Chapter 18 : CCTV

483 55 2
                                    

MENATAP jadwal pengajian pagi di ruang penyiaran, Razka memasukkan nama Sheila paling awal untuk menjadi anggota pertama yang mengerjakan program kerja baru. Tentu ini bukan dari dirinya sendiri, keputusan yang tengah ia kerjakan sudah disetujui oleh semua anggota Rohis. Besok akan menjadi hari pertama Razka mendengar suara mengaji Sheila. Tidak, lebih tepatnya, semua murid. Itu pun, jika Razka tidak terlambat.

Hari ini Razka memang berangkat lebih awal karena pelantikan, hal itu membuatnya tidak bisa tidur semalaman dan berakhir tertidur saat Adzan subuh. Tidak tahu diri memang, bukannya melaksanakan Sholat, Razka malah tertidur hingga suara alarm membangunkannya.

Merapikan kertas jadwal yang sudah ia cetak ke dalam map, Razka segera keluar dari ruang peralatan dan kebutuhan Manajemen sembari membawa map. Pemuda itu lantas berjalan menuju kelasnya ketika bel masuk berbunyi. Satu kemajuan, Razka bahkan tidak sempat nongkrong diam-diam keluar gerbang bersama ketiga temannya.

Karena itu, Razka kini memilih untuk menghampiri teman-temannya yang tengah berada di Perpustakaan.

"Busett, anak-anak rajin." Baru saja sampai, Razka sudah mengejek mereka, tertawa pelan. Membuat Bagas, Daffin, dan Razi mendongak.

"Nah, datang diwaktu yang tepat! Bantuin Akuntansi, gue, kan, minggu kemarin gak masuk." Daffin nyengir. Membuat Bagas mendelik.

"Siapa suruh lo gak masuk," ucap Bagas.

"Sebagai sahabat yang baik, gue temani Razka kemarin di kantin," balas Daffin, melakukan pembelaan.

"Sembarangan emang lo," sahut Razka, melotot.

"Gue pusing, Raz, sumpah. Posting buku besar tapi neraca saldonya gak balance. "

Daffin menyerahkan bukunya pada Razka. Di antara mereka berempat, Razkalah pemegang otak yang cepat sekali dalam hal berhitung. Bahkan, Razka selalu cepat mengerjakan soal matematika atau pelajaran yang berbau angka.

"Btw, tadi berapa banyak yang minta foto, Ka?" tanya Razi, memecah keheningan. Pemuda itu menutup buku.

Menghela napas, Razka mengangkat bahu. "Gak tahu, gue. Heran banget, dah. Apa sebegitu gantengnya gue kalau pakai peci?" tanya Razka, mulai narsis.

Mendelik malas, Bagas pura-pura akan menonjok karena kesal. Setelah sesi foto bersama, Razka memang sempat di ajak foto oleh beberapa kaum hawa yang notabenya sebagai teman seangkatan dan adik kelas. Pemuda itu tidak tahu saja jika Sheila melihatnya, Bagas hanya mampu memperhatikan karena dirinya pun tengah diminta foto bersama.

"Percaya gue," balas Daffin. "Tampan berwibawa gitu."

"Terus aja, Fin." Razi mendengus. "Mentang-mentang dikerjain Razka," sambungnya, membuat Daffin dan Bagas terkekeh.

"Harus gitu, dong. Kan, Ka?" tanya Daffin, menatap Razka.

"Semerdeka lo aja, Fin," balas Razka tetap fokus. Pemuda itu tidak lagi mendengarkan apa yang ketiga temannya obrolkan. Razka memang sering kali terhanyut pada pelajaran jika tidak ada yang membuatnya malas. Karena, kemalasan Razka terkadang pada waktu deadline yang begitu cepat.

Sebetulnya melakukan hal ini tidak bisa di benarkan. Daffin berlindung di balik aksaranya, dan Razka berlindung di belakang nama Daffin sendiri. Namun, Razka terlalu malas jika harus menjelaskan.

"Gue mau Adzan nanti, jangan ganggu!" Razi memegang tenggorokannya. Pemuda itu mendelik ke arah Daffin.

"Buset, Adzan?" tanya Daffin, tertawa pelan.

"Salahin, tuh, Rohis. Kenapa bikin jadwal Adzan dan kelas gue yang pertama!" Razi menatap Bagas. Membuat Bagas terkekeh.

"Salahin tim Humas," balas Bagas.

"Tapi, gak papa, sih. Lo bukannya sering Adzan Subuh di Masjid kompleks?" tanya Daffin.

Menepuk dada bangga, Razi mengangguk penuh percaya diri. "Iya, dong. Bersama Papa tercinta. Kata Papa, waktu subuh itu sangat spesial, walau pun ngantuk, kita harus tetap awal waktu."

"Alah, lo awal waktu karena hasil omelan dan gedoran Bunda lo, kan?" tanya Bagas. Membuat Razi langsung cengengesan.

"Betul sekali. Tapi, karena itu pula gue bangun dan bisa Sholat. Satu-satunya waktu Sholat yang enggak pernah gue tinggalkan kecuali kalau nginep di rumah Affin," balas Razi.

Tertawa pelan, Daffin mengangguk. "Nanti kalau nginep harus Sholat berarti. Razka yang jadi imamnya,"

"MasyaAllah." Bagas dan Razi sontak berucap sama. Membuat ketiganya tertawa.

"Diem napa, jangan berisik. Lo mau kita dikeluarin?" tanya Razka, mendongak. Lantas, menatap ke seluruh arah saat beberapa siswi melihat ke arah mereka.

Menutup mulut secara bersamaan saat mendengar ucapan dari Razka, Daffin yang tak sengaja melihat ke arah jendela langsung menajamkan pandangan. Pemuda itu berusaha mengamati dua sosok gadis yang tengah berada di belakang gedung Manajemen.

"Itu ... bukannya Sheila sama Cheesy?" tanya Daffin, membuat Razka langsung menoleh. Pemuda itu mengikuti arah pandang Daffin.

"Ngapain, tuh, dua gadis di sana?" tanya Razi, ikut mendekat ke arah jendela.

"Tumben banget mereka keluar." Bagas ikut memojokkan tubuh Razka. Membuat Razka mendorongnya pelan.

Mengamati apa yang dilakukan Sheila, Razka kemudian menyenderkan punggungnya seraya bersidekap dada. "Itu Cheesy kenapa berdiri pake kursi? Jajan keluar, ya?" tanya Razka.

"Oh, iya, bener." Daffin tertawa pelan. "

"Liat si Sheila, dia keliatan panik banget." Razi ikut tertawa melihat gelagat Sheila yang tidak tenang. Gadis itu mengigit jari seraya terus menatap secara bergantian ke arah lorong dan Chessy yang belum selesai membeli.

Menggelengkan kepala pelan, Razka hanya mampu menatap kedua gadis itu yang kini sudah mengobrol. Chessy bahkan sangat lentur saat mengambil sodoran cilok dari Pak Budi. Tentu saja Razka lebih mengamati salah satunya yang kini menarik tangan Cheesy menuju pintu belakang gedung. Ternyata, Sheila sudah mulai berani melakukan hal demikian.

Sedangkan, di bawah sana, Sheila menghela napas saat dirinya sudah berjalan di koridor. Jantungnya berdetak lebih kencang saat Cheesy membeli jajanan di jam pelajaran, meskipun itu cilok kesukaan mereka berdua, Sheila tidak berani melakukan apa yang Chessy lakukan barusan.

"Enggak ada guru, kan?" Chessy menyenggol lengan Sheila. "Santai aja, kali, Shei. Gak papa, lo harusnya sekali-kali gitu, biar gak parnoan." Chessy tertawa.

Menghela napas, Sheila menggeleng. "Kamu aja, deh, saya soalnya gak terlalu laper juga. Dari pada nanti kita tertinggal Sholat Dzuhur berjamaah, lebih baik saya antar kamu aja beli cilok sekarang."

Cilok Pak Budi, cilok yang selalu mangkal di warung belakang sekolah. Cilok kesukaan Sheila dan Cheesy karena isiannya yang beraneka macam. Bukan tanpa alasan mereka membeli cepat, karena jika sepulang sekolah, cilok itu pasti sudah habis atau harus mengantri dulu menuju warung. Sedangkan, warung tersebut selalu menjadi tongkrongan cowok-cowok sekolahnya.

"Yaudah nanti kita beli lagi sepulang sekolah, gue juga udah pesen, tinggal diambil nanti pulang," ucap Cheesy lagi.

Mengangguk sebagai balasan, Sheila mempercepat langkah menuju kelas bersama Cheesy. Padahal ada Allah yang melihat apa yang mereka perbuat. Namun, hati Sheila malah lebih takut jika guru melihatnya. Semoga saja tidak ada yang melihat mereka tadi.

Namun, sepertinya itu hanya ilusi. Karena kenyataan, Sheila tidak mengetahui bahwa Razka melihatnya sembari tersenyum tipis.




_______

A story by:
@shafiraksara.

Note:
Ambil yang baik.
Buang yang buruk.

Terima kasih sudah membaca♡

SHEIRAZ PLAN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang