Bab 13

2.7K 209 4
                                    

Dari taman di komplek perumahan orang tuanya, Agnia mengendarai mobilnya menuju rumahnya. Sebenarnya ia agak enggan untuk mampir.

Siang hari begini, tidak akan ada orang di rumahnya kecuali pembantu dan tukang kebun. Ibunya pasti masih sibuk di Pabrik, jadi direktur ternyata lebih mengasyikan baginya ketimbang buka praktek dokter gigi yang sepi pasien. Hingga beliau lupa kalau dulu pernah kuliah di kedokteran.

Ayahnya juga pasti masih ada di Kampus. Semenjak memegang jabatan rektor di sebuah universitas terkenal di Indonesia, beliau jadi tambah sibuk. Sekarang malah ikut terjun ke dunia politik seperti ayah Baskara. Yah ... mereka memang kawan karib, bahkan posisi rektor yang kini dimiliki ayahnya juga hasil dari koneksi dan bantuan ayah Baskara. Koneksi yang dimiliki Rendra Wismoyo memang tidak main-main.

Kakaknya si sulung Aldi, saat ini sedang ambil S2 di Jerman dan adik perempuannya Dania, kuliah di Inggris. Luar biasa bukan keluarga mereka, semua lulusan luar negeri. Seakan title sarjana dari luar jauh lebih bergengsi ketimbang title sarjana lulusan universitas negeri sendiri.

Kalau saja aku tidak pernah kuliah di Australia, maka aku gak mungkin bertemu Baskara... pikir Agnia. Dan tidak perlu terjebak dengan pria seperti Baskara.

Meski enggan, Agnia memutuskan untuk mampir juga. Mungkin tiduran di kamar lamanya semasa gadis dulu bisa mengalihkannya dari pikiran buruk. Terutama dari pikiran buruk setelah apa yang dilakukan Baskara padanya semalam.

Perlahan mobil Agnia mendekati gerbang rumahnya, tanpa sengaja melirik ke kaca samping dan melihat sebuah mobil terparkir di depan gerbang rumah sebelah. Sesosok tubuh jangkung terlihat berdiri tak jauh dari sana. Dari sisi samping wajahnya, Agnia bisa melihat siluet wajah pria itu.

Itu Prasetya! Kakak kandung Damar!

Astaga! Agnia tidak mungkin lupa. Saat Damar pindah bersama orang tuanya, Prasetya otomatis juga ikut pindah. Dan sekarang ... apa yang dilakukan pria ini berdiri di depan pintu gerbang rumahnya yang lama? Yang letaknya tepat di sebelah rumah Agnia.

Apapun itu, seperti orang kesetanan. Agnia lekas membuka pintu mobilnya, berlari ke arah orang itu setelah menutup pintu mobilnya dengan kencang. Napasnya memburu, seakan bila ia terlambat satu detik saja maka orang itu, orang yang mengetahui di mana keberadaan Damar akan mendadak hilang dari pandangannya. Tidak, ia tidak boleh kehilangan kesempatan seperti ini. Maka tanpa aba-aba lagi suaranya memanggil nama pemuda itu kuat-kuat.

"Mas Pras!"

Prasetya menoleh dengan terkejut, ia menyipitkan matanya melihat seorang wanita cantik bergaun putih bunga-bunga berdiri tak jauh darinya. Ada selapis keringat di keningnya.

"Agnia?"

*****

Dan sekarang di sinilah mereka berdua berada. Di dalam kafe yang cukup sejuk karena pendingin ruangan. Panas Jakarta yang menyengat langsung hilang setelah mereka masuk ke dalam kafe. Dan memesan dua minuman dingin dan dua piring kue yang sama sekali belum disentuh Agnia.

"Bagaimana kabarmu, Ni? Ku dengar dari Aldi kamu sudah menikah ... " Akhirnya Prasetya buka suara juga setelah dari tadi Agnia belum bersuara sepatah katapun semenjak mereka memasuki kafe ini. Agnia hanya duduk diam sambil memandanginya.

Namun saat nama kakak sulungnya disebut, Agnia langsung bereaksi.

"Mas Aldi? Jadi Mas Pras sudah pernah bertemu Mas Aldi?"

"Kebetulan. Ketemu waktu ada pameran otomotif di Jerman. Ku dengar dia sedang ngambil S2 di sana kan?"

Kebetulan? Benarkah cuma kebetulan? Lalu kenapa kakaknya tidak pernah cerita kalau ia memang pernah bertemu Prasetya di Jerman? Apakah ia lupa kalau Prasetya kakak Damar. Dan jika bertemu Prasetya, itu berarti ia bisa menemukan Damar bukan?

"Ada urusan apa Mas Pras ke Jerman?"

"Bisnis."

"Dengan Damar?"

"Em?"

"Ke Jerman ... apa Mas Pras ke Jerman dengan Damar?"

"Nggak, sendiri."

"Lalu di mana Damar sekarang? Apa ia masih tinggal di Swiss? Apa dia ... sudah menikah?"

Prasetya menatap Agnia lembut. Ia bisa melihat kegelisahan dan kesedihan di mata perempuan cantik ini. Tangannya sedikit gemetar, saling meremas jemarinya dengan gelisah.

"Apa kamu percaya kalau aku bilang sampai detik ini Damar belum menikah? Dan ia tidak tinggal di Swiss, tapi sudah lama ada di Jakarta?"

Agnia menatap Prasetya dengan terkejut. Ada rasa tidak percaya di matanya. Seakan ingin mencari kebenaran di mata milik Prasetya.

"Damar ... ada di Jakarta? Dan dia ... belum menikah?"

Benarkah apa yang dikatakan Prasetya. Lalu kenapa? Kalau benar Damar ada di Jakarta dan belum menikah, lalu kenapa ia tidak pernah datang untuk menemuinya? Kenapa Damar tidak datang mencarinya?

Sudah lupakah ia dengan janjinya? Lupakah ia yang menyuruhnya untuk menunggunya? Sejuta kenapa berkecamuk di kepala Agnia.

Prasetya mengangguk. Sebenarnya ia tidak menyangka akan bertemu dengan Agnia. Ia hanya ingin melihat rumah lamanya yang dulu. Tempat ia tinggal bersama neneknya dan Damar. Sekedar kangen, sekedar ingin mengenang masa lalu. Karena sejak kecil sampai remaja, rumah itu tempat ia tumbuh besar. Ada begitu banyak kenangan di rumah itu.

Damar juga merasakan hal yang sama, sayang ia tidak bisa ikut. Meskipun bisa, toh percuma. Damar menolak untuk ikut bersamanya, karena menurutnya rumah itu hanya sebuah kenangan yang ingin ia lupakan dan tutup rapat-rapat.

Karena itu Prasetya memilih waktu di mana tidak banyak orang yang akan melihatnya atau mengenalinya. Komplek perumahan itu sangat sepi setiap harinya. Jarang ada penghuninya yang berkeliaran di luar. Apalagi di hari sepanas ini.

Tapi siapa sangka ia malah bertemu dengan Agnia. Dan Prasetya tahu, kali ini ia tidak bisa mengelak dari rasa keingin tahuan Agnia.

"Kenapa ... Damar ... "

"Karena ia tidak mau bertemu denganmu, Agnia."

Dan ucapan Prasetya seperti pisau tajam yang mengiris sembilunya.

4 juni 2023

Saat Cinta Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang