Bab 21

2.6K 193 2
                                    

"Damar, bagaimana kalau kau mengambil asisten pribadi untuk membantumu?" Hati-hati Prasetya bertanya pada adiknya, saat malam itu mereka sedang makan malam berdua.

Rumah sebesar ini cuma ditempati Damar dan dirinya, seorang pembantu, satu supir dan satu tukang kebun. Orang tua mereka saat ini tinggal di Norwegia. Karena ayahnya masih aktif sebagai diplomat dan sekarang ditugaskan di negara eropa sana. Ibunya tentu saja ikut menemani ayahnya.

Sejak kembali dari Swiss dan karena kecelakaan yang menimpanya, Damar menolak untuk tinggal di eropa. Ia lebih senang tinggal di Indonesia. Apalagi ia juga memiliki karir yang cukup lumayan di sini.

Karena kegemarannya pada musik dan bakatnya memainkan beberapa alat musik, semenjak setahun yang lalu ia bergabung dengan sebuah orkestra besar di Jakarta.

Di orkestra itu Damar memegang alat musik cello. Meski ia juga sangat pandai bermain piano. Ia kerap ikut orkestra tempatnya bernaung untuk konser. Terkadang di Jakarta, terkadang pula di luar kota.

Sebenarnya tidak masalah, karena meskipun ia tidak lagi bisa melihat. Namun Damar sangat mandiri. Indera pendengarannya pun begitu tajam. Ia hapal setiap langkah kaki orang yang dikenalnya, hapal setiap sudut dari rumahnya sendiri. Dan meski pada awalnya mengalami kesulitan untuk berlatih alat musik, tapi karena tekad dan kemauannya yang kuat. Ia kini sudah bisa memainkan alat musik yang dulu pernah dikuasainya.

Terkadang, bila Damar sedang memainkan alat musik di konser orkestra atau duduk sendiri menggesek cello dan bermain piano. Prasetya kadang lupa bila adiknya itu tidak lagi bisa melihat. Damar begitu tampan, begitu cemerlang. Bahkan musik yang ia mainkan begitu indah.

Seandainya kecelakaan itu tidak pernah terjadi, seandainya kecelakaan itu tidak sampai merenggut penglihatan Damar. Alangkah cemerlang masa depannya. Alangkah indah kehidupan yang ia jalani.

Mungkin diusianya ini, ia sudah menikah, memiliki anak yang lucu dan sehat. Bukannya hidup dalam dunianya sendiri. Sendiri dan kesepian.

Prasetya tahu, dengan wajah tampan Damar dan latar belakang keluarga mereka. Pastilah ada perempuan yang bersedia menjadi istri Damar. Perempuan yang mau merawatnya, menemaninya. Tapi Damar justru menolak semua ide yang diajukan orang tua dan kakaknya.

"Aku tidak ingin dikasihani, Mas Pras. Untuk apa menikah bila perempuan yang mau menikah denganku karena atas dasar kasihan atau karena uang yang dijanjikan orang tua kita? Meski saat ini aku sendiri, itu lebih baik daripada menjadi belas kasihan orang lain."

"Tapi apa selamanya kamu akan hidup sendiri, Mar? Tidakkah kau ingin berumah tangga? Memiliki istri? Anak?"

"Tentu saja itu pernah menjadi impianku Mas Pras. Menikah dan memiliki keluarga seperti Mas Pras dan Mbak Hanum. Tapi impian itu sudah terkubur rapat semenjak bertahun-tahun lalu."

"Pasti ada perempuan yang tulus mencintaimu, Mar. Yang tidak peduli dengan kekuranganmu. Yang akan menerima dirimu apa adanya. Seperti ... Agnia."

Damar terdiam mendengar kakaknya menyebut nama itu. "Apa Mas Pras pernah bertemu Agnia? Kenapa Mas Pras menyebut namanya?"

"Tentu saja tidak." Damar tentu tidak bisa melihat kebohongan di mata dan wajah Prasetya, tapi ia pasti bisa mengetahui rasa gugup dari suara Prasetya saat mengucapkan kebohongan itu. Karena itu Prasetya mati-matian membuat nada suaranya senormal mungkin. Ia tidak ingin membuat Damar curiga. Setelah kehilangan penglihatannya, indera Damar yang lain begitu sensitif. Meski tidak bisa melihat, tapi entah kenapa Damar selalu tahu dan dapat merasakan rasa gugup, panik atau takut dari lawan bicaranya. Ia bahkan dapat merasakan kebohongan dari pembicaraan lawan bicaranya hanya dari nada dan intonasi suara si lawan bicara. Karena itu Prasetya harus mengeluarkan kemampuan aktingnya agar terlihat wajar di depan Damar.

"Mas hanya berpikir ... seandainya Agnia bertemu kamu lagi ... tidak peduli apa yang terjadi padamu. Ia pasti bersedia menerima dirimu."

Damar menghela napas berat. Ada kepahitan terlihat di wajahnya. "Jangan membicarakannya lagi, Mas. Aku ingin ia bahagia, jangan lagi mengungkit masa lalu. Ia telah menjadi milik orang, ia berhak bahagia. Bukan dibebani oleh orang cacat sepertiku."

Ah, seandainya kamu tahu Mar, justru beberapa hari ini Agnia sering datang menemuinya. Mendesaknya agar mempertemukan ia dengan Damar. Dan meski beragam alasan diberikan Prasetya tapi rupanya perempuan itu begitu gigih.

Datang dan datang lagi. Memohon dengan wajahnya yang begitu memelas. Masih sanggupkah Prasetya menolak permintaan perempuan lembut itu? Meski taruhannya adalah kepercayaan Damar padanya.

"Asisten pribadi? Untuk apa? Kan ada Pak Sanip yang bisa mengantarku ke mana saja, Mas."

"Memang, tapi seorang asisten pribadi jauh lebih baik kan? Ia bisa mengurus semua kebutuhanmu dan juga membantumu."

"Aku bukan anak kecil, Mas Pras. Ada Pak Sanip supir kita yang siap sedia mengantarku ke mana saja. Ada Mbak Narti yang mengurusi makan dan bebenah rumah. Dan juga ada Mang Ujang yang mengurusi taman. Buat apalagi aku butuh asisten pribadi? Itu namanya pemborosan kan?"

Apa yang diucapkan Damar memang benar, buat apalagi dia butuh asisten pribadi? Tapi jika misinya ini gagal, bila ia tidak bisa meyakinkan Damar. Lalu bagaimana caranya ia bisa membuat Agnia berada di sisi Damar?

"Mar, kamu ingat Sisi?"

"Teman Mas Pras yang ... " Damar tidak melanjutkan ucapannya. Dia sendiri cacat, apa haknya untuk mengungkapkan kecacatan orang lain?

"Ya, gadis bisu itu. Sebenarnya ia bukan teman Mas. Tapi kakaknya yang teman Mas Pras, kasihan dia Mar. Yatim piatu, bisu dan orang tidak punya! Tapi anaknya cerdas, sayang tidak ada yang mau menerimanya bekerja." Lalu Prasetya mulai mengarang cerita sedih soal adik temannya yang bernama 'Sisi'.

Gadis bisu yatim piatu yang cuma tinggal berdua dengan kakaknya. Prasetya yakin, dengan sifat Damar tidak mungkin adiknya itu tidak tersentuh. Tidak mungkin ia tidak merasa iba.

Melihat raut wajah Damar yang terlihat serius mendengar ceritanya, makin semangatlah Prasetya mengarang cerita. Hingga ia sendiri heran, bagaimana bisa ia mengarang cerita yang begitu hebat? Seakan kisah yang ia sampaikan benar-benar sebuah realitas. Meski hati kecilnya merasa bersalah karena sudah membohongi adiknya. Tapi demi bisa membuat Agnia dekat dengan Damar, demi masa depan dan kebahagiaan adiknya sendiri. Prasetya terpaksa berbohong.

"Jadi Mar, kamu bersedia memberi kesempatan pada gadis itu untuk bekerja padamu kan?"

■Terima kasih untuk semua dukungan kalian di karyakarsa. I love you all.

Eykabinaya

Saat Cinta Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang