SATU BULAN berlalu, waktu yang digunakan pun terasa sangat singkat. Jika ada kesempatan untuk berkumpul, mereka hanya akan fokus pada kegiatan masing-masing.
Seperti sekarang, Razka sibuk dengan laptop untuk mengerjakan tugas mengenai surat. Daffin yang sibuk dengan semua berkas dari pihak les Administrasi privatnya, Bagas yang sibuk belajar mengisi soal-soal. Sedangkan, pemuda bernama Razi masih setia menatap selembar formulir.
"Ini kenapa gak ada pilihan nikah, sih? Katanya kita bebas memilih," ucap Razi, bingung.
"Ya, arahnya gak ke sana juga," sahut Bagas, masih setia fokus.
Menghembuskan napas, Razi menyenderkan punggung lalu menatap ketiga temannya. Setelah libur semester, ketiga temannya seakan gila terhadap tugas. Belum lagi Razka dan Daffin yang sudah belajar bisnis lebih dalam. Sedangkan, dirinya masih bingung untuk menentukan arah mana, meskipun Bundanya sering bertanya mengenai hal ini. Apalagi, tes pertama sudah terlewat beberapa minggu kemarin.
Memijit keningnya pelan, Razka mengalihkan atensinya dari laptop. Pemuda itu memejamkan mata sesaat. Tak lupa mengucap syukur karena tugasnya telah selesai.
"Gak ada tugas lagi, kan?" tanya Razka, ke arah Bagas.
"Satu lagi kalau gak salah, kita ngerjain jadwal dinas pimpinan. Kemarin semua anak kelas kita dapat tanda merah banyak," jawab Bagas, membuat Razka mengangguk.
Sepertinya, ia harus bertahan untuk satu tugas menuju Uji Kompetensi dan Ujian Sekolah dua bulan lagi.
Menoleh ke arah Daffin yang masih sibuk, pemuda itu bahkan sudah memakai kacamata sekarang. Musibah yang menimpa Papanya membuat Daffin mau tak mau mengambil kelas cepat untuk bisa melanjutkan perusahaan yang Papanya pegang. Meskipun awalnya Daffin banyak main, tapi dia selalu belajar karena sering main ke kantor Papanya.
Namun, terlepas dari itu, Daffin pernah bicara jika ia hanya ingin Papanya bertahan dari sakit Jantung yang dideritanya untuk melihat adik-adiknya sukses. Maka dari itu, lebih baik Papanya istirahat total meskipun dampaknya Daffin dan Omnya lah yang harus mengurus ini sekarang.
"Udah ngisi formulir belum, Ji?" tanya Razka, mengalihkan atensi.
Razi menggeleng. "Masih bingung,"
"Cari yang lo suka dan sekiranya membantu lo di kemudian hari," ucap Razka, memberikan saran.
"Ujung-ujungnya pasti jurusan yang sama," sahut Daffin, lantas memijit lehernya.
Memilih untuk mematikan laptop, Razka hanya berdoa jika ia lulus di Universitas yang ia inginkan. Akan sangat malas baginya untuk mengulang tes.
"Gue ke Masjid dulu, ya. Ada jadwal belajar sekarang," ucap Razka lantas berpamitan dengan cepat.
Pemuda itu berjalan ke arah kelas untuk menyimpan laptop serta bukunya sebelum menuju Masjid. Namun, baru saja memasuki kelas, Razka tertegun melihat Sheila yang tengah menutup wajah dengan bahunya yang sendikit bergetar.
Akan membalikkan badan untuk memberi ruang, Razka terpaksa meneruskan langkah saat Sheila mengetahui akan keberadaannya. Gadis itu berdehem dan mengusap air mata yang sudah membasahi pipi. Sungguh, melihat bagaimana tubuh kecil itu menahan tangis, membuat Razka sangat ingin memeluknya.
Berjalan menuju tempat duduknya, Razka menyimpan laptop serta buku. Lantas, ia mengambil tisue yang belum ia buka di laci meja.
"Gak papa." Razka menyerahkan tisue tersebut, membuat Sheila menoleh.
Sheila menerima tisuenya. Gadis itu tersenyum walau air matanya kembali keluar. "Malu banget, kenapa harus masuk, sih?" tanya Sheila, pelan.
"Kenapa nangis harus malu? Itu perkara fitrah manusia, La," ucap Razka. "Mau cerita?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHEIRAZ PLAN ✓
Fiksi Remaja"Tidak ada jatuh cinta yang lebih baik dari pada menjemputnya dengan cara yang baik." Atharazka Rayyan Ahza, sejak pertama kali memasuki Manajemen, atensinya sudah mengarah pada salah satu gadis yang sangat berbeda dengan gadis yang selama ini ia te...