Chapter 19 : Satu Shaf

502 55 6
                                    

ABANG:

Dek, sudah keluar belum?
Dek, abang gak bisa jemput, gak papa?
Oh, abang pesankan ojek online aja, mau gak?

Gak papa, Bang.
Kata Abi Shei mau dijemput, kok.

Alhamdulilah. hati-hati, ya.
Nanti abang pulang agak larut, ya. Mau beresin tugas kuliah bareng temen-teman soalnya.

Oke, Bang.
Jangan lupa makan sama Sholat!

Iya, Sheila bawel Safira.

TERKEKEH melihat pesan terakhir dari sang Abang. Sheila kemudian menghela napas saat ponselnya tiba-tiba mati total, ini pasti karena ia tidak sempat men-chargenya tadi pagi. Memasukan ponselnya ke dalam saku jas, Sheila berjalan sembari menggenggam kantong plastik berisi cilok yang sudah ia ambil bersama Cheesy. Sekarang, Sheila harus menunggu Abinya seorang diri karena Cheesy sedang sudah pergi untuk ekskul Paskibra.

Mengenai kuliah Ghaazi, abangnya itu tengah menempuh pendidikan Manajemen Bisnis di salah satu Universitas Jakarta.

Memilih menuju Masjid untuk Sholat Ashar terlebih dahulu, Sheila menunaikan kewajiban dengan khusyu. Namun, baru saja keluar Masjid setelah Sholat, Sheila termenung melihat mobil yang terparkir tak jauh dari area Masjid sekolahnya. Itu adalah mobil Abinya.

Segera mengalihkan pandang untuk mencari keberadaan sang Abi, Sheila mendapati Abinya yang baru keluar dari arah samping Masjid. Pria itu langsung tersenyum begitu melihat Sheila.

"Sudah Abi duga, kamu nunggunya pasti disini."

Segera bangkit, Sheila mencium tangan Yazid. "Kok, Abi dari sini, sih?" tanya Sheila.

"Tadi Abi nyampe pas Adzan Ashar, yaudah Abi sekalian ikut Sholat di Masjid sekolah dulu. Abi telepon kamu tapi ponsel kamu malah gak aktif, kenapa?" tanya Yazid.

"Ponsel Shei habis baterai, Bi." jawab Sheila.

"Abi ngobrol dulu sama temen kamu tadi." Yazid mengelus kepala Sheila. "Mau pulang sekarang? Atau mau jajan dulu?"

Sheila tersenyum, menggeleng. "Shei sudah jajan," jawabnya, sembari memperlihatkan plastik cilok.

"Tapi nanti di depan sana ada para pedagang, aku mau mampir dulu, ya, Bi."

"Ya sudah, kita ke sana dulu. Kamu tidur saja di mobil, ya. Kalau pusing bilang Abi." Yazid tersenyum, lantas mengelus kepala Sheila dengan sayang. Pria itu menunggu Sheila untuk memakai sepatu hingga duduk rapi di dalam mobil.

Sheila memang seringkali sekadar membeli kue yang dijual oleh ibu-ibu, anak kecil, bapak-bapak atau makanan apa pun yang sekiranya sehat. Bukan untuk Sheila, gadis itu sering membeli banyak dari uang tabungannya untuk diberikan kepada rumah Tahfidz dan anak-anak pemulung yang selalu Sheila temui saat di jalan pulang.

"Oh, iya. Tadi Abi ngobrol sama temen aku yang mana?" tanya Sheila saat Yazid sudah memasuki mobil. Pria itu lantas mulai mengendarai mobil keluar gerbang.

"Namanya ... Razka kalau gak salah."

Menoleh, Sheila mengernyit. "Razka?" tanya Sheila, sedikit kaget.

"Iya, Razka. Dia juga jadi imam pas Abi Sholat. Tadi Abi sempat tanyakan keberadaan kamu juga pada dia di tempat wudhu," jawab Yazid, membuat Sheila terdiam.

Sejak kapan Razka masih berdiam diri di sekolah selain dari hari ekskul futsal? Apalagi menjadi imam seperti yang barusan Abinya katakan. Ternyata benar, kita tidak boleh pandai menilai kepribadian seseorang dan menganggapnya rendah. Karena ketika bertemu anak kecil, kita harus mempunyai perasaan bahwa anak kecil tersebut belum melakukan dosa seperti apa yang kita lakukan. Mereka lebih dulu beriman.

SHEIRAZ PLAN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang