Chapter 15

80 94 4
                                    

Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya aku sudah diperbolehkan pulang. Walaupun belum pulih sepenuhnya, tapi karena rengekanku, Allard pun luluh untuk meminta dokter mengizinkan aku pulang.

"Tolong untuk tidak minum teh dulu ya, nona!" peringat dokter itu.

Mataku membulat sempurna. "Nggak minum teh?! Itu mustahil dokter."

Allard menatapku tajam. "Alexa!"

Aku pun tertunduk melihat tatapan tajamnya. "Iya iya, maaf."

"Nanti kalau sudah benar-benar pulih boleh minum teh lagi kok, tapi untuk sekarang tidak dulu ya. Perbanyak minum air putih dan makan makanan yang sehat. Jangan beraktivitas terlalu berlebihan juga. Saya tahu kalau anda juga seorang dokter, tapi batasi pekerjaan anda." Dokter itu mengalihkan pandangannya ke Allard. "Tuan, tolong jaga istri anda. Dia cukup nakal selama anda tidak ada."

"Dokter!" pekikku.

"Saya akan selalu mengawasinya. Terima kasih atas kerja keras anda, dokter," ujar Allard.

"Kalau ada gejala lain atau dirasa tidak enak pada tubuh nona, silakan langsung temui saya," sambung dokter itu.

"Baik, dokter," jawabku.

Aku dan Allard pun pulang ke rumah.

Begitu sampai, aku hendak membuat teh, tapi seseorang melarangku. "Alexa, kamu nggak boleh minum teh dulu untuk sementara waktu."

"Allard, kamu tau kan kalau aku nggak bisa kalo nggak minum teh sehari aja?" ujarku.

Allard mengambil teh yang kupegang dan menyimpannya di tempat yang tinggi.

"Allard!" teriakku.

Pria itu menghiraukannya dan berjalan ke sofa.

"Yaudah besok pas aku kerja tinggal beli aja," celetukku.

Pria itu langsung berhenti melangkah dan menoleh ke arahku. "Siapa yang bilang kamu boleh masuk kerja besok?"

"Lah kan besok bukan hari libur. Jadi aku harus kerja dong," sahutku.

"Aku udah minta izin lebih lama buat kamu," ujarnya.

"Aku banyak pasien, Allard. Jadi nggak bisa libur lebih lama lagi," balasku.

"Pasien kamu udah diurus sama dokter lain," katanya.

"Aku juga punya pasien yang nggak bisa diurus sama dokter lain," sambungku.

"Maksud kamu gadis kecil itu?" tanyanya.

Keningku berkerut. "Gadis kecil? Kamu pernah ketemu sama dia?"

Dia menganggukkan kepalanya.

"Kapan?" tanyaku lagi.

"Waktu itu, pas aku cari kamu di rumah sakit. Aku denger suara anak kecil menangis dan perawat bilang dia adalah anak yang deket sama kamu," jelasnya.

Mataku membulat sempurna. "Bella menangis?!"

Allard yang melihat reaksiku, langsung menjailiku. "Iya, sangat keras dan dia keliatan sedih banget. Bahkan matanya udah bengkak akibat banyak menangis."

Mataku mulai berkaca-kaca membayangkan gadis kecil itu menangis. "Allard, gimana ini? Aku udah buat dia sedih."

"Entahlah, tapi dia sempet bilang ke aku kalo dia kecewa karena kamu pergi nggak pamit sama dia," balasnya.

"A-aku nggak bermaksud kayak gitu. Kejadiannya terlalu tiba-tiba. Bella pasti marah sama aku," gumamku.

"Iya, kayaknya sih gitu," sahutnya santai.

Rahasia Keluargaku  ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang