BAB 31 : Berlayar

30.3K 1.6K 281
                                    

Sumpeh! Aku terharu dan nggak nyangka banget target di part sebelumnya berhasil tembus 😫🤍 Terima kasih banget buat yang berpartisipasi. Aku merasa dihargai 💗

Terima kasih untuk kalian semua deh intinya yang sudah berkenan baca sampe di part ini 🤍 Kalau bisa, tolong jangan ada silent readers. Jangan diem2 bae, ramein lah cerita ini biar aku punya alasan untuk update cepat ☺️💐

Udah itu aja. Selamat membaca 🌹
Maap kalau updatenya kemaleman. Tadi nggak ada sinyal cui 🥲🤘🏻

****

Setelah kurang dari dua jam berada di makam orang tuanya, Arsen pada akhirnya memutuskan untuk beranjak. Lelaki yang melangkah menuju parkiran itu tiba-tiba berhenti saat menemukan seorang perempuan yang dia kenali berdiri di dekat sebuah pohon besar—membelakanginya.

"Nazeera?" panggil Arsen memastikan.

Nazeera terdistraksi. Gadis itu membalikkan badan, mendapati Arsen yang entah sejak kapan berada di belakangnya.

"Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Arsen lagi namun tak dijawab oleh Nazeera. Gadis itu malah menundukkan kepala dengan air wajah tampak sayu. Arsen mengusap pangkal hidungnya sekilas. Ketenangan terpatri jelas di mata kendati masalah tengah mendekapnya membabi buta. "Saya datang ke makam orang tua saya, bukan melakukan pesugihan," jelas lelaki itu.

Alih-alih menyahut, Nazeera malah merentangkan tangan. Arsen yang melihatnya mengalihkan pandangan. Lelaki itu agak mengangkat kepala, upaya menahan cairan bening di pelupuk mata agar tidak terjatuh. Ego Arsen masih tinggi, tidak mau nampak lemah di depan Nazeera, dan yang lelaki itu lakukan adalah sia-sia. Nazeera lebih memahami apa yang Arsen rasakan, apa yang Arsen butuhkan. Nazeera tau, dia paham perasaan lelaki itu. Maka Nazeera maju, mengikis jarak, lalu memeluk tubuh besar Arsen.

"Nggak ada larangan untuk menangis," ujar Nazeera lembut, sontak membuat kedua tangan Arsen melingkar di pinggang Nazeera, erat. Lelaki itu bahkan dengan sadar meloloskan setetes air di pipinya. Usapan lembut di punggung kian membuat Arsen terenyuh. Satu tetes, dua tetes, bertetes-tetes air mata luruh tanpa segan dari mata lelaki itu. Melupakan ego yang tadi sempat dia bentang sekokoh mungkin.

"Saya sendiri ...." Mata Arsen terpejam. Perasaan sesak menggumpal hebat di dada. Lelaki itu terang-terangan menunjukkan kelemahan di depan Nazeera. Tidak ada gengsi seperti yang sudah-sudah. "Orang tua saya meninggalkan saya selama-lamanya sejak saya masih kecil, sejak saya berumur delapan tahun," katanya dengan suara bergetar.

"Udah. Udah, ya." Nazeera menepuk pelan punggung Arsen. Kisah menyayat itu sungguh menyedihkan. Nazeera tidak sanggup mendengar suara isi hati Arsen yang pastinya sakit sekali. Tangis gadis itu akan pecah jika dia tidak pandai mengendalikannya. "I'm here. Aku di sini ...."

Aku.

Arsen tidak tuli. Dia jelas mendengar kata itu. Rasanya ... menenangkan. Definisi tenang yang tidak bisa Arsen jabarkan. Lelaki itu bergeming, memilih memejamkan mata. Memeluk Nazeera kian erat dengan air mata tumpah tanpa segan di sana.

****

"Jadi selama ini Pak Arsen ada di penthouse?" Nazeera melotot tidak percaya setelah Arsen selesai bercerita mengenai dirinya yang tidak ada kabar selama sepuluh hari ini, dan lelaki itu mengangguk tanpa dosa.

Nazeera mengerjap polos. Konspirasi macam apa ini? Bisa-bisanya Arsen hanya berdiam diri di kediamannya sementara Nazeera dan Shena mencari lelaki itu sampai serasa ke ujung dunia?!

Nazeera geleng-geleng tidak habis pikir. Dia mengalihkan pandangan, menatap lurus ke depan. Cahaya rembulan kembali mengemban tugas menerangi bentala malam itu. Keduanya tengah berada di atas jembatan di bibir pantai. Hanya ada mereka berdua di sana, tidak ada orang lain. Ditemani desiran ombak dan hembusan angin malam, netra keduanya menyorot hamparan laut luas yang menyuguhkan ketenangan.

GREAT GIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang