Branches Growing on the Earth as One - DUA BELAS

58 18 3
                                    

Branches Growing on the Earth as One - DUA BELAS

Perempuan ini berguling diatas tempat tidurnya meringis kesakitan. Ia melirik kearah jam yang menunjukkan pukul 4 pagi dan menghela napas panjang. Ia tahu sekarang Arka seharusnya sibuk memindahkan panen sayur ke mobil Rido yang nanti akan di supply ke supermarket sekitar Batam.

Biasanya setiap bulan di hari pertama, ia akan merasakan sakit yang cukup berat. Sayangnya, ia lupa membeli obat pereda sakit di bulan ini. Hal yang tak biasanya ia lupakan. Tanpa berpikir panjang, Harumi segera mencari ponselnya dan menghubungi kontak yang paling sering dihubungi.

"Kamu udah bangun? Kenapa?" Arka mengangkat panggilan dari Harumi.

"Kamu bisa pulang sekarang?" Jawab Harumi lemah lalu menutup teleponnya.

Tak butuh waktu lama, lelaki yang tampak berlari dan keringatan itu sampai di hadapan Harumi yang menahan sakit.

"Kamu kenapa? Mau aku bawa ke rumah sakit?" Arka bertanya dengan khawatir. Ia melihat Harumi yang berkeringat meskipun AC di kamar mereka hidup dengan suhu rendah.

"Gak perlu, kamu bisa buatin aku jahe dan kayu manis? Perutku sakit banget dan obatku habis." Harumi tahu sangat tidak mungkin menemukan apotek atau tempat menjual obat jam 4 pagi di daerah yang jauh dari masyarakat ini. Jangankan obat, ia saja belanja setiap seminggu sekali di supermarket karena tidak ada swalayan atau warung di sekitar tempat ini.

Arka mengangguk, menyadari bahwa Harumi kesakitan karena menstruasi. Sebagai seseorang yang hidup sendiri dan tidak punya saudara perempuan, ia tidak pernah melihat bagaimana perempuan kesakitan setiap bulan karena menstruasi. Ia kaget dengan reaksi yang dirasakan Harumi, dan meskipun mereka sudah menikah cukup lama, ia tidak pernah melihat Harumi seperti ini.

"Minum dulu." Ucapnya lagi menyendokkan air jahe tersebut ke Harumi.

Setelah gadis ini menghabiskan air jahenya, baru ia bernapas lega melihat Harumi yang lebih tenang.

"Ada lagi yang bisa aku bantu?"

"Kamu gak sibuk?" Ujar Harumi lagi. Ia tahu lelaki itu selalu bangun pagi sekali dan mengerjakan banyak hal.

"Aku udah minta tolong Rido. Just tell me what I can do." Ucapnya penuh kekhawatiran.

"Tangan kamu hangat gak?" Tanya Harumi yang membuat Arka menatapnya bingung. Lalu menyodorkan tangannya ke pipi Harumi.

"Hangat ternyata. Boleh gak kamu taruh tangannya ke perutku? Biasanya aku butuh yang hangat-hangat di perut, kayak koyo. Tapi aku lupa beli semua yang biasa aku beli." Harumi menjelaskan cukup panjang. Karena air jahe dan kayu manis yang diberikan Arka, ia merasa jauh lebih baik dari sebelumnya.

Arka pindah ke samping kanan Harumi dan menaruh tangannya di perut datar perempuan itu dengan kikuk. "Begini?" Tanyanya memastikan.

"Kamu sambil baring aja." Harumi menambahkan. Arka berbaring dan memeluk perut Harumi dengan tangannya yang hangat.

"Aku habis dari luar, belum ganti baju."

"Gapapa, kamu gak bau kok." Jawab Harumi lagi. Sesekali, Arka mengusap kedua tangannya dan menaruhnya kembali di perut Harumi.

"Aku gak pernah lihat kamu seperti ini. Kenapa?" Bisik lelaki itu pelan.

"Biasanya aku selalu minum obat pereda nyeri dan taruh koyo. Kalau gitu gak ada masalah. Cuma aku lupa beli keduanya dan rasanya sakit banget."

"Setiap bulan selalu begini ya?" Arka bertanya lagi dengan nada prihatin.

"Hmm, setiap orang sih berbeda sakitnya. Tapi aku punya sakit yang cukup tinggi setiap bulannya. Katanya sih karena stress. Masalah hormon gitu, namanya PCOS." Kali ini, Harumi sudah merasa nyaman dari sakitnya.

"PCOS? Penyakitnya serius kah?"

"Gak kok. Mungkin karena aku kebanyakan kerja juga, jadi begini."

Jawaban Harumi membuat Arka merasa khawatir, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa melarang Harumi, ambisi dan karirnya. Ia tidak memiliki hak untuk hal itu.

"Ngomong-ngomong, PCOS juga bisa mengakibatkan sulit punya anak. Jika suatu saat kamu mau punya anak dan aku gak bisa kasih anak, kamu bilang aku ya. Kita bisa berpisah baik-baik." Ucap Harumi melankolis yang membuat Arka reflek mengangkat tangannya.

"Don't say nonsense. Kamu mau aku jadi duda selamanya? Aku cuma akan menikah sekali. Titik." Balas Arka tegas.

"Kan aku bilang jika, jangan ngamuk dulu."

"Gak ada jika. Masalah ada dan tidak punya anak itu keputusan di masa depan. I'd love to have one, but it's your decision."

Harumi tersenyum mendengar jawaban Arka yang membuatnya senang. Sejujurnya, hubungan mereka belum berjalan sejauh itu untuk membicarakan anak. Melakukan aktivitas seksual saja belum pernah dilakukan. Namun ia senang bahwa Arka memiliki pendapat yang membuatnya tenang. Ia tidak ingin dipaksa oleh seseorang untuk memiliki anak jika ia tidak menginginkannya. Sejujurnya, ia bahkan berpikir tidak akan pernah punya anak.

Hanya saja, jika ia bisa merubah rencana hidupnya untuk tidak pernah menikah menjadi seorang istri, bukannya tidak mungkin ia merubah opininya mengenai anak di kehidupannya.

"Okay. Suatu saat nanti, kamu mau punya anak dengan aku?" Tanya Harumi lagi.

"A child is a blessing. Apalagi dengan kamu, pasangan hidupku. Bicara tentang anak, aku dulu bahkan gak bayangin sama sekali."

"Kenapa?"

"Aku pikir akan tinggal disini sendirian, sampai masa tua nanti." Mendengar kalimat tersebut, Harumi merasa hatinya tertusuk sesuatu yang tajam. Ia juga memikirkan hal yang sama, tapi ia tidak tahu bahwa Arka juga merasa begitu.

"Kenapa bilang begitu?"

"Ayahku meninggal ketika aku belum lahir. Ibuku membesarkan aku sampai usia 10 tahun dan meninggal juga. Sebelum beliau meninggal, ia menitipkan aku di panti asuhan dan tidak mengijinkan aku tinggal dengan saudara. Lebih baik hidup sendiri dan mandiri katanya. Dengan peninggalan usaha pabrik di kampung mama, aku mendapatkan uang setiap bulannya sampai memutuskan untuk pindah ke Batam ikut salah satu anak ibu di panti. Disini aku sekolah, kemudian belajar bahasa Jepang dan aku menjual pabrik tersebut sebelum ke Jepang. Bisa dibilang aku gak punya kampung halaman lagi."

Harumi terpaku mendengar Arka yang tiba-tiba menceritakan masa lalunya yang belum pernah ia ceritakan sebelumnya.

"Dulu pas SMA aku lihat daerah Barelang ini, kayaknya seru aja bisa punya kebun, kolam ikan, dan rumah besar. Beda dengan di Batam yang mulai sempit dan rumah kecil. Mas Rian, kamu pernah ketemu sebelumnya itu anak ibu di panti aku dulu. Dia juga punya rumah di jembatan tiga dan aku pikir hidup seperti itu menarik. Karena aku juga gak tahu awalnya ingin menjadi apa. Hidup disini membuat aku merasa tenang. I learned and received a lot from people, more than I could return."

"Apakah bisa aku punya keluarga? Sebatang kara di dunia ini, tidak punya asal usul, tidak memiliki keluarga. Aku gak pernah berpikir untuk menikah."

Harumi membalikkan tubuhnya dan menatap Arka yang tidak menunjukkan ekspresi sedih.

"Lalu kenapa kamu terima ajakanku?" Tanya perempuan itu dengan bersungguh-sungguh.

"Karena itu kamu, Harumi."

***

NOTES:

Hello, everyone! I am back. 

Kalian merasa gak sih walaupun bertahun-tahun merasakan, tetap aja gak terbiasa dengan rasa sakit menstruasi. Kadang aku mikir lagi, perempuan itu strong banget sebenarnya berkali-kali melewati rasa sakit dan katanya, kita lebih terbiasa dan bisa menahan sakit dibanding laki-laki. 

Jadi pengen juga ada yang meluk dengan tangan hangat ke perut setiap kali menstruasi wkwk. Malas banget tiap bulan bertahan hanya dengan koyo panas dan semua menstruation aid yang selalu dibeli untuk bertahan tiap bulan. 


Branches Growing on the Earth as One [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang