19 | Menuju Ke Tempat Yang Sama

1.2K 133 6
                                    

BOOOOMMMMM!!!


Suara ledakan yang amat sangat dahsyat terdengar jelas dari lantai bawah rumah Ki Yoga. Ki Yoga yang saat itu sedang bertapa di kamar khusus pun mendadak kaget usai mendengar suara ledakan tersebut. Laki-laki paruh baya itu segera menyudahi pertapaannya, lalu memutuskan untuk keluar dari kamar khusus dan turun ke lantai bawah. Betapa kagetnya ia saat melihat apa yang terjadi di lantai bawah. Wadah ritual teluh kain kafan untuk membunuh Rere yang tersimpan di meja khusus kini telah berhamburan di lantai, akibat ledakan yang terdengar begitu dahsyat tadi. Ki Yoga pun mendadak merasa marah, karena untuk pertama kalinya ada yang bisa memberikan perlawanan terhadap teluh kain kafan yang ia kirimkan.

"KURANG AJAR!!! SIAPA ORANG YANG TELAH BERANI MENGUSIK RITUALKU YANG PALING HANDAL??? INI TIDAK BISA DIBIARKAN!!!" umpat Ki Yoga, penuh dengan kemarahan.

Ki Yoga pun segera berjalan ke arah jendela rumahnya dan menyibak gorden yang menutupi jendela tersebut. Pocong-pocong yang selalu ada di halaman samping rumahnya tidak kembali lagi seperti biasanya. Padahal tadi ia mengirimkan dua puluh pocong untuk mengikat seluruh tubuh Rere agar tidak bisa melawan saat disiksa oleh Gani dari jarak jauh. Hal itu membuat Ki Yoga semakin merasa marah, karena seharusnya meski ada perlawanan, pocong-pocong yang dikirimnya untuk menjaga benang pada teluh kain kafan tetap bisa kembali seperti biasa.

"Tidak mungkin rasanya jika orang yang melawan teluh kain kafan dariku itu berhasil melenyapkan pocong-pocong yang aku kirim bersama dengan teluh. Mustahil. Aku tidak percaya kalau sampai ada orang yang bisa melawan teluh kain kafan sekaligus melenyapkan pocong-pocong kirimanku. Setinggi apa ilmunya orang itu jika memang demikian yang terjadi?" pikir Ki Yoga, penuh dengan rasa heran.

Ki Yoga kini kembali menuju ke meja ritual tadi dan mencoba mengamati apa yang masih tersisa di sana. Hanya ada tiga benang yang tampaknya masih terikat sangat kuat pada teluh kain kafan yang ia kirimkan untuk Rere. Hal itu menandakan masih ada lagi perlawanan yang akan terjadi agar Rere benar-benar bisa terbebas dari teluh kain kafan tersebut.

"Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mengabari Bu Arlita secepat mungkin sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," gumam Ki Yoga.

Ki Yoga segera meraih telepon rumah yang ada di ruang tengah rumahnya. Ia langsung mencoba menghubungi ponsel milik Arlita, namun sama sekali tidak mendapat jawaban. Ia terus mencoba menelepon berulang-ulang kali, berharap akan ada yang mengangkat telepon darinya. Namun sayang, harapannya tidak terwujud dan tetap saja tidak jawaban dari Arlita. Ki Yoga pun memutuskan untuk berhenti menghubungi Arlita, dan meraih kunci mobil yang ia simpan di lemari dekat ruang tengah.

"Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Semakin lama akan jadi semakin tidak terkendali. Aku harus datang sendiri ke rumah Bu Arlita dan memberi tahu dia serta Gani, mengenai perlawanan besar itu. Jika aku tidak memperingatkan mereka, maka jelas akan terjadi hal yang sangat buruk, yang bisa menimpa Gani ataupun Bu Arlita," pikir Ki Yoga.

Laki-laki itu pun segera keluar dari rumahnya dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman. Sesaat kemudian Ki Yoga pun meninggalkan rumahnya untuk menuju ke rumah Keluarga Jatmiko.

Mika dan Hani kini saling bertatapan satu sama lain usai mendengar tebakan Ziva yang tepat sasaran. Rasyid dan Raja pun yang tengah menatap nama di dalam benda berbentuk pocong itu, ikut merasa kaget saat Ziva menyebut nama yang baru saja mereka baca.

"Da--darimana kamu tahu, Sayang?" tanya Raja.

"Hani mengatakan padaku, bahwa kali ini diriku tidak akan bisa menahan emosi saat mendengar namanya disebut. Hani yakin sekali dengan dugaannya tentang aku. Dia juga bilang bahwa aku akan langsung meledak saat tahu siapa orangnya. Dan satu-satunya yang bisa membuat aku meledakkan emosi meski hanya dengan mendengar namanya disebut, adalah Gani," jawab Ziva.

Mika dan Hani sama-sama meneguk saliva mereka masing-masing, saat mendengar betapa dinginnya nada suara Ziva saat itu. Mereka tahu kalau Ziva sudah benar-benar tidak bisa lagi menahan amarahnya dan akan segera melampiaskannya kepada Gani.

"Ayo, ambil ranselku dan kita berangkat. Mika ... kamu ikut bersama aku dan Raja," perintah Ziva.

Rasyid pun segera mendekat pada Tari dan Hani, tanpa mencoba menghalangi langkah Ziva sama sekali. Tari menatap ke arah Rasyid dan berharap mendapatkan penjelasan soal tindakannya barusan.

"Kalau aku ada di posisi Rere dan Gani melakukan itu padaku, kamu juga pasti akan berharap bahwa Ziva akan membuat pembalasan yang setimpal. Jadi ... aku memang sengaja tidak menghentikannya. Dia tahu batasan dan dia tahu harus melakukan apa untuk membuat Gani menderita tanpa melewati batasan itu. Percayakan saja pada Ziva," ujar Rasyid.

"Aku harap keputusan kamu benar kali ini," tanggap Tari, meski masih ragu.

Faris, Harun, Ramadi, dan Federick mengikuti langkah Ziva yang sudah keluar lebih awal dari rumah Keluarga Adinata. Mereka tidak mau berkomentar apa-apa saat ini, namun mereka juga tidak akan membiarkan Ziva pergi sendirian dan hanya ditemani oleh Raja serta Mika. Mereka takut kalau Ziva mungkin saja lepas kendali--meski sebenarnya mereka yakin kalau itu tidak akan terjadi--saat berhadapan dengan Gani. Raja masuk ke dalam mobil milik Ziva yang selama ini tersimpan di garasi rumah Keluarga Adinata. Pria itu akan menyetir, sementara Mika duduk di kursi tengah setelah membawa ransel miliknya yang berisi dua samurai pendek.

"Kita akan ke mana, Sayang?" tanya Raja.

"Ke rumah Keluarga Jatmiko," jawab Ziva, dengan nada yang masih sedingin tadi.

Raja pun segera menyalakan mesin mobilnya, lalu melajukan mobil tersebut keluar dari garasi. Mika melihat kalau mobil milik Faris, Ramadi, dan bahkan mobil milik Papinya kini menyusul laju mobil tersebut. Mika pun tahu bahwa mungkin mereka ingin ikut ke rumah Keluarga Jatmiko. Mereka pasti tidak merasa tenang karena Ziva terlihat sangat marah ketika keluar dari rumah Keluarga Adinata.

"Orangtua kita ... tepatnya Ayah kamu dan Papiku ikut di belakang mobil ini," ujar Mika.

"Biarkan saja. Mereka berhak melihat apa yang akan aku lakukan pada Gani malam ini," tanggap Ziva.

Raja pun menoleh sesaat ke arah istrinya tersebut.

"Tapi Ayah akan melihat," Raja memperingatkan.

"Biar saja. Dia memang harus tahu. Aku mendapat firasat lain setelah selesai meruqyah Rere. Firasat itu akan segera terjadi. Aku tidak bisa menghentikannya," ujar Ziva.

"Oke. Kalau memang tidak bisa dihentikan, ya ... biarkan saja terjadi," sahut Mika.

Kini, mereka benar-benar akan menuju ke tempat di mana mereka akan bertemu dengan Gani.

* * *

TELUH KAIN KAFANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang