29

2.7K 154 54
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

Fabian menatap dirinya dari pantulan cermin. Pria itu duduk sembari mengenakan jas hitam yang diberikan Favian padanya. Matanya sendu seakan putus asa. Hari ini, Gabian akan melangsungkan pernikahannya bersama sang gadis tercinta.

Helaian nafas lelah terdengar. Jujur saja, ia tak ingin ikut karna takut hati kecil nya tak menerima kenyataan itu. Kenyataan jika Gabian begitu dengan mudah melupakan dirinya. Namun semuanya terjadi begitu saja. Seharusnya ia sadar bahwa semesta tak merestui hubungan mereka.

CEKLEK!

Favian masuk seraya menggelengkan kepalanya. Daun pintu itu kembali ia tutup sebelum tubuh sang adik ia dekati. Favian tahu Fabian tak sepenuhnya pasrah akan takdir hidupnya. Karna ia dengan sendirinya melihat betapa kecewanya lelaki itu saat ditingali mantan pacarnya secara tidak baik.

"Lo benaran gapapa?" Tanya Favian. Ia masih menatap wajah penuh kekecewaan itu.

"Hmm.. " Fabian balas tatapan Favian.

"Kalo lo gak bisa, gausah—"

"Gue oke Kak." Fabian mengangguk guna menyakinkan sang Abang. "Gue harus dukung dia disaat-saat bahagia nya."

Senyum tipisnya terlihat begitu pahit. Tak ada bahagia, hanya keperitan. Fabian mencoba untuk tetap tegar. Walau emosinya berbalik dari kenyataan itu.

Favian hanya diam. Matanya terus melihat tingkah aneh adiknya itu. Fabian yang tengil dan keras kepala berubah menjadi sosok yang pendiam dan penyendiri. Ia bahkan tak percaya jika ini adik kandungnya.

"Gue tau lo khawatir." Suara termuda memecahkan keheningan. "Gue oke. Dan semuanya bakal oke setelah gue liat pernikahan mereka. Semau apapun gue, kalo itu takdir.... gue tetap harus sadar. Sadar bahwa dia bukan milik gue."

Favian menghela nafas. Pundak Fabian ia tepuk sebelum senyum tipis terukir tampan di bibirnya. "Gue bangga sama lo karna udah se-matang ini. Dan gue tau lo kuat."

Mereka saling membalas senyuman. Setidaknya mereka tahu tak ada yang harus menjadi milik meskipun mereka telah bersama. Kebahagiaan akan selalu wujud, namun kepahitan juga ingin wujud.

Fabian, "Kalo dia bahagia, gue ikut bahagia."

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

Malam yang mengantikan siang, berembusnya angin dingin dengan suara ombak yang ber—hempas. Para tamu elit yang diundang tampak ramah berbicara bersama ayah anak yang akan menikah.

ᴘʟᴀʏʙᴏʏ ᴠꜱ ᴘʟᴀʏʙᴏʏTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang