2 | Menjelaskan

1.4K 123 1
                                    

Raja kini menatap ke arah Retno, kemudian mengangguk pelan untuk memberikan jawaban. Retno tampak bingung harus merasa senang atau tidak senang dengan kemampuan yang Raja miliki. Ia bingung, apakah bisa melihat hal tak kasat mata adalah hal baik atau tidak baik.


"Tapi aku hanya sekedar bisa melihat, Bu. Berbeda dengan Ziva. Kemampuan dia lebih daripada kemampuanku," jelas Raja.

"Iya ... kalau itu Ibu jelas tahu. Kelihatan kok bedanya sejak tadi. Hanya ... Ibu masih agak bingung dengan kondisi dirimu dan Ziva. Itu saja," aku Retno, tidak ingin menutup-nutupi apa pun.

"Iya, aku paham. Ziva pun paham. Tidak mudah memang menerima orang-orang seperti kami. Maka dari itulah orang-orang seperti kami memilih untuk tidak membicarakan tentang apa yang menjadi perbedaan kami," tanggap Raja, sambil mulai mencoba menghindari Retno.

Melihat gerak-gerik Raja, Retno pun sadar bahwa jika dirinya tidak bisa menerima apa yang ada pada diri putranya, maka hubungan mereka akan mulai berjarak. Raja adalah orang yang mudah tidak merasa nyaman, terutama saat dirinya merasa tidak diterima di sekeliling orang-orang yang dikenalnya. Itulah alasan mengapa Raja selama ini sering sekali berpindah-pindah tempat kerja, hingga akhirnya baru bisa menetap ketika ia menemukan orang-orang yang bisa menerimanya.

"Nak, Ibu paham dengan apa yang ada pada dirimu ataupun pada diri Istrimu. Ibu tidak akan mempermasalahkan hal itu. Saat ini Ibu serta yang lainnya, yang ada di ruangan ini sedang merasa shock atas apa yang terjadi pada Rere. Kami semua belum pernah melihat hal segila kejadian ini, bahkan kedua orangtua Rere sendiri. Jadi beri Ibu waktu untuk berpikir jernih. Saat ini semua perhatian kita harus tercurah pada Rere, bukan?" tanya Retno.

Ziva segera mengusap lembut pundak Raja, sehingga Raja kini menatap ke arah Ziva.

"Apa yang Ibu katakan jelas benar. Semua orang sedang shock karena belum pernah menghadapi hal-hal yang sudah sering kita hadapi. Kita yang harus pengertian, karena kali ini mereka jelas harus turut andil untuk membuat kita tetap tenang demi melepaskan teluh kain kafan itu dari Rere," jelasnya, membujuk Raja agar kembali merasa nyaman.

Raja pun segera menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia paham bahwa dirinya harus tetap tenang dalam kondisi yang sekarang. Retno pun langsung merasa lega. Ia benar-benar merasa beruntung karena memiliki menantu seperti Ziva. Ziva selalu mampu memberi pengertian kepada Raja untuk tidak mudah marah kepada orang lain, sebelum melihat situasi yang ada di sekitarnya. Retno menyadari itu sejak awal, bahwa Raja perlahan tidak lagi menggunakan emosinya sejak bekerja dan dekat dengan Ziva. Maka dari itulah ia sangat setuju dan langsung memberi restu ketika Raja hendak melamar Ziva dan meminangnya untuk dijadikan istri.

"Rere sepertinya demam," ujar Vano.

Pria itu belum ke mana-mana sejak tadi. Dia masih terus berada di sisi Rere untuk mendampinginya.

"Itu bukan demam. Itu adalah efek yang Rere terima dari teluh kain kafan. Saat ini si pengirim teluh itu pasti sedang kuat-kuatnya membakar kemenyan merah untuk memperkuat semua ikatan yang ada pada benda itu," ujar Ziva, sambil menunjuk ke arah benda putih berbentuk pocong yang masih dijaga oleh Tari dan Hani.

Mendengar penjelasan dari Ziva, semua orangtua tampak memasang ekspresi ngeri di wajah masing-masing.

"Kamu benar-benar sudah terbiasa menghadapi hal-hal seperti itu, ya? Sampai-sampai kamu hafal betul dengan apa yang sedang dilakukan oleh si pengirim teluh padahal kamu tidak melihatnya," Ramadi ingin tahu.

"Bisa dibilang begitu, Om Ramadi. Ini sudah ke ... entah empat atau lima kalinya aku dan tim menangani teluh kain kafan, kecuali Raja, karena dia adalah anggota tim kami yang masih baru. Maka dari itulah kami sudah cukup paham harus melakukan apa saja ketika menghadapi yang terjadi pada Rere," jelas Ziva.

Ziva pun kembali mendekat pada Rere. Tatapan wanita itu ke arah Ziva benar-benar sangat sayu, antara ingin membuka mata dan juga ingin menutupnya.

"Sekarang katakan, mana saja bagian yang paling sakit dari seluruh tubuhmu?" tanya Ziva.

Rere pun berusaha meraba dadanya dan menunjuk bagian dada kirinya. Setelah itu tangan Rere kembali bergerak dan juga menunjuk ke arah perut kanannya.

"Jantung dan limfa," lirih Ziva.

Rasyid mencatat hal itu ke dalam buku catatannya, begitu pula yang dilakukan oleh Hani meski sedang menjaga benda putih di atas meja.

"Si pengirim teluh itu ingin menyiksa Rere terlebih dahulu sebelum membunuhnya. Entah dia akan membuat limfa di dalam tubuh Rere pecah atau dia akan membuat Rere terkena serangan jantung, saat aku sedang memberi perlawanan untuk melepaskan teluh kain kafan itu," Ziva tampak benar-benar berpikir keras.

"Kalau begitu kita tidak bisa memaksakan ruqyah pada Rere. Kita harus melakukannya perlahan. Si pengirim teluh jelas tahu bahwa akan ada kemungkinan terjadinya perlawanan, karena dia pasti sudah mempertimbangkan bahwa kedua orangtua Rere akan meminta bantuan pada orang yang paham cara melepaskan teluh," ujar Mika.

"Itu benar. Meskipun si pengirim teluh itu saat ini tidak tahu bahwa yang akan melepaskan teluh itu dari Rere adalah kita, tapi setidaknya dia sudah sadar bahwa kedua orangtua Rere akan meminta pertolongan sesegera mungkin," Hani ikut setuju dengan jalan pikiran Mika.

"Yang artinya si pengirim teluh itu memang tidak ingin melepaskan Rere sebelum Rere benar-benar terbunuh akibat teluhnya," ujar Rasyid.

"Ya, kalimat kasarnya memang begitu. Lantaran dendamnya sangat dalam, jadi dia tidak mau melepaskan Rere sebelum Rere ... meninggal," sahut Raja, cukup berhati-hati.

"Rere tidak akan meninggal," Ziva sedang memperhatikan seluruh tubuh Rere saat itu. "Aku yang tidak akan membiarkannya. Dia hanya akan meninggal jika waktunya di dunia sudah habis sesuai dengan ketentuan Allah, bukan karena teluh."

Ambar--yang tengah ikut menenangkan Anita--menyeka airmatanya dan menatap ke arah Ziva.

"Kenapa teluh itu datangnya justru ke rumah ini, jika memang sasarannya adalah Rere, Ziva? Ini bukan rumah Rere. Tapi kenapa teluhnya justru datang ke rumah ini?" tanya Ambar.

"Karena teluh kain kafan adalah satu-satunya teluh yang akan mendatangi sasarannya di mana pun sasarannya itu berada. Teluh kain kafan termasuk teluh yang berbahaya, karena teluh itu bisa membunuh sasaran secara mendadak tanpa adanya tanda-tanda, saat pengirimnya tahu kalau akan ada perlawanan untuk teluh yang dikirimnya," jawab Ziva, memuaskan rasa penasaran Ambar sejak tadi.

Seseorang mendadak muncul di pintu rumah itu.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Suster Santi. Kenapa wajahmu pucat begitu, Suster? Ada apa?" tanya Retno, mendadak khawatir.

"A--anu, Dokter. I--itu ... di halaman rumah ini ... ada banyak sekali pocong," jawab Santi, dengan suara agak gemetar.

* * *

TELUH KAIN KAFANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang