Bab 5

3.2K 222 3
                                    

Tapi janji itu tidak pernah terwujud...

Entah kenapa makhluk yang bernama manusia gemar sekali membuat janji. Meski mereka tahu, terkadang janji yang mereka buat tidak pernah bisa ditepati.

Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Hingga bertahun-tahun kemudian janji yang dibuat Damar tidak pernah terlaksana.

Tidak ada telpon, video call atau sekedar kartu pos yang datang ke alamat rumah Agnia. Sia-sia Agnia menunggu. Damar seperti hilang ditelan bumi. Tidak ada kabar apapun darinya. Dan Agnia tidak tahu bagaimana cara menghubungi Damar.

Rumah neneknya sudah dijual dan sudah di miliki penghuni baru. Nomor telpon yang bisa ia hubungi tidak lagi aktif. Agnia bertanya-tanya apa yang membuat Damar tak pernah menghubunginya? Lupakah ia dengan janjinya? Lupakah ia pada Agnia? Lupakah ia pada cinta mereka?

"Semua cowok emang begitu. Kalau sudah nemu yang baru, lupa sama yang lama," ucap Destia, sahabatnya yang telah lama berteman dengan Agnia, setelah Damar. Kalau Damar dan Agnia berteman semenjak TK, ia dan Destia bersahabat semenjak SMP. "Sudah, jangan buang waktu dengan cowok yang ingkar janji. Kau masih muda, cari saja yang lain."

Cari yang lain? Agnia tersenyum getir dalam hati. Alangkah mudahnya orang bicara. Bagaimana ia bisa mencari yang lain kalau di hatinya hanya ada Damar?

Tidak ada seorangpun yang mengerti, Damar bukan hanya sahabatnya dari kecil. Bukan hanya pacar atau kekasih, tapi ia adalah belahan jiwanya!

"Aku yakin, di Swiss sana ia pasti sudah bertemu cewek baru. Cewek bule kan cantik-cantik, lebih agresif. Karena itu ia lupa padamu."

"Damar tidak seperti itu, Des. Dia bukan cowok brengsek yang suka mempermainkan cewek."

"Oh, ya? Lalu kenapa sampai hari ini ia tidak memberimu kabar? Menghilang begitu saja? Kemana kau akan mencarinya? Apa kau yakin ia sebenarnya pergi ke Swiss?"

"Maksudmu? Ia berbohong padaku?"

"Kau kan tidak mengantarnya ke Bandara. Cuma dari mulutnya saja kau tahu dia pindah ke Swiss bersama orang tuanya. Tapi apa kau yakin ia benar-benar pindah ke sana? Bukan ke negara lain?"

Agnia tidak tahu. Tapi ia yakin Damar tidak membohonginya. Tidak pernah menipunya. Dan atas keyakinannya itu, Agnia bertekad untuk menunggu Damar kembali. Menunggu Damar kembali padanya, baru setelah itu ia akan tahu kebenarannya.

Ia tidak peduli dengan ejekan teman-temannya. Tidak peduli dianggap bodoh. Ia cuma berpegang teguh pada keyakinannya, bila suatu hari nanti Damar akan pulang kepadanya. Tidak peduli berapa lama ia harus menunggu.

Bisa, ia bisa tetap menikmati hidupnya. Bisa tetap tertawa bersama teman-temannya, nongkrong bareng mereka, nonton film yang baru keluar di bioskop. Window shopping ke Mall. Ia bisa menikmati semua itu.

Sama bisa menikmati kesendiriannya. Menikmati rasa sepi dan sedihnya. Ia masih sering pergi ke taman komplek. Duduk di bawah pohon Tabebuya sambil memandangi ukiran nama Damar dan namanya di batang pohon itu. Untuk meyakinkannya, bila Damar bukanlah sebuah ilusi. Bukan tokoh khayalannya.

Ia ada, nyata. Dan pernah menjadi sosok yang paling penting dalam hidup Agnia. Dan mungkin sekarang ini, Damar masih belum menemukan jalan pulangnya...

Karena itu, Agnia selalu menolak setiap pendekatan yang dilakukan semua pria yang tertarik padanya. Hingga banyak yang mengira ia sombong, suka pilih-pilih. Padahal ia hanya sedang menjaga hatinya. Menjaga kesetiaan yang ia miliki.

Katakanlah ia bodoh, tolol, dungu. Agnia tidak peduli. Ia hanya ingin menunggu Damar, menunggu pria yang dicintainya. Meski saat ini di depannya ada cowok yang konon paling keren sekampus. Baskara Wismoyo.

Agnia sudah lelah menghindari Baskara. Menolak setiap sinyal yang diberikan pemuda tampan itu. Tapi sepertinya pria ini memang bebal. Atau tidak tahu malu? Mungkin juga merasa tertantang, karena baru kali ini ada cewek yang berani menolak pesonanya!

"Berapa kali aku bilang? Aku tidak suka datang ke pesta kayak gitu?"

"Lalu apa yang kau lakukan di asrama saat week end?" tanya Baskara yang entah sudah kesekian kalinya mendekati gadis itu dan selalu ditolak! Baik ajakan nontonnya, makan di kantin bareng sampai yang serius kayak gini. Mengajak Agnia ke pesta ulang tahun temannya. Tapi lagi-lagi ia ditolak! Bikin kesal saja.

Kalau Dicky tahu, ia pasti sudah diejek habis-habisan. Tapi demi taruhannya dengan Rudi dan Anton, Baskara bertekad ia tidak akan menyerah. Ia harus berhasil mendapatkan gadis itu. Meski setelah ia dapatkan, gadis itu bisa ia buang seperti yang dilakukannya pada cewek-cewek yang pernah jadi pacarnya.

"Tidur," sahut Agnia kalem.

"Tidur? Kau habiskan hari week endmu dengan tidur?"

"Bagaimana kalau kubilang itu hobbiku?"

Siapa yang bakal percaya? Geram Baskara dalam hati. Gadis ini hanya ingin mempermainkanku. Kalau tidak diingatnya taruhan itu, mana sudi dia merendahkan diri mengejar gadis ini? Gadis-gadis yang biasa menyodorkan diri padanya, bukan dia yang menyodorkan diri.

Tapi sekarang lihat, meski Baskara sudah merendahkan dirinya mendekati gadis itu duluan. Tetap saja Agnia menolaknya! Ini membuat harga diri Baskara yang setinggi langit, merasa tersentil.

"Kenapa kau harus mengajakku ke pesta temanmu? Bukankah kau seharusnya mengajak pacarmu?" Suara Agnia yang bertanya kembali terdengar.

"Pacar yang mana?" tanya Baskara bingung. Dia memang sudah putus dengan Monik seminggu yang lalu. Bukan gadis itu yang minta putus, tapi Baskara sendiri yang merasa bosan.

Siapa yang tahan dicemburui setiap saat? Ngobrol dengan cewek lain dicurigai, senyum dikit dengan cewek lain marah. Bahkan hanya diskusi soal tugas kuliah dengan teman cewek sekelasnya, Monik sudah cemburu setengah mati.

Bahkan jika aku ngobrol dengan ibu kantin yang gendut dia juga bakal cemburu, pikir Baskara sinis. Karena itu, tanpa pikir lagi atau penyesalan apapun. Diputuskannya saja hubungannya dengan Monik. Tidak peduli dengan kemarahan gadis itu. Atau rasa cemburunya yang besar.

"Kamu lagi naksir cewek lain kan, Bas. Makanya kamu mau putus denganku? Jangan pikir aku gak tahu kamu lagi ngejar anak baru yang namanya Agnia itu!"

"Kalau kamu sudah tahu, ngapain pakai tanya segala?"

"Kamu pikir bakal gampang dapetin dia? Agnia itu sudah punya pacar, dia tipe cewek setia. Dia gak bakal ngelirik buaya kayak kamu!"

"Dari mana kamu tahu itu?"

"Kamu gak perlu tahu. Tapi kamu bakal nyesel udah mutusin aku."

"Aku malah bakal lebih menyesal kalau gak putus sama kamu."

Monik menggertakkan giginya menahan geram. Tapi dia tahu, tidak ada yang bisa dia lakukan agar Baskara tetap bersama dengannya. Pria itu terlalu sulit untuk diraih. Selama ini tidak ada satupun wanita yang bisa memegang hatinya. Yang bisa membuat Baskara benar-benar jatuh cinta.

Karena cinta bagi Baskara cuma ilusi, cuma ciptaan para penyair cengeng yang hidup dalam mimpi. Dan Baskara bukan seorang penyair yang hidup dalam mimpi!

Saat Cinta Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang