BAB 21 : Hujan

35.2K 1.7K 79
                                    

Halo gess, aku kembali!! 😍
Maaf kalo munculnya agak lama. Maklum event besar-besaran, hhe. Jangan lupa diramaikan. Selamat membaca 🌹🤍

****

"Ini sama sekali nggak dirawat? Nggak dibersihin gitu?" tanya Nazeera saat menginjakkan kaki di apartment tempat Arsen tinggal dulu.

Shena menggeleng. "Nggak."

Tidak ada alasan pasti. Saat malam bergantikan pagi, saat itu juga Nazeera menghubungi Shena untuk mengajak gadis itu mengunjungi apartment Arsen. Shena mengiyakan saja—berhubung ia tidak ada kelas pagi. Nazeera memindai setiap sudut ruangan. Dia sempat terbatuk ringan saat memasuki tempat itu untuk pertama kali setelah cukup lama.

Selain apartmentnya, apartment Arsen ini juga saksi bisu banyaknya kenangan mereka di sini. Sekarang tempat ini sudah menjelma bak sebuah gudang—atau bahkan lebih dari sekedar sebutan itu. Ditimbun oleh banyaknya debu, belum lagi barang yang tak tertata dan berantakan kian membuat Nazeera menyorotnya dengan tatapan pilu.

"Kenapa?" Nazeera bertanya lagi.

"Dikarenakan Arsen sibuk maybe. Makanya nggak punya waktu buat ngurusin," jawab Shena. "Rencananya dulu mau dijual. Tapi nggak tau deh kenapa nggak jadi."

Nazeera manggut-manggut. Membawa kakinya melangkah semakin ke dalam. Padahal dirinya sudah tertata dengan setelan kantor tersemat rapi di tubuh. Tapi hal tersebut seolah bukan hambatan bagi Nazeera, seakan tak takut jika nanti pakaiannya akan tertempel oleh debu yang tentu dengan jumlah tak sedikit di dalam sana.

'Maaf Nazeera. Gue nggak mungkin cerita alasan sebenarnya Arsen pindah adalah karena dia tersiksa tinggal di sini. Di mana kepalanya sakit dengan sakit yang tak tertahan karena dihantui oleh banyaknya kenangan kalian di sini. Nggak ada hari Arsen tanpa kesakitan. Arsen tersiksa banget Zee, dan gue yakin ... lo akan lebih tersiksa kalo tau alasan sebenarnya.' Shena membatin pilu. Bagaimana raungan menyayat Arsen waktu itu masih terekam jelas di benaknya. Sudah, cukup. Shena sama sekali tak berniat menceritakan yang satu ini kepada Nazeera. Jangan sampai luka lama tersebut mencuat kembali dengan Nazeera sebagai penderita barunya.

"Zee, gue angkat telepon dulu," ujar Shena saat handphonenya berdering.

"Iya." Nazeera mengangguk. Selepas Shena berlalu keluar, Nazeera membawa kakinya menuju sebuah ruangan yang di mana ia tau ruangan tersebut adalah kamar Arsen.

Nazeera menekan saklar dan lampu otomatis menyala. Keadaan yang tadinya redup menjadi terang kendati tak benderang—remang-remang. Pandangan Nazeera jatuh pada bingkai foto di atas nakas. Foto di mana Arsen masih duduk di bangku kuliah dengan jaket kulit terlampir gagah di tubuh. Nazeera berjalan mendekat, mengambil bingkai yang sudah dipenuhi banyak debu itu.

Tisu basah yang Nazeera ambil dari tas untuk mengelap bingkai itu jatuh ke lantai. Nazeera mendesah pendek. Niatnya berjongkok hendak mengambil tisu tersebut malah dibuat gagal fokus oleh gumpalan kertas di bawah kaki nakas. Entah kekuatan dari mana, Nazeera mengambil benda yang lusuh dan kotor itu padahal sebenarnya ia tak begitu penasaran. Nazeera membukanya. Hal yang membuatnya termangu begitu saja saat membaca deretan huruf yang tertulis di sana.

Kamu tau aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Lalu kenapa kamu malah pergi.

Kamu sengaja?

Detik itu juga tubuh Nazeera luruh ke lantai tanpa peduli pakaiannya yang kotor seketika. Munafik jika Nazeera mengatakan ia baik-baik saja setelah membaca aksara tertulis di kertas lusuh itu. Napas Nazeera tertahan di kerongkongan. Tak perlu menerka-nerka, Nazeera tau siapa yang menulis kalimat itu tanpa harus berpikir panjang. Sebuah pisau seolah ditancapkan begitu sadis di ulu hatinya. Nyeri sekali.

GREAT GIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang