanyaan yang selama ini ia hindari. Kalimat yang ia takuti seumur hidupnya. Baru kali ini, ia merasa keputusan yang ia ambil adalah keputusan yang impulsif. Sebuah hubungan seharusnya dipertimbangkan dengan matang, seperti halnya ia berkata ke orang-orang yang ia sayangi. Namun, ia juga tidak mau menarik kalimat yang disampaikan ke lelaki yang terlihat tegang dengan kalimat yang ia sampaikan.
結婚するか.
Harumi baru saja meminta laki-laki di hadapannya untuk menikah.
Perempuan ini menatap raut wajah yang berubah-ubah, dan mudah ia tebak. Laki-laki yang ada di hadapannya ini adalah epitome of a man, seseorang yang memenuhi pasangan ideal di dalam list panjang yang ia tulis sejak mengenal dunia. Ia mencoba mengerti ajakan dari gadis dengan mata yang memerah.
"Anata ga ikatteiru?
Yang berarti, are you mad?
Ia membalasnya dengan nada tenang, membuat Harumi diam.
Entah itu karena angin malam, kunang-kunang yang indah, ia yang tinggal di tempat ini sendirian, kehangatan yang ia berikan di tengah kehujanan dan tersesat atau karena ini pertemuan mereka setelah bertahun-tahun lamanya, yang pasti, Harumi kembali menemukannya.
Jawaban yang ia bisa tebak. Ketika ia menemukan tempat ini ditengah hujan, ia menyuruh perempuan yang ia kenal ini masuk dan memberikannya teh hangat. Bukan daun teh yang biasa mereka minum, tapi teh dari bunga dan dedaunan yang seketika membuat seorang Harumi yang merasa takut menjadi tenang. Membuatkannya sepiring nasi. Sementara hujan tak kunjung reda dan langit menjadi semakin gelap.
Perempuan ini menyadari bahwa ia beruntung tersesat di tempat ini, dan bertemu orang ya ia kenal, alih-alih orang jahat. Arka adalah salah satu siswa di perusahaan keluarganya. Ia lebih tua satu tahun darinya. Dulu, mereka berada di kelas yang sama. Ketika semua orang ingin ke Jepang untuk membangun karir cemerlang dan menetap disana. Ia ingin mengambil kuliah jurusan pertanian untuk mewujudkan mimpinya. Setelah itu, Harumi tak lagi mendengar kabarnya.
Beberapa jam ia disini, ia mengamati tempat yang Arka tinggali ini. Lelaki itu tidak berbicara banyak dan membiarkan Harumi duduk sendirian di halaman yang luas ini. Ia dikelilingi pohon buah dan sebuah greenhouse, lalu rumah kayu besar yang memiliki desain semi Jepang dan tradisional. Jika ada satu hal yang pernah Arka ceritakan, itu adalah keinginannya untuk membangun rumah di kota ini. Bukan rumah di tengah kota, tapi rumah sebagai tempat pulang.
Harumi tersentuh, tersentuh dengan bagaimana tempat ini membuatnya nyaman. Lalu kunang-kunang yang bersinar, dan kedua bola mata lelaki itu yang bertatapan dengannya tanpa sengaja.
Ia menginginkannya.
"Entahlah, aku juga gak tahu. Memang kamu sudah punya pasangan?" Tanya perempuan ini lebih berhati-hati.
Arka menggeleng, "Rumi, the price of a marriage is as much as giving half of your life." Nadanya yang serius dan suaranya yang berat membuat Harumi menyadari bahwa lelaki itu juga menjawabnya dengan serius.
"Sudahlah, aku tahu. It's my fault, to ask for something when you desperately need it is not worth it. Makasih atas sambutan hangatnya." Balas perempuan ini berpaling, menahan air mata yang turun tanpa ia minta. Ia benci penolakan.
Di dalam hati, ia tahu ia menginginkan sesuatu yang merupakan "miliknya". She wants her person, someone who will stand by her. Arka berhasil mewujudkan rumah yang ia inginkan dan dia menginginkan yang Arka miliki. Ia sudah memiliki semuanya yang ia ingin miliki. Ia menginginkan lelaki di hadapannya ini.
"Rumi, stay for the night." Ucapnya menahan teman lamanya itu.
"Bahaya jika kamu balik seperti ini, terlalu gelap di luar sana." Tambahnya lagi mengajak Harumi masuk, memberikannya selimut dan pakaian, menyuruhnya duduk di kursi kayu sementara ia membuat makan malam.
****
Notes:
Seluruh karakter, nama dan latar belakang dari tokoh diatas hanyalah fiksi semata.
Sudah lama sekali aku tidak menulis, lebih tepatnya karena merasa menulis itu bukan hal yang penting di tengah pekerjaan yang bertumpuk. Hmm, tapi ternyata aku kangen juga ya menulis. Jadilah aku menulis cerita baru ini.
Jika seluruh ceritaku yang lain aku tulis ketika masih remaja, sekarang aku sudah di usia yang lebih dewasa. Kadang suka cringey baca cerita lama, seperti Mountain Commitment atau Intersections yang masih sering dibaca belakangan ini, well oh well, kalau mau dihapus juga sayang.
Anyway, aku sudah menulis cerita ini sampai part 11 jadi aku masih ada waktu menulis dan update. Aku menulis cerita ini karena terinspirasi drama China judulnya Falling Before Fireworks. Jadi pengen aja menulis marriage of convenience story yang relatable dengan kehidupanku sekarang.
Anyway, please share this story with your friends if you find it interesting :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Branches Growing on the Earth as One [completed]
ChickLit愛は小出しにせよ - Ai wa kodashi ni seyo Love in small amounts. Harumi belum pernah merasakan tergila-gila dengan cinta, tapi ia pernah mendengar cara menjaga cinta agar bertahan lama adalah dengan sedikit demi sedikit mencintai. Katakan ia impulsive, tapi...