Hening berkuasa setelah itu, tidak ada percakapan apapun yang keluar dari mulut keduanya.
"Emang mau tau tentang apa?" Tanya Rian seolah mengalah.
*******
Dirasa mendapat lampu hijau dari Rian, akhirnya Aristo mulai buka suara terkait rasa penasaran yang sejak dulu ditahannya.
"Tapi janji ya gabakal ngamuk, mogok makan atau ngambek berhari-hari. Soalnya mungkin pertanyaan saya bisa memicu trauma lama kamu" tanya Aristo memastikan.
"Iyaaa, tanyain aja gapapa"
"Sebelum saya berusaha ngerebut hak asuh kamu, saya mencari tahu terlebih dahulu tentang kamu, termasuk kamu tahu, kan?" Aristo menelan ludahnya kasar, ragu untuk melanjutkan kalimatnya atau tidak. Berusaha mengamati reaksi Rian yang sama sekali tidak terbaca olehnya.
Rian menaikan satu alisnya, sebenarnya mengerti kemana arah pertanyaan Aristo tapi memilih menunggu. Setelah dirasa lawan bicaranya tak kunjung melanjutkan kalimatnya barulah Rian buka suara.
"Tentang ibu aku?"
"Hah?"
"Kok hah?"
"Pertanyaan saya sebenarnya gak sampe sana"
"Gimana caranya aku tahu pertanyaannya, kalo kamu aja belum ngasih tau Ar"
"Tentang kamu sering ke psikiater" ujar Aristo dengan satu hembusan nafas, sebenarnya Aristo sempat ingin mundur saja tapi rasa penasarannya menang kali ini.
"Oh, aku emang sempat berobat jalan di psikiater, mungkin sekitar 2 tahunan, tapi sekarang udah gak pernah kesana lagi. Paling bikin janji temu kalo ngerasa perlu aja"
Aristo hanya mengangguk, sebenarnya merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan Rian. Enggan bertanya kembali namun masih berharap si lawan bicara melanjutkan ceritanya. Rian peka, bukan itu inti pertanyaan Aristo.
"Sejak mama meninggal, aku mulai kehilangan minat sama hal-hal yang dulu aku suka. Aku juga jadi lebih sering dikamar dan males ketemu orang. Hal itu terjadi selama berbulan-bulan sampai di tahap aku benci bangun di pagi hari padahal itu harusnya jadi hal yang harus disyukuri. Tante, istri baru papa adalah orang pertama yang sadar dengan perubahan sikap aku. Tante yang maksa papa buat seret aku ke psikiater dan akhirnya didiagnosis mengalami depresi. Dulu aku beranggapan hal itu karena tante benci aku, tapi tanpa aku sadari sebenernya malah dia yang nyelamatin aku. Kalau seandainya aku gak di bawa ke psikiater, aku mungkin udah bunuh diri kali ya" ujar Rian santai
"Aku benci tante dan adik tiri aku. Bukan karena mereka jahat, tapi justru karena mereka terlalu baik. Mama bunuh diri gara-gara papa selingkuh sama tante, harusnya itu sudah cukup jadi alasan aku benci mereka tapi karena mereka terlalu baik aku jadi ragu dengan perasaanku sendiri. Menyesal tiap melakukan hal buruk pada mereka, sempat tergoda untuk mengambil kesempatan hidup bahagia bersama mereka dan melupakan mama. Tapi tiap kali pemikiran itu muncul, aku terus merasa bersalah sama mama. Jadi aku mikir jalan satu-satunya adalah aku yang pergi. Itulah mengapa aku selalu ingin kuliah di luar negeri, agar aku bisa berhenti menyakiti mereka dan diriku sendiri."
Dapat Rian rasakan Aristo mengusap tangannya lembut. Mungkin hanya itu yang bisa Aristo lakukan, tanpa Aristo sadari setetes air mata jatuh kepipinya. Entah mengapa mendengar cerita Rian membuat hatinya ikut sakit, menyesal kenapa tidak sejak dulu ia bertemu dengan Rian. Harusnya dia yang membantu Rian melewati masa sulitnya, menjadi tempat Rian mencari pembenaran atas dirinya, dan masih banyak susunan kata harusnya di kapala Aristo.
"Kenapa jadi kamu yang nangis Ar"
"Kamu pasti kesepian ya?"
Sekarang mata keduanya saling terkunci, Rian mengangguk mengiyakan
KAMU SEDANG MEMBACA
Evil meet Hacker [bxb]
Storie d'amoreAristo Bryan Alvaron Seorang boss mafia dengan sejuta pesonanya harus berurusan dengan remaja tanggung dengan sikap nyeleneh dan kadang gak tau malu. Bagaimana juga sang boss mafia menyikapi perasaan asing dan keposesifannya yang muncul hanya keti...