RAMEESHA AKBAR A, itulah rangkaian nama yang Sheila baca dari name tag yang terpakai oleh Rameesha sendiri. Setelah menarik gadis itu keluar kantin, Sheila menemaninya menuju kamar mandi. Namun, sebelum itu, Sheila membelikan sesuatu yang Rameesha butuhkan saat ini. Untung saja keadaan kantin lantai dua sangat kosong, membuat Sheila dengan mudah mendapatkan benda itu.
Menyerahkan paper bag yang ia bawa, Sheila menatap Rameesha yang mungkin sedikit menunggu lama.
"Lo belikan untuk gue?" tanya Rameesha. Sebelah alisnya mengangkat menandakan keingintahuan.
"Saya belikan karena kamu membutuhkan benda ini sekarang," jawab Sheila.
Masih menatap Sheila dengan raut datar, Rameesha mengambil paper bag itu dengan segera. "Thanks," katanya. "Jas ... lo?" Rameesha memegang jas yang masih terikat pada pinggangnya.
"Silahkan pakai saja untuk menutupi nodanya." Sheila menjawab selogis mungkin, melihat Rameesha yang kini tidak memakai jas, membuat Sheila tahu jika gadis itu tidak membawa jas almamater seperti peraturan yang berlaku.
Tersenyum tipis, Rameesha segera masuk ke dalam toilet. Sedangkan, Sheila memilih menunggu Rameesha hingga selesai. Gadis itu hanya bisa berdiri di depan pintu masuk toilet sembari menatap ke sekeliling.
Kata orang, dia sangat anti memakai jas, free type padahal sekolah mempunyai aturan agar memakai jas itu setiap hari. Rameesha, kecantikannya membuat gadis itu terkenal di sekolah, memangnya siapa juga yang tidak mengenal Rameesha meskipun mungkin seseorang itu murid baru. Namun, dari hal itu juga, fakta yang beredar bahwa Rameesha yang enggan memiliki teman. Sifatnya yang datar membuat semua murid tidak ingin dekat-dekat dengannya. Belum lagi, terkadang Rameesha melanggar aturan dan bolos jam pelajaran.
"Lo masih disini?"
Tersentak saat mendengar suara, Sheila menoleh ke arah samping. Lantas, menegakkan tubuh.
"Sudah?" tanya Sheila. Membuat Rameesha mengangguk.
"Ya sudah, saya pamit kalau begitu," ucap Sheila. Gadis itu benar-benar hanya ingin membantu. Tidak lagi mendapat balasan apa pun, Sheila segera melangkah pergi. Namun, baru saja membuka pintu utama toilet, Sheila tersentak saat melihat seseorang yang akan membuka pintu itu bersamaan dengannya.
"Eh?" Razka mengerjap, pemuda itu mengalihkan pandang saat Sheila menatapnya bingung.
"Kamu, ngapain di depan toilet perempuan?" tanya Sheila, menatap curiga.
Segera menyembunyikan tote bag yang ia bawa, Razka membalas tatapan Sheila saat gadis itu berani menatapnya. Baru kali ini Razka melihat langsung mata Sheila, it really looks beautiful, dan kita lihat seberapa lama gadis itu bertahan pada posisinya.
Merasa Razka menatapnya tanpa jeda, Sheila mengalihkan pandang ke arah lain. Membuat Razka langsung tersenyum sinis, Sheila hanya berani menatapnya selang beberapa detik saja.
"Lo pikir gue ngapain?" tanya Razka, mengangkat sebelah alisnya. Pemuda itu tertarik dengan obrolan seperti ini. Apalagi mendengar nada bicara Sheila yang selalu membuat Razka berpikir akan prasangka buruk dari Sheila sendiri. Pandangan gadis itu selalu menelisik seolah tidak percaya dengan apa pun yang ia katakan.
"Hobi banget membalikkan pertanyaan." Sheila menggelengkan kepala pelan. "Saya duluan," sambung Sheila, memilih pamit.
"Jangan mikir macam-macam tentang gue, Shei." Razka mengintruksi pergerakan Sheila, membuat gadis itu kembali menghentikan langkah.
"Memangnya saya berpikir apa?" tanya Sheila, membalikkan badan. "Kalau seperti ini, kalimat yang kamu lontarkan sebaiknya untuk diri kamu sendiri," sambungnya, datar.
"Lagipula, saya tidak berpikir macam-macam pada kamu. Apa untungnya saya berprasangka buruk pada manusia, sedangkan tidak ada yang bisa mengetahui segala isi hati selain dari-Nya."
"Saya cuma pamit buat Sholat, bukannya Adzan sudah berkumandang dari sepuluh menit yang lalu? Makanya saya tanya kamu sedang apa di sini, padahal ini waktu Sholat berjamaah," kata Sheila, membuat Razka tersadar. Sepertinya ... ia salah mengambil topik.
"I have something to take care of dan itu bukan urusan lo. Mungkin lo yang selalu menampilkan raut enggak percaya ke gue, gue jadi berpikiran sama untuk semua hal." Razka mengangkat bahu acuh.
Menghela napas dengan apa yang Razka katakan, Sheila menggelengkan kepala pelan. "Kamu berdiam diri disini memunculkan pertanyaan bagi orang lain, Rayyan." Sheila menekan nama tengah Razka.
Melihat Razka yang hanya terdiam, Sheila memutuskan untuk pergi. Membuat pemuda itu tersenyum miring. "Tumben banget panjang ngomongnya."
Dan apa katanya? Rayyan? Kesal Sheila ternyata berbeda dengan orang lain. Razka sendiri mengulur waktu dengan keluar gerbang hanya untuk mencari minuman yang mungkin Meesha inginkan. Razka tentu tidak terlalu tahu, ia hanya mencari-cari di internet nama dari produk minuman tersebut.
Seharusnya, Razka pun menjelaskan mengapa ia berada disini pada Sheila. Namun, itu hanya akan memunculkan pertanyaan baru. Hubungan apa yang membuat dirinya sampai memberikan benda ini padahal Rameesha tidak satu kelas dengannya. Razka tidak ingin orang-orang mengetahui hal itu sekarang.
"Lo ngapain disini?"
Menoleh saat mendengar suara yang sangat ia kenali walau jarang bertegur sapa. Razka menatap Rameesha yang baru saja keluar dari toilet, gadis itu masih memakai jas yang Sheila berikan tadi. Bahkan, rambut panjang itu senantiasa Rameesha ikat hingga membuat kondisi lehernya terlihat sempurna.
"Itu apa?" tanya Rameesha, melihat sesuatu yang Razka bawa.
"Benda yang lo butuhkan," jawab Razka, singkat. Menatap datar. "Lo gak ingat tanggal-"
"Lo gak usah komen hidup gue, periode cewek gak selalu sesuai target." Rameesha memotong ucapan Razka, lalu gadis itu mengambil totebag yang Razka bawa.
"Lo telat, tapi gue terima," ucapnya, lagi. Lalu menatap Razka.
"Gue harus berterima kasih sama temen sekelas lo, dan kayaknya ... lo harus berlatih buat nyari alasan kalau ngobrol sama dia. She is a smart girl who is very unpredictable." kata Rameesha, memberi saran karena ia sempat mendengar pembicaraan tadi.
"Telepon sopir rumah kalau mau balik," balas Razka mengalihkan pembicaraan.
"Sejak kapan lo ngatur gue?" tanya Rameesha, tersenyum tipis. Kalimat Razka benar-benar membuatnya semakin tidak ingin pulang. Razka membuatnya merasa diabaikan dan dibersamai dalam satu waktu.
Tumben sekali pemuda itu memberikan hal semacam ini. Rameesha tentu sangat penasaran bagaimana seorang Atharazka menurunkan gengsi saat membelinya.
"Terima kasih banyak, gue duluan." Rameesha kembali berucap pelan. "Gue tahu ini menyebalkan bagi lo. But, i really miss you,"
Satu detik setelah itu, Rameesha memilih untuk segera pergi. Sebanyak apapun waktu untuk menunggu Razka membalas, Rameesha tidak akan pernah mendapat balasan.
Mengalihkan pandang saat mendengar kalimat itu, Razka menelan saliva. Tangannya kembali terkepal dengan perasaan yang tidak bisa ia deskripsikan setelah Rameesha berkata demikian. Apa mungkin seseorang masih menyayangi, meskipun mendapat perlakuan buruk dari orang yang dia sayangi?
Razka benar-benar tidak percaya akan hal itu.
__________
@shafiraksaraI know, ini sangat pendekk :(
Kembali jumpa besok, bye bye!
Note:
Ambil yang baik.
Buang yang buruk.Terima kasih sudah membaca.
JANGAN LUPA BACA AL-QUR'AN JUGA!♡
KAMU SEDANG MEMBACA
SHEIRAZ PLAN ✓
Fiksi Remaja"Tidak ada jatuh cinta yang lebih baik dari pada menjemputnya dengan cara yang baik." Atharazka Rayyan Ahza, sejak pertama kali memasuki Manajemen, atensinya sudah mengarah pada salah satu gadis yang sangat berbeda dengan gadis yang selama ini ia te...