Bab 14

2.7K 219 4
                                    

Hai, readers tersayang. Kalau kalian suka dengan cerita-cerita saya, silakan kalian bagikan dan rekomendasikan cerita saya ke sahabat, teman, keluarga atau siapapun ke orang dekat kalian ya. Mari kita berbagi kebahagiaan bersama. Arigato.

Suara denting piano terdengar begitu Agnia berjalan memasuki rumah besar bercat putih itu. Dari kafe, Prasetya mengajaknya ke rumahnya.

Sebuah rumah besar yang terletak di daerah kebayoran baru. Jadi selama bertahun-tahun, Damar telah tinggal di rumah ini. Tinggal dalam satu kota dengannya, menghirup udara yang sama, namun tanpa sekalipun bertemu.

Di sebuah ruangan luas yang lebih mirip aula ketimbang ruang keluarga, sesosok pria tampan duduk di depan piano. Rambut di keningnya jatuh menutupi wajahnya. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana jeans hitam.

Ia terlihat begitu serius memainkan tuts-tuts piano di depannya. Sebuah lagu klasik yang entah apa judulnya mengalun memenuhi seisi ruangan. Permainan pianonya begitu indah dan yang memainkannya berwajah rupawan.

Damar mengakhiri permainan pianonya dengan nada-nada sulit. Begitu musik berhenti mengalun, ia mengangkat wajahnya. Menoleh ke arah Prasetya dan Agnia yang kini berdiri di ambang pintu. Senyumnya merekah.

"Mas Pras sudah pulang?"

"Bagaimana kamu tahu kalau ini aku yang datang?" tanya Prasetya menggoda adiknya.

"Aku hapal langkah kaki Mas Pras. Juga bau cologne yang Mas gunakan," ucap Damar santai. Ia bangkit dari duduknya kemudian memiringkan kepalanya sedikit. "Mas Pras datang gak sendiri ya? Sama siapa?"

"Temanku. Kami kebetulan ketemu di jalan."

"Sejak kapan Mas Pras membawa teman wanita ke rumah? Gak takut Mbak Hanum cemburu?"

"Kamu tahu temanku wanita?"

"Wangi parfumnya ... juga langkah kakinya. Seorang pria gak mungkin berjalan-jalan dengan mengenakan high heels kan?"

Prasetya cuma tersenyum, yang tentu saja tidak bisa melihat senyumnya. Sementara matanya memperhatikan Agnia, yang sedari tadi semenjak tiba di rumah ini tidak sekalipun mengalihkan pandangannya dari Damar.

Damar masih setampan dulu. Hanya saja terlihat lebih kurus. Namun terlihat dewasa, tenang dan ... tak tersentuh.

Seandainya Agnia tidak melihat tongkat putih di tangan Damar, sorot kosong di kedua matanya. Ia akan mengira Damar berpura-pura tidak mengenalinya. Berpura-pura menjadi sosok asing di depannya.

Tapi Damar tidak berpura-pura. Ini kebenaran yang baru diketahui Agnia. Damar ... buta.

Tidak ada sinar kehidupan di kedua mata yang dulu selalu bersorot lembut. Tidak ada sinar jahil di mata yang dulu kerap menggodanya. Kini yang tersisa di sana hanya tatapan hampa, kosong, tanpa sinar kehidupan.

"Siapa nama temannya, Mas?" Suara Damar kembali terdengar.

"Namanya ... Sisi. Maaf Damar, Sisi ini dia ... bisu."

Damar terlihat tercengang mendengarnya. Tapi kemudian senyuman manis kembali merekah di bibirnya.

"Hallo, Sisi. Saya Damar, senang berkenalan denganmu." Damar mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. Agnia melihat uluran tangan Damar dengan napas tercekik di lehernya. Hanya Tuhan yang tahu, betapa kerasnya ia berusaha  menahan air matanya.

Tangan dan tubuhnya agak gemetar saat menyambut uluran tangan Damar. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya, Agnia dapat merasakan kembali. Kehangatan yang terpancar dari sentuhan telapak tangan Damar.

****

Entah berapa lama Agnia menahan ledakan tangisnya. Dan saat ia kembali ke mobilnya, saat sudah duduk di belakang kemudi. Tangis itu kemudian pecah.

Prasetya yang sengaja mengantar Agnia kembali ke mobilnya, hanya diam tanpa bersuara. Membiarkan Agnia menumpahkan semua tangisnya.

"Kamu sudah melihat dengan mata kepalamu sendiri kan? Damar bukan lagi Damar yang kamu kenal dulu. Ia tidak bisa melihat. Kecelakaan itu ... telah merenggut semuanya darinya." Prasetya baru berani buka suara saat dilihatnya tangisan Agnia kini tinggal isakan kecil. Namun isakan itu justru terlihat lebih menyedihkan daripada tangisan keras yang meledak-ledak.

"Apa ... yang sebenarnya terjadi pada Damar?" tanya Agnia dengan susah payah. Tenggorokannya terasa tercekik, dadanya sesak. Ia tidak pernah mengira, inilah yang terjadi pada Damar. Inikah yang membuat Damar tidak mau menemuiku? Pikir Agnia getir. Selama ini aku selalu mengira ia telah melupakanku, mungkin telah memiliki perempuan lain yang dicintainya. Tapi siapa yang menyangka ...

Jadi selama bertahun-tahun ini, Damar telah hidup dalam kegelapan seorang diri. Ia telah hidup dengan kesepian. Tanpa berani untuk muncul di hadapannya. Menyembunyikan dirinya dalam bayang kegelapan. Mengira dengan begitu Agnia akan melupakannya. Dan menjalani hidup tanpa harus terus menantinya.

Tapi yang tidak diketahui Damar, bahkan sampai detik ini. Agnia belum sanggup melupakannya. Masih setia menunggunya. Meski kini ia telah menjadi milik lelaki lain.

"Damar... mengalami kecelakaan saat di Swiss. Kecelakaan itu membuat ia kehilangan penglihatannya."

"Kenapa tidak ada satupun dari kalian yang mengabariku?"

"Karena Damar melarang kami, Ni. Ia tidak ingin mengganggu hidupmu. Ia telah menjadi pria invalid, tidak ingin menjadi beban bagimu. Ia ingin kamu bahagia, tanpa perlu terbebani oleh kecacatannya. Itu semua perkataannya."

"Apa Mas tahu berapa lama aku menunggu Damar kembali? Bertahun-tahun, selama bertahun-tahun aku menantinya. Berpikir buruk tentangnya, menanti dengan penuh pengharapan dan juga rasa putus asa yang membuat depresi. Tanpa aku tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya."

"Ni... "

"Kenapa ia berpikir dirinya akan menjadi beban? Kenapa ia memutuskan semuanya sendiri? Kenapa Damar mengira aku akan bahagia bila aku tidak mengetahui kecelakaan yang menimpanya? Kenapa?"

Prasetya terdiam, ia tidak tahu bagaimana menjawab semua pertanyaan Agnia. Menatap gadis itu yang masih berlinangan air mata.

Ia bersimpati dengan keadaan Agnia, tapi juga tidak dapat mengabaikan permintaan adiknya. Masih diingatnya dengan jelas hari di mana Damar tahu, bila ia telah kehilangan penglihatannya. Telah menjadi orang cacat.

"Jangan beri tahu Agnia, Mas. Ia tidak perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Ia gadis yang cantik dengan masa depan yang terbentang luas di hadapannya. Ia berhak bahagia, menjalani kehidupan yang baik. Bukan menanggung beban pria cacat sepertiku."

"Tapi dia berhak tahu kan, Mar? Dia berhak tahu keadaanmu. Apa kamu tidak khawatir ia mungkin patah hati? Ia mungkin menunggu kabar darimu."

"Agnia gadis yang cantik. Ia bisa dengan mudah mendapatkan pria penggantiku. Pria yang lebih segala-galanya dariku, lebih sempurna dan tidak cacat sepertiku, Mas."

Prasetya tahu, tidak ada gunanya membujuk Damar. Sekeras apapun ia membujuk Damar, namun keputusan Damar tidak berubah. Ia tetap bertekad menyembunyikan semuanya dari Agnia. Tekadnya sekokoh batu karang di lautan.

"Jika hari ini aku tidak bertemu Mas Pras, selamanya aku tidak akan tahu keadaan Damar bukan?" Pertanyaan Agnia menarik kesadaran Prasetya dari lamunannya. "Jika hari ini aku tidak bertemu Mas Pras, selamanya aku akan berada dalam kegelapan. Tidak tahu apa-apa."

Agnia tersenyum getir. Senyuman yang bercampur dengan air matanya. Siapa yang mengira jarak antara dia dan Damar ternyata begitu dekat. Tapi terasa begitu jauh untuk dijangkau.

Damar ingin ia melupakannya. Menjadikan dirinya masa lalu gadis itu. Tapi bisakah aku melakukannya? Pikir Agnia sedih.

Saat Cinta Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang