17 | Tenaga Yang Terkuras

1.2K 134 8
                                    

Rere kembali diminta beristirahat setelah kedua betisnya selesai diusap oleh Ziva. Tubuh Rere benar-benar lelah luar biasa. Keringat membasahi bajunya, padahal baju itu adalah baju milik Ziva yang baru dipakaikan ke tubuhnya tadi. Clarissa terus memberinya minum agar Rere bisa bertahan. Tisu sudah hampir habis akibat dipakai menyeka keringat di wajah dan leher Rere. Ziva sendiri pun kini tampak terengah-engah setelah melakukan ruqyah kedua tersebut. Wanita itu kini tengah duduk bersandar pada sofa lainnya, demi mengembalikan energi yang banyak ia keluarkan malam itu.


"Istirahat sebentar, Ziv?" tanya Tari, ingin memastikan.

"Ya, lima menit saja," jawab Ziva.

Raja bisa melihat kalau Ziva benar-benar kepayahan malam itu. Mereka semua belum sempat beristirahat setelah menuntaskan pekerjaan di Pekanbaru. Seharusnya saat ini mereka beristirahat lebih dulu untuk memulihkan tenaga. Namun apa boleh dikata jika teluh yang terjadi mendatangi orang terdekat sekaligus terjadi di hadapan mereka. Mereka tidak punya pilihan lain selain mengurus hal itu hingga tuntas. Rasyid menoleh ke arah tempat Raja menatap. Pria itu paham bahwa Ziva saat ini benar-benar sudah menguras habis tenaganya untuk fokus pada pekerjaan mereka. Bahkan Rasyid sendiri pun sebenarnya merasa lelah, namun bibirnya tak berani mengucapkan hal itu karena takut menyinggung perasaan orang lain.

"Setelah pekerjaan ini berakhir, mari kita meminta libur pada Istriku selama dua atau tiga minggu," usul Rasyid.

"Aku mau minta libur dua bulan tadinya," balas Raja.

"Sekalian saja minta berhenti kerja," saran Rasyid.

"Wah ... kamu sangat cocok menjadi atasan yang galak. Untung saja atasan di dalam tim kita adalah Tari. Aku tidak bisa membayangkan kalau kamulah atasan di dalam tim ini," ungkap Raja dengan jujur.

"Kalau aku adalah atasan di dalam tim ini, maka kamu akan bersyukur siang dan malam. Karena aku akan membuat kita selalu menghabiskan waktu selama seminggu di kota yang kita datangi ketika bekerja," ujar Rasyid.

"Oh ... sebaiknya memang Tari saja yang menjadi atasan di dalam tim kita. Usulanmu jelas amat sangat tidak kusukai. Aku tipikal orang yang merasa harus selalu pulang ke rumah jika pekerjaanku sudah selesai. Aku tidak suka berlibur di suatu tempat yang jauh dari rumah."

"Bahkan jika itu untuk berbulan madu dengan Ziva? Yakin?" tanya Rasyid.

"Ah ... iya juga. Terkadang aku memang harus mengajak Ziva berbulan madu sesekali. Tapi tetap saja usulanmu tidak cocok denganku. Sebaiknya Tari saja yang terus menjadi atasan kita," jawab Raja, sama sekali tidak berbeda dengan pernyataannya.

Rasyid jelas menggondok usai mendengar yang Raja katakan. Raja jelas bukan orang yang mudah untuk diajak setuju pada satu pikiran yang sama. Raja adalah sosok pria yang hampir sama persis dengan Ziva, karena selalu konsisten dengan keputusannya. Dia sulit digoyahkan dan juga tidak mudah percaya, terutama terhadap orang yang baru dikenal.

Mika kini sedang berbaring di lantai ruang tengah rumah itu, setelah empat pocong kiriman terus saja muncul di tangga menuju ke lantai atas. Pria itu benar-benar kepayahan dan nafasnya cukup terengah-engah meskipun sudah berbaring. Energinya sudah hampir mencapai titik puncak. Entah dia masih bisa melanjutkan pekerjaannya malam itu atau tidak. Tapi Mika jelas bukan sosok yang mudah menyerah dengan keadaan dirinya. Dia selalu berjuang, karena tahu bahwa semua sahabatnya pun masih terus berjuang keras.

"Astaghfirullah, Mika," protes Federick. "Kenapa kamu loyo sekali, Nak? Inilah yang Papi maksud saat menyuruhmu rajin berolahraga. Papi tidak mau kamu jadi loyo seperti ini. Lihat itu, nafasmu naik turun tidak menentu seperti habis ikut lomba lari marathon. Padahal kamu cuma naik turun tangga sebanyak empat kali. Apa kamu tidak malu di hadapan calon menantu Papi?"

Mika ingin sekali membalas ucapan Papinya, namun paru-parunya melarang dirinya untuk melakukan itu dan menyuruhnya fokus pada pernafasan yang belum stabil. Santi jadi merasa iba pada Mika yang sedang diceramahi oleh Federick, padahal seharusnya saat ini Mika diberikan oksigen agar bisa segera bernafas dengan lancar.

"Mas Mika mau minum?" tawar Santi.

"Enggak usah, Suster. Cukup ditemani oleh Suster di sini saja sudah membuat aku merasa tercukupi, kok," jawab Mika, tidak ingin kehilangan momen untuk mengucapkan gombalannya.

Santi pun akhirnya tertawa pelan saat sadar bahwa Mika memang tidak akan pernah berhenti melancarkan usaha untuk mendekatinya. Pria itu selalu punya banyak cara serta jawaban untuk membuat Santi merasa tertarik padanya.

"Oke. Jadi kalau nanti aku lihat Mas Mika akhirnya minum air, berarti jawaban Mas Mika barusan itu isinya bohong," tanggap Santi.

"Eh? Kok gitu? Terus kalau aku akhirnya kena dehidrasi gara-gara enggak minum, gimana?" kaget Mika.

"Mm ... mungkin saran Mbak Hani cocok untuk membuat Mas Mika tidak mengalami dehidrasi. Berenang di kolam ikan koi."

Mika pun langsung memajukan bibirnya beberapa senti, usai mendengar jawaban Santi. Hal itu jelas membuat wajah Mika yang sangat tampan berubah menjadi lucu dan menggemaskan.

"Jadi ... Mas Mika mau minum atau tidak?" tawar Santi sekali lagi.

"Enggak mau. Aku maunya tahu alamat rumah kamu, diperbolehkan datang ke rumah kamu, dan setelah itu diperbolehkan melamar kamu biar kita bisa langsung menikah," jawab Mika, tak ingin didebat lagi.

Hani berharap bisa bertukar posisi dengan Tari. Tari sudah cukup lelah karena terus menahan tubuh Rere yang terus berontak akibat kesakitan. Hani yang jelas tahu kalau dirinya masih memiliki tenaga yang cukup, akhirnya segera mengajukan diri untuk bertukar posisi.

"Nanti setelah masuk ke proses ruqyah yang terakhir, kita berdua tetap akan ada di samping Rere, Han. Ziva akan pergi ke tempat orang yang mengirim teluh kain kafan itu, untuk menghancurkan ritualnya sampai tuntas. Jadi kemungkinan Rasyid yang akan meruqyah Rere," ujar Tari.

Hani pun kembali kepikiran soal siapa yang akan Ziva datangi setelah proses ruqyah kedua itu selesai. Tatapan Ziva kini terarah kepada Hani, dan Hani membalas tatapan itu seperti biasanya.

"Kamu tahu 'kan, bahwa tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan dariku, Hani Sayang?" tanya Ziva.

"Aku enggak berusaha menyembunyikan apa pun dari kamu, Ziv. Hanya saja keadaannya membuatku harus bungkam sementara waktu. Pada akhirnya, kamu akan tahu tentang siapa yang akan kamu datangi malam ini. Untuk sekarang, tahanlah sebentar saja. Demi Rere," jawab Hani.

"Aku tahu, bahwa aku harus menahan diri dari rasa emosional. Kalau aku tidak paham akan hal itu, maka kemarin Heri sudah kubuat babak belur saat pertama kali dia muncul di hadapanku dan Mika atas perbuatannya kepadamu. Tapi aku tahu tanggung jawabku, Hani Sayang. Jadi aku memilih untuk menahan emosiku sampai pekerjaanku selesai," jelas Ziva.

"Tapi kali ini kamu tidak akan bisa menahannya, Ziva. Aku yakin sekali akan hal itu. Kamu akan langsung meledak saat mendengar namanya disebut," balas Hani, tetap tak ingin menyebutkan apa-apa di hadapan Ziva.

* * *

TELUH KAIN KAFANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang