Tujuh

559 69 11
                                    


Selamat Membaca ❤️✨



















“Ibu, kalau Ibu begini terus, Eunchae pasti akan sedih. Makanlah setidaknya sesuap. Ibu tidak makan selama seminggu ini kecuali minum jus,” bujuk Sunghoon.

Ibunya tidak mau makan sejak kematian Eunchae. Wanita paruh baya itu memilih melamun di dalam kamarnya sambil memeluk pigura sang anak yang tersenyum cerah dengan toga dan jubah kelulusannya sewaktu SMA.

“Nayeon, jangan siksa tubuhmu dengan berlarut-larut dalam kesedihan. Eunchae sudah tenang di alam sana, jangan kau buat sedih dengan sikapmu yang kekanakan seperti ini,” bujuk Sana yang menemani Sunghoon menyuapi Nayeon di kamar.

Tatapan mata Nayeon tampak kosong. Wanita itu merasa kesepian sejak kepergian anak gadisnya yang begitu ceria. Rasanya rumah begitu sepi setelah kepergian anak perempuan kesayangannya itu.

Nayeon mungkin akan mengikhlaskan kematian anaknya, tapi ketidakwajaran akan kematiannya membuat Nayeon tidak ikhlas dan marah pada orang yang membunuh sang putri.

“Eunchae adalah matahariku...,” suara Nayeon terdengar parau. Matanya mulai berlinang lagi padahal ia selalu menangis. Sepertinya air matanya seakan tak akan pernah habis kalau menangisi anak perempuannya.

“Ibu, makanlah...” kata Sunghoon.

Nayeon melirik bubur yang dibuat Sana di atas sendok aluminium yang dipegang Sunghoon.

“... Biasanya Eunchae yang menyuapiku kalau aku demam dan Sunghoon sibuk bekerja...” kenang Nayeon dengan wajahnya yang kuyu.

Sana dengan setia mendengar curhatan Nayeon. Wanita itu meraih tangan sahabatnya dan mengusapnya pelan, berharap Nayeon merasa tenang di tengah kesedihannya.

“... D-dia selalu membuatku tertawa... Dia selalu menghiburku, kalau pelanggan di restoran kadang-kadang buat naik tensi... Dia selalu memijat punggung... kaki... dan tanganku saat aku lelah... Dia anak kesayanganku... Aku... begitu menyayanginya seperti dia menyayangiku...” kata Nayeon terbata.

Sunghoon menyeka air mata yang jatuh dari sudut mata sang ibu dengan ibu jari tangan kirinya. Pria itu meletakkan sendok bubur ke dalam mangkok di atas nakas.

Polisi itu duduk di pinggir kasur bersama Sana, dan memegang tangan Nayeon.

Nayeon menoleh lemah pada anak lelakinya yang menjadi anaknya satu-satunya setelah kepergian Eunchae.

“... Sunghoon...”

“Ya, Bu?” balas Sunghoon dengan nada rendah dan penuh kesopanan.

“... Tolong berjanji untuk menangkap pembunuh Eunchae pada Ibu...”

Sunghoon mengangguk. “Aku janji. Apapun aku lakukan agar pembunuh Eunchae tertangkap.”

“Jangan beri dia keringanan hukuman. Hukum dia seberat-beratnya. Kalau bisa, kau bunuh saja dia karena telah membunuh matahari keluarga kita,” kata Nayeon yang begitu membenci pembunuh sang anak.

Sementara itu, di sebuah rumah mewah yang megah, seorang gadis tengah bersin.

“Hatchi!”

Gadis yang lengkap dengan piyamanya itu mengusap hidungnya yang tiba-tiba gatal tanpa sebab.

“Sepertinya ada yang membicarakanku,” gumam gadis itu.

Kaki jenjangnya melangkah menyusuri kamarnya yang luas yang berisi furnitur mewah dan mahal.

Srek!

Ia mengambil selembar kertas dari atas meja kerjanya yang cukup besar seperti layaknya meja biliard.

8. J - ✓ Mafia Princess And Police Man ™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang