Chapter 35 : Cinta Pada Satu Waktu

452 53 1
                                    

JIKA ada pertanyaan hal apa yang terasa berbeda. Maka Razka akan menjawab dengan banyak hal. Pertama kali mengikuti kegiatan sosial, menjadi ketua kelas, menjadi sekretaris Rohis, dekat dengan Rameesha, dan belajar tentang Agama setiap hari bersama Pak Arraf.

Rasanya Razka memang benar-benar tidak ada waktu untuk sekadar nongkrong bersama Daffin, Bagas atau Razi seperti biasanya. Bukan Razka enggan, ia hanya terlalu sibuk karena harus membagi waktu apalagi tugas akhir semester baru ia kerjakan karena kemarin tertinggal. Namun, Razka bersyukur karena teman-temannya mau mengerti, mereka bahkan tidak menyinggung perbedaan yang Razka lakukan seperti menolak ajakan.

Setelah memastikan Rameesha tidur tepat pada waktunya, Razka segera mengerjakan tugas seorang diri di kamar. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Razka masih senantiasa berada di depan laptop sembari mengerjakan jurnal-jurnal yang harus di kumpulkan besok.

Tidak masuk beberapa hari saja cukup membuat Razka kelimpungan menghadapi tugas-tugas.

Memilih untuk mengambil minum karena mulai haus, Razka berjalan menuju lantai bawah. Pemuda itu menyalakan lampu setelah berada di ruang keluarga, satu hal yang langsung Razka lihat, ia mendapati Ahza yang tertidur di sofa tanpa selimut.

"Bikin kaget aja," ucap Razka pelan.

Segera melanjutkan langkah dengan sangat hati-hati ke arah dapur, Razka mengambil segelas air untuk ia bawa menuju kamar. Namun, baru saja kembali ke ruang keluarga, Razka malah melihat Ahza yang sudah terbangun sembari memijit lehernya.

"Papa kira Meesha," ucap Ahza, dengan mata menyipit.

Sejenak Razka baru teringat jika Ahza memang tidak bisa tidur dengan lampu yang begitu terang. Pria itu mungkin terbangun karena lampu yang tadi ia nyalakan.

"Kenapa tidur di sofa?" tanya Razka.

"Takut Meesha butuh sesuatu," jawab Ahza.

"Kamar Meesha satu lantai sama aku, kenapa harus khawatir? Kalau mau tidur di sofa, minimal bawa selimut dan bantal yang sesuai," ucap Razka, lantas menyimpan segelas air itu di meja. Pemuda itu berjalan ke arah kamar tamu untuk mengambil selimut serta bantal.

"Jangan sampai sakit leher atau masuk angin paginya." Razka masih berbicara saat kembali, wajahnya yang datar sambil membawa bantal sontak sedikit membuat Ahza menahan geli.

"Omelanmu itu Raz, persis seperti Mamamu," ucap Ahza terkekeh, menerima selimut serta bantal yang Razka berikan.

"Itu karena aku putra Mama," sahut Razka, malas.

Menggelengkan kepala pelan, Ahza menatap Razka yang kini ikut duduk sembari minum. Putra yang dulu sering ia gendong ternyata sudah tinggi dan sedewasa ini, meskipun banyak tahun yang mereka lewati tanpa bersama, Ahza sedikit pun tidak pernah meninggalkan Razka. Jika Razka menolak dan enggan berbicara padanya, Ahza hanya bisa meminta tolong pada Erfan, orang kepercayaan sekaligus sekretaris pribadinya untuk berbicara langsung pada Razka.

"Atharazka," panggil Ahza, membuat Razka menoleh.

"Kamu sudah menerima Meesha sepenuhnya?" tanya Ahza lagi. Berhasil membuat Razka terdiam, pemuda itu hanya mampu menggenggam gelas sembari menunduk.

"Dia adik aku, mana mungkin aku tidak menerimanya," jawab Razka.

Untuk pertama kali, Razka berbicara jujur dan berhadapan langsung dengan Ahza tanpa harus saling menghindar setelah sekian lama.

"Selalu lihat dia sebagai sosok adikmu, karena kehadiran kalian berdua bukan kesalahan bagi hidup Papa. Hanya saja, Papa melakukan kesalahan pada Ibu kalian,"

SHEIRAZ PLAN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang