Bab 26

3.2K 179 10
                                    

Damar duduk di depan pianonya sambil memainkan sebuah lagu klasik karya mozart. Jari-jarinya lincah bermain di atas tuts piano berwarna hitam putih itu.

Dulu, di awal ia kehilangan penglihatannya ia sempat frustasi dengan hidupnya. Dunia yang dulu dikenalnya penuh warna kini hanya gelap gulita. Dan ia tidak bisa lagi melakukan semua yang disukainya.

Tetapi dukungan keluarganya, terutama dari orang tua dan kakaknya Prasetya, membuat perlahan ia bisa bangkit kembali. Dan kemudian ia mulai mencoba menekuni kesukaannya pada musik.

Awalnya ia meraba-raba tuts piano, mencari nada-nada yang cocok yang dulu akrab di telinganya. Tentu saja itu bukan hal yang mudah.

Saat ia belum kehilangan indera penglihatannya, bermain piano adalah hal yang mudah. Tetapi setelah indera penglihatannya terenggut darinya, bermain piano tidaklah semudah dulu lagi. Ia harus meraba-raba tuts, menghapal nada-nada yang keluar dari tuts yang ia tekan dan mengingat semua nada yang dihasilkan.

Berbulan-bulan ia belajar, mengenali nada dan akhirnya berkat usahanya Damar kembali mendapatkan keahliannya bermain piano. Bukan hanya piano. Tapi juga alat musik lainnya kembali ia kuasai.

Kemudian orang tuanya memasukkan ia ke sekolah musik di Jerman. Dan mulai dari situ ia mengikuti berbagai konser orkestra di eropa.

Dari bermain musik dan orkestra, Damar berhasil memiliki penghasilan sendiri untuk hidupnya. Ia tidak lagi bergantung pada orang tuanya. Hingga tahun lalu, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan bergabung dengan kelompok orkestra ternama di tanah air.

Damar memiliki impian, ia ingin memiliki kelompok orkestranya sendiri. Baginya kehilangan penglihatan bukan penghalang baginya untuk meraih impiannya. Toh dari musik, ia kini bisa meraih penghasilan yang lumayan. Apalagi bila ia mendapat undangan untuk tampil di luar negeri.

Kemudian lagu klasik Sicilienne karya dari Maria Theresia von Paradis bergema di seluruh ruangan. Karya seorang pianis buta yang juga merupakan penyanyi dan komposer terkenal.

Pianis yang juga sangat menginspirasi Damar dan membuatnya bertekad bermain musik.

Hari ini, asisten pribadinya tidak datang. Dan tidak ada kabar apapun darinya. Damar tahu, Sisi yang bisu tidak mungkin menelpon. Tapi kenapa ia tidak juga mengirim pesan? Meski Damar tidak bisa melihat, tapi ponselnya adalah ponsel untuk penyandang tunanetra. Hingga ia tidak akan kesulitan membaca pesan yang terkirim.

Terkadang, bila berada di dekat asisten pribadinya itu, Damar merasakan sesuatu yang ganjil. Ia merasa seolah-olah ia telah mengenal wanita itu sejak lama. Cara jalannya, suara yang ia timbulkan saat makan atau saat Sisi menyentuh telapak tangannya untuk menuliskan sesuatu. Cara baru mereka berkomunikasi akhir-akhir ini.

Damar bahkan memiliki perasaan bila wanita itu selalu memandangnya dengan tatapan berbeda. Ada sentuhan melankolis dan kerinduan yang terkadang Damar rasakan dari tatapan itu.

Tentu saja ia berpikir semua yang ia rasakan itu tidak masuk akal. Mereka baru pertama kali bertemu, lalu dari mana perasaan akrab itu datang? Seolah-olah wanita itu telah lama berada di sisinya. Akrab dengan dirinya.

Satu nada not melenceng dari permainan pianonya. Damar berhenti bermain. Bahkan hanya memikirkan wanita itu ia tidak bisa berkonsetrasi dengan permainan musiknya. Seperti ada sesuatu yang hilang, yang Damar sendiri tidak mengerti apa itu.

****

Agnia mengangkat wajahnya saat pintu kamarnya dibuka dari luar. Baskara masuk dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana piyama. Melihat Agnia yang duduk di tempat tidur dengan wajah linglung, senyumnya terkembang lebar.

"Sudah bangun?" Tanpa ragu Baskara mendekati Agnia, mencondongkan tubuhnya dan mencium bibir Agnia. "Lapar gak? Aku sudah pesan delivery. Makan yuk."

"Kenapa kamu masih di sini?" Agnia mendorong tubuh Baskara yang baru saja menciumnya. Tapi karena Baskara tidak pakai baju, Agnia jadi menyentuh otot-otot di dada bidang Baskara. Membuatnya berjengit seperti kena setrum.

"Kenapa? Ini belum jam tujuh malam. Jadi aku masih berhak tinggal di sini bersamamu."

"Apa?"

"Ingat perjanjian kita, sayang. Tubuh dan satu harimu buatku. Karena kita mulai 'itu' dari jam tujuh malam, berarti perjanjian kita berakhir di jam tujuh malam nanti."

Agnia terlongo mendengarnya. Sekali lagi dia lupa kalau Baskara, selain bajingan menyebalkan juga bajingan licik.

Waktu ia bangun tidur tadi, ia pikir Baskara sudah pergi dari apartemennya. Tapi siapa sangka kalau bajingan ini masih di tempatnya. Yang lebih menyebalkan wajahnya terlihat puas seperti serigala kekeyangan.

Agnia malas bertanya dari mana Baskara tahu ia ada di sini. Karena untuk pria selicik Baskara, itu bukan perkara sulit untuk menemukannya. Bahkan meski Agnia tidak mengangkat telpon darinya, tetap saja akhirnya bajingan ini muncul di depannya.

"Kamu mau mandi dulu atau makan dulu? Tapi mendingan kamu mandi dulu deh, biar badan kamu segar. Pasti lengket kan sisa semalam ... " Dengan nakal mata Baskara melihat ke arah perut bagian bawah Agnia. Menunjuk ke tempat paling pribadi dari seorang wanita. Membuat Agnia ingin sekali mencolok matanya.

"Semalam kamu gak pakai pengaman." Desis Agnia geram. "Aku gak percaya kamu gak bawa persediaan kondom di dompetmu."

"Lupa. Emang gak bawa kok." Suara Baskara acuh tak acuh. "Lagian kalo udah kayak gitu, siapa yang kepikiran soal kondom?"

"Kamu tahu resikonya kalau gak pakai kondom! Aku bisa hamil!"

"Ya terus kenapa kalau kamu hamil?" Baskara balas menatap Agnia. "Orang tuamu pasti senangkan kalau tahu bakal punya cucu?"

"Kamu sinting! Kita mau bercerai dan kamu malah berharap aku hamil?"

"Kamu juga belum tentu hamil." Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Baskara. Padahal ia mau bilang: biar saja kamu hamil, memang itu tujuanku. Biar kita gak jadi cerai. Biar kamu gak pergi dari aku. Tapi tentu saja Baskara tidak bisa bilang begitu. Melihat kemarahan di wajah Agnia saja, ia yakin begitu ia mengatakan hal itu, Agnia bakal melompat mencakar wajahnya. Baskara belum mau kena cakaran, meski semalam punggungnya habis dicakar Agnia dalam sesi percintaan panas mereka.

Tapi itukan beda perkara. Baskara malah tidak merasa sakit punggungnya dicakar Agnia. Siapa yang sempat peduli dengan rasa sakit kalau nafsunya sudah ada di ubun-ubun?

"Jangan khawatir. Ada pil yang bisa diminum setelah berhubungan intim kan? Untuk mencegah kehamilan. Kamu bisa minum itu."

Agnia tahu memang ada pil seperti itu, tapi dia juga tahu keefektifan pil itu sekitar delapan puluh lima persen. Tapi daripada tidak ada pencegahan sama sekali, malah lebih beresiko dia hamil. Meski dia ingat, Destia yang berkb spiral saja bisa hamil. Bagaimana dia yang tidak pakai pengaman sama sekali? Brengsek memang Baskara!

"Hari ini aku gak ngantor, kamu juga kan? Jadi seharian ini kita bakal habiskan waktu berdua."

"Maksudmu ... kita tetap di kamar dan gak ke mana-mana gitu?" Agnia memiringkan kepalanya menatap Baskara dengan mata membulat.

"Yup, honey. Pintar kamu. Mandi sana terus kita makan. Habis makan terus kita ... "

Oke, Agnia tidak perlu mendengar kelanjutan kata-kata Baskara. Dia sudah tahu apa yang ada di otak mesum pria itu. Ia cuma bisa menyesali dirinya, mau-maunya menuruti permintaan Baskara soal salam perpisahan.

Salam perpisahan apa? Apa yang mereka lakukan saat ini sama saja seperti yang dilakukan pengantin baru dalam bulan madu mereka. Sialan Baskara!!

Saat Cinta Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang