"Kena, Mik?" tanya Federick.
Mika dan Santi pun kompak menoleh ke arah ambang pintu menuju ruang tengah tersebut."Papi? Ngapain Papi ke sini malam-malam?" tanya Mika, tanpa menjawab pertanyaan Federick.
"Mami kamu yang seret Papi ke sini. Kata Mamimu, Rere kena teluh. Jadinya Papi ikut saja saat Mamimu mengajak," jawab Federick.
Faris kini menatap ke arah Federick sambil mengerenyitkan keningnya. Pria paruh baya itu mendekat dan berjabat tangan dengan Federick seperti biasanya.
"Pak Fedi benar-benar sudah tahu soal apa pekerjaan Mika?" tanya Faris.
"Iya, Pak Faris. Saya sudah tahu sejak awal kalau pekerjaan Mika memang terkait untuk membantu orang-orang yang terkena teluh. Beberapa teman saya pernah kok meminta tolong pada Mika dan yang lainnya untuk menyelesaikan kasus berhubungan dengan teluh. Maklum, persoalan teluh 'kan tidak bisa dipahami oleh manusia pada umumnya. Nah, ternyata mereka bisa. Maka dari itulah saya sering beri rekomendasi jika ada teman yang butuh bantuan soal mengurus kasus yang tidak bisa dicerna dengan akal sehat," jelas Federick, tampak sangat santai ketika menceritakan soal perkerjaan itu.
Retno dan Mila kini sama-sama tersenyum saja, karena mereka sadar bahwa Faris masih berusaha memahami soal pekerjaan anak-anak mereka.
"Oh ya ... ngomong-ngomong apakah sudah diketahui siapa pengirim teluh kain kafan itu pada Rere, Mik?" Federick ingin tahu.
"Sudah, Pi. Tapi aku dan Hani memutuskan untuk tidak membicarakannya dulu. Karena kami sepakat untuk tidak membuat Ziva emosi sebelum Rere bisa dipastikan akan baik-baik saja," jawab Mika.
"Ah, iya, kamu benar. Kalian harus memastikan bahwa Ziva tidak akan mengamuk sebelum teluh itu dipatahkan. Rere jelas adalah seseorang yang tidak akan dibiarkan menderita oleh Ziva, maka dari itu sangat penting untuk menjaga emosinya agar tetap stabil."
Federick tampak sangat mengerti akan hal itu. Seakan pria paruh baya itu juga ada di dalam lingkaran pekerjaan yang sama dengan Mika. Padahal sejak tadi Faris sama sekali tidak paham apa-apa, meski sudah melihat sendiri cara putrinya bekerja bersama yang lain.
Ziva sedang meminta Rere untuk beristirahat lima menit. Seluruh tubuh Rere berkeringat sangat banyak akibat banyaknya tenaga yang ia keluarkan. Clarissa mendekat dan membantu untuk memberinya minum. Tari kini mulai menyeka keringat di wajah dan leher Rere agar tidak membuatnya semakin merasa gerah.
"Ya Allah. Sabar ya, Re. Insya Allah akan cepat selesai kalau kamu bersabar. Serahkan semuanya pada Allah ya, Nak. Jangan menyerah," ujar Clarissa, seraya mengusap-usap rambut Rere seperti terhadap anaknya sendiri.
Clarissa pun menatap ke arah Ziva setelah menutup kembali botol air yang ia pegang.
"Masih lama prosesnya, Sayang?" tanya Clarissa.
"Yang belum diruqyah sama sekali adalah paha kiri, kedua lutut, kedua betis, kedua telapak kaki, dan juga jari-jari kakinya Tante," jawab Ziva.
"Benang yang belum putus dari benda itu ada sebelas. Sisa dari yang belum diruqyah ada delapan titik. Berarti tiga benang terakhir akan terputus pada saat ruqyah terakhir dilaksanakan, Tante Clarissa," jelas Tari.
"Oh, Ya Allah. Prosesnya masih panjang ternyata. Tapi kalian tenang saja, Tante akan ada di sini untuk membantu. Jika nanti Ziva akan pergi ke tempat si pengirim teluh itu berada, maka Insya Allah Tante yang akan memegangi Rere agar bisa menjalani ruqyah terakhir. Tapi itu pun jika diizinkan, tentunya," janji Clarissa.
"Terima kasih banyak atas dukungan dan bantuan untuk Rere, Tante," ucap Ziva.
"Jangan dipikirkan, Nak," balas Clarissa, seraya mengusap-usap punggung Ziva dengan lembut. "Anak Tante tidak akan berjalan di jalan yang benar, jika dia tidak pernah bertemu dan bersahabat dengan kamu. Maka dari itulah Tante ada di sini. Untuk memberimu dukungan dan juga bantuan."
Clarissa kini menjauh beberapa langkah dari sofa itu, agar Ziva bisa melanjutkan ruqyah terhadap Rere. Rere sudah beristirahat selama lima menit, jadi kini ruqyah itu akan kembali dilanjutkan lagi seperti tadi. Ziva memeras handuk yang sudah dicelup ke dalam air, lalu segera menempelkannya pada paha kiri Rere.
"Bismillahirrahmanirrahim."
"ERRRGGHHHH-AAARRGGGGHHHH!!!"
Rere sudah berusaha menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak perlu berteriak lagi. Namun nyatanya tetap saja teriakan itu lolos dari mulutnya akibat rasa sakit yang benar-benar tidak tertahankan.
"AMPUN, ZIVA!!! AMPUN!!! SAKIT!!!"
Clarissa ikut meringis di tempatnya, karena ia bisa membayangkan bagaimana sakitnya yang dirasakan oleh Rere saat itu.
"Tahan, Re. Tahan. Prosesnya masih panjang dan kamu harus bertahan," bujuk Tari.
BYUURRRRR!!!
Mika kembali menyiram tempat yang ditunjukkan oleh Santi. Kali ini pocong kiriman itu muncul di tengah-tengah tangga menuju lantai atas.
"Mas, kembali saja ke sini. Jangan sampai nanti pocongnya muncul lagi di bawah sini," saran Santi.
"Tapi kalau pocongnya nanti muncul lagi di tangga, bagaimana?" tanya Mika.
"Ya, Mas Mika naik lagi ke sana. Itu risiko," jawab Santi, apa adanya.
Federick pun tertawa pelan bersama Faris dan Ramadi. Ketiga pria paruh baya itu jelas tahu apa artinya jawaban Santi barusan.
"Mika akan banyak berolahraga malam ini, gara-gara mengejar pocong kiriman yang munculnya seenak hati," bisik Ramadi.
"Biarkan saja, Pak Ramadi. Biar Mika tambah atletis," balas Faris, ikut berbisik.
"Ngomong-ngomong, itu yang memakai seragam rumah sakit apakah calon menantu saya, ya?" tanya Federick.
Pria paruh baya itu jelas sukses membuat Faris dan Ramadi kompak menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijabarkan. Mika sendiri kini sudah kembali berada di dekat Santi, setelah menuruni anak tangga.
"Aku lumayan capek malam ini. Aku belum sempat istirahat setelah melewati pekerjaan di Pekanbaru, dan sekarang malah harus dikerjain sama pocong kiriman," keluh Mika.
"Semangat, Mas Mika. Semakin Mas Mika semangat ketika bekerja, Istri dan anak Mas Mika Insya Allah akan hidup sejahtera," dukung Santi.
Mika pun langsung mendelik dan berbalik untuk menatap ke arah Santi.
"Aku belum menikah, Suster. Jadi aku belum punya Istri apalagi anak," jelas Mika.
"Iya, tahu. Itu 'kan doa yang bisa saja diijabah oleh Allah saat nanti Mas Mika berkeluarga. Aminkan saja, Mas," jelas Santi.
"Aku mau aminkan doa itu kalau kamu yang akan jadi Istriku," tegas Mika, to the point.
"Ekhm! Tante dengar dengan jelas loh, Mik, kata-katamu barusan," sela Retno, dengan cepat.
"Sengaja, Tante. Biar ada saksi," sahut Mika, sambil menahan tawanya.
Retno pun langsung menggeleng-gelengoan kepalanya usai mendengar jawaban itu dari mulut Mika.
"Mas! Itu pocongnya muncul lagi di tangga!" seru Santi, sambil menunjuk ke arah tangga menuju lantai atas untuk yang kedua kalinya.
"Hm ... apa kubilang. Pasti bakalan ada yang muncul lagi di situ. Betul-betul pocong-pocong ini, bikin aku jadi olahraga malam-malam!" omel Mika, sambil kembali menaiki anak tangga.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH KAIN KAFAN
Horror[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 5 Ziva panik setengah mati saat Rere diserang dengan teluh oleh seseorang tepat di depan matanya. Ia dan yang lainnya berusaha keras untuk membuat Rere terlepas dari teluh itu. Keadaan yang kacau itu membuatnya...