Hallooooooo!
Jangan lupa di bakar—
🗣️: "Apanya?"
Author : "Kenangannya kalo bisa, hhe."
Happy reading part two! 🦋
****
Sejak matahari menampakkan diri, mengemban tugas menerangi bumi hingga kini tenggelam bergantikan rembulan, seorang lelaki dengan status CEO yang disandangnya terlihat duduk di dalam ruang kerjanya di kantor. Kemeja yang dia kenakan sedikit berantakan, dasi yang terpasang tak serapi tadi pagi, jas yang semula dipakai tergeletak di atas meja. Wajah tampan yang dengan mudah memikat hati perempuan itu terlihat lesu. Tatapannya sayu dengan kantung mata yang kian menghitam.
Arsen menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa. Netranya memejam, betujuan ingin istirahat sejenak. Raut wajahnya tak bohong bahwa dia benar-benar kelelahan. Banyaknya pekerjaan membuat laki-laki berusia 28 tahun itu sangat sibuk hingga tak sempat mengurus dirinya sendiri. Perempuan yang akan ia nikahi, yang berharap akan mendampinginya di masa seperti ini pun sudah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya lima tahun yang lalu.
"Jangan terlalu paksain diri," celetuk seorang perempuan yang tiba-tiba masuk. Shenina Faelyn Zavlendra—sepupu Arsen. Lelaki itu tersadar. Ia bangkit dari tidur singkatnya dengan Shena sudah duduk di sampingnya. "Sibuk si sibuk. Minimal jangan lupa makan lah," ujar Shena seraya mengeluarkan makanan dari paper bag yang dia bawa.
"Iya." Arsen mengiyakan saja. Sejak lima tahun terakhir, Shena lah yang memperhatikannya. Tapi kali ini tidak lagi setiap waktu karena Shena disibukkan oleh study strata duanya.
"Jangan terlalu diforsir. Lo bukan robot." Shena mengingatkan seraya memberikan wadah berisi makanan kepada Arsen. "Nggak inget punya penthouse? Buat apa beli kalo nggak dihuni."
Shena mengingatkan kesekian kali. Selalu seperti ini. Arsen jarang sekali mendengarkan. Lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada penthouse yang dia beli puluhan milyar. Jatuhnya rumah laki-laki itu kantor. Kembali ke penthouse saja tak lebih dari sekedar mengganti pakaian.
Arsen mendengarkan saja, sesekali dia mengangguk sok paham. Berbeda dengan lima tahun lalu, kini lelaki itu menjadi pendiam dan irit bicara. Mengeluarkan kata seperlunya saja.
Di tempatnya Shena memperhatikan Arsen yang tengah makan. Ada pilu acapkali dia memandang wajah lelaki itu. Ini sesak sekali, sungguh. Air mata Shena menetes tanpa disadari. Kenapa harus semenyesakkan ini? Dari sekian banyak perpisahan, kenapa harus kematian? Nazeera ... calon suami lo ini bangkit dari masa terpuruknya. Dengan sakit yang terus dibawa. Shena membatin lirih.
"Lo nangis?"
Suara Arsen menyadarkan Shena. Gadis itu buru-buru menghapus tetes air di pipinya. Shena menggeleng kemudian berkata, "Nggak. Kelilipan ini."
Arsen melanjutkan makannya. Lihat. Dia sama sekali tak melanjutkan pertanyaan. Bicaranya irit sekali. Tingkahnya seolah percaya-percaya saja dengan alibi Shena. Faktanya entahlah. Arsen sulit ditebak. Lelaki itu abu-abu di sekian banyak warna.
"Arsen."
Lelaki itu menoleh. "Iya?"
"Lo nggak kepengen nikah?" Shena sudah menimang kalimat yang akan dia ucapkan. Seharusnya dari dulu dia mengatakan ini. Arsen harus mendapat pengganti agar tak terus terikat dengan masa lalu.
****
Tiga hari semenjak makan malam saat itu, sejak itu pula Nazeera memiliki hobi baru. Duduk di ujung kasur di dalam kamar seraya melamun. Seperti malam ini. Tatapannya lurus hampa. Banyak sekali sesuatu yang mengusik pikirannya, ditambah syarat yang diberikan sang kakek, Nazeera kian pening memikirkan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREAT GIRL
Sonstiges"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang berawal dari perkenalan lalu berakhir dengan kata jadian. Ini sebuah cerita tentang dua manusia yang sud...