Bab 23

2.4K 167 7
                                    

Suara alunan musik dari permainan cello menggema memenuhi ruangan. Damar duduk di kursinya sambil menggesek cello. Sebuah lagu klasik berjudul the swan dari saint saens, mengalun indah.

Tak jauh darinya, Agnia duduk tenang mendengarkan permainan cello Damar.

Damar dan musik memang tidak bisa dipisahkan. Agnia ingat, semenjak sekolah dasar Damar sudah mencintai musik. Terutama musik klasik.

Sementara bocah seusianya sedang asyik bermain bola, Damar lebih senang memainkan piano atau cello. Sementara remaja seusianya lebih memilih ikut les pelajaran sana sini, Damar malah lebih memilih ikut les musik.

Itu mungkin keturunan dari ibunya. Sebelum menikah dengan ayahnya, ibu Damar seorang pemain biola terkenal. Bukan cuma biola, ibunya juga menguasai alat musik harpa, piano dan tentu saja cello. Dan kecintaannya pada musik diturunkan ke Damar.

Dan setelah menjadi istri diplomat, mengikuti suaminya ke mana-mana. Ia sering memamerkan keahliannya bermain biola dihadapan para diplomat asing.

Dan karena Damar pula Agnia jadi ikut-ikutan les piano. Semua itu agar ia tetap bisa dekat dengan Damar. Dan meski permainan pianonya tidak sebagus Damar atau pianis terkenal, tapi cukup memuaskan untuk bisa didengar.

Terkadang sering guru les musik mereka meminta Agnia berduet dengan Damar. Agnia bermain piano dan Damar bermain cello.

The Swan lagu yang sering mereka mainkan dalam duet. Selain lagu-lagu klasik lainnya seperti dari Debussy atau Mozart. Terkadang juga mereka memainkan lagu mother and child karya William Grant Still.

Mungkin karena Damar cukup puas dengan duet mereka, ia jadi sering meminta Agnia berduet dengannya. Dan tentu saja Agnia tidak keberatan. Namun setelah kepergian Damar selama bertahun-tahun, Agnia tidak pernah lagi menyentuh piano. Tidak pernah lagi memainkan musik.

Untuk apa? Orang yang membuat ia mencintai musik telah pergi. Memainkannya hanya akan mengingatkan Agnia dengan Damar. Membuka kembali luka perih di hati.

Dan sekarang ... menyaksikan Damar memainkan musik di depannya. Agnia merasakan mimpi yang menjadi nyata, sebuah mimpi yang bahkan ia takut untuk membayangkannya. Meski sering hadir dalam tidurnya. Ia kembali bisa mendengarkan Damar bermain musik. Tanpa sadar pandangannya melayang ke arah piano di sudut ruangan.

Ia ingin kembali berduet dengan Damar. Bermain piano sementara Damar bermain cello. Jika itu ia lakukan, curigakah Damar padanya? Akan marahkah pria itu jika tahu ia telah membohonginya? Berpura-pura bisu hanya agar bisa dekat dengan pemuda itu.

"Damar sudah setuju untuk mengambilmu sebagai asisten pribadinya, Ni. Tapi ada sedikit pengorbanan yang harus kamu lakukan." Kata-kata Prasetya kembali terngiang di telinga Agnia saat ke sekian kalinya ia menemui Prasetya. "Aku sudah bilang sama Damar kamu itu bisu. Jadi selama berada di sisinya, kamu harus berpura-pura bisu. Jangan membuat sesuatu yang membuat Damar curiga itu kamu."

Tentu saja Agnia tidak keberatan. Selama ia bisa dekat dengan Damar, berada di sisinya, menjadi bisu selamanya ia rela. Asalkan bisa melihat Damar, asalkan bisa berada di sampingnya setiap hari.

Tapi yang menjadi kekhawatirannya adalah, bila ia berpura-pura bisu. Maka bagaimana ia bisa berkomunikasi dengan Damar?

"Jangan khawatir, kalian bisa berkomunikasi dengan isyarat bunyi kan? Damar cerdas, ia pasti mengerti," ucap Prasetya seakan menyadari kebingungan Agnia. "Aku harus kembali ke Jerman, Ni. Keluargaku di sana. Aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaanku terlalu lama. Banyak klien yang menunggu. Aku harap kamu bisa menjaga Damar dengan baik."

"Jangan khawatir, Mas Pras. Aku pasti akan menjaganya." Agnia mengangguk. "Mas Pras, bolehkah aku bertanya?"

"Apa?"

"Apa ... apakah tidak ada harapan untuk Damar bisa melihat kembali?" Dengan susah payah Agnia bertanya mengenai kondisi Damar. Satu hal yang sangat membuatnya penasaran. Kebutaan Damar bisakah disembuhkan? Bisakah Damar melihat lagi seperti dulu?

Prasetya tersenyum. "Tentu saja ada harapan untuk Damar bisa melihat kembali, Ni. Dokter memberitahu kami, Damar bisa melihat kembali asalkan mendapatkan donor mata yang cocok untuknya." Mendengarnya Agnia merasakan kelegaan, tapi kemudian ia melihat raut wajah Prasetya yang suram. "Tapi untuk mendapatkan donor mata yang cocok untuk Damar sangat sulit, juga tidak banyak orang yang mau mendonorkan matanya. Jadi selama bertahun-tahun kami sudah mencoba mendapatkan donor mata yang cocok, namun belum ada hasilnya."

"Kami tidak ingin memberi harapan tinggi pada Damar dan Damar juga paham hal itu. Bila ia bisa mendapatkan donor mata yang cocok, itu lebih baik. Tapi jika tidak ... Damar sudah menerima dengan ikhlas takdirnya ... "

"Tapi dengan latar belakang dan uang yang kalian miliki, tidak akan sulit mendapatkan donor mata yang cocok untuk Damar bukan?"

"Ni, ini bukan sesuatu hal yang mudah dan bisa main-main sembarangan. Ini perihal donor mata. Kami tidak mau melakukan hal yang ilegal, selama ini kami tetap berusaha. Tapi Tuhan belum mengizinkan Damar untuk mendapatkan donor yang cocok. Yang bisa kami lakukan cuma berdoa dan berusaha, Ni."

"Maaf ... " Agnia menunduk. Ia tahu betapa naif dirinya. Betapa kekanak-kanakan kemarahan yang ia tunjukan tadi. Orang tua Damar tidak mungkin berpangku tangan begitu saja atas kebutaan yang menimpa Damar. Jika ada harapan, meski cuma setitik ; mereka pasti tidak akan menyia-nyiakan harapan itu.

Keluarga Damar telah berusaha mencari donor mata yang cocok untuk Damar. Tapi mendapatkan donor mata memang tidak semudah itu. Berapa banyak di Indonesia orang yang mengalami kebutaan dan sedang menunggu dalam antrian untuk mendapatkan donor yang sesuai?

Berapa banyak juga orang yang bersedia menjadi donor mata? Ini tidak semudah yang ia pikirkan. Jadi Damar hanya bisa menunggu, hingga suatu hari akan ada donor mata yang cocok untuknya. Agar kelak ia bisa melihat lagi.

"Bukan hanya kamu yang merasa frustasi , Ni. Kami juga sama," ucap Prasetya. "Betapa besar keinginan kami untuk Damar agar ia bisa melihat lagi. Tapi semua itu tidak mudah. Meski begitu, kami tidak akan putus asa. Kami percaya suatu hari nanti, Damar akan mendapatkan donor yang cocok. Karena itu, kamu juga tidak boleh putus asa. Kamu harus kuat. Jangan mengasihani Damar karena kebutaannya. Karena ia benci dikasihani."

Aku tidak akan mengasihani Damar, pikir Agnia dalam hati. Matanya masih memperhatikan Damar bermain cello. Karena aku mencintainya, ia pria yang kuat. Ia begitu tegar menghadapi musibah yang menimpanya.

Damar mungkin tidak bisa melihat, tidak bisa lagi bermain basket seperti dulu. Atau melihat indahnya dunia. Tapi lihatlah ia sekarang, betapa cemerlang ia bermain musik. Betapa indah nada-nada yang ia mainkan. Hanya dengan permainan cello dan pianonya, ia mampu menghipnotis orang dengan musiknya. Jadi kenapa jika ia tidak bisa melihat? Bukankah Damar sempurna dengan segala kekurangannya?

Dan jika Damar mengizinkan. Jika Damar bersedia menerimanya kembali. Agnia tidak keberatan menjadi mata untuk Damar. Tidak keberatan menemaninya dalam dunianya yang tanpa cahaya. Karena ia yang akan menjadi cahaya untuk Damar.

Agnia bertekad akan kembali memenangkan cinta Damar. Ia akan berusaha dengan keras meyakinkan Damar, bila ia tidak akan menjadi beban untuk Agnia. Bila satu-satunya kebahagian Agnia adalah bila ia bisa bersama Damar, hidup dengannya. Bersediakah Damar menerima itu semua?

Sementara Agnia berpikir bagaimana caranya meyakinkan Damar dengan cintanya, ia tidak menyadari bila saat ini ada hati yang juga bertekad untuk mendapatkan 'cintanya' kembali ...

Saat Cinta Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang