3 | Suster Santi

1.4K 127 21
                                    

Tatapan semua orang kini terarah kepada Santi yang masih gemetaran di ambang pintu rumah Keluarga Adinata. Mereka mendadak tak bisa mengatakan apa-apa, karena terlalu kaget dengan apa yang diucapkan oleh wanita itu.


"Ka--kamu bisa lihat makhluk-makhluk tak kasat mata juga?" tanya Mika, yang sejak tadi berdiri tak jauh dari pintu.

Santi pun menganggukkan kepalanya.

"Iya. Tapi biasanya hanya disekitaran rumah sakit saja, terutama di lorong-lorong yang sudah sepi kalau aku dapat shift malam. Itu pun, biasanya hanya satu atau dua makhluk halus saja yang aku lihat. Tidak sebanyak yang ada di halaman depan sana," jawab Santi, apa adanya. "Kamu juga bisa lihat?"

Mendapat pertanyaan balik dari Santi, Mika pun langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat sambil menunjuk ke arah Raja dan Ziva.

"Dua sahabatku yang bisa melihat makhluk-makhluk halus. Kalau aku hanya bisa membantu pekerjaan di dalam tim ketika pematahan teluh sedang dilakukan atau ketika korban harus diruqyah," jawab Mika.

Santi pun kembali menganggukkan kepalanya. Retno segera meminta Santi untuk masuk ke dalam. Santi diarahkan untuk membantu merawat Rere mulai dari memberikan infus dan terus memeriksa suhu tubuh Rere. Mika terus memperhatikan Santi dari jauh dalam diamnya. Ia melihat cara kerja wanita itu dan cukup terkesan karena sikapnya yang cekatan.

"Memangnya di rumah sakit banyak makhluk halus, ya?" tanya Retno, mulai merasa penasaran.

Santi pun menoleh ke arah Retno dan sesekali menatap ke arah Raja dan Ziva. Ia tahu kalau Raja adalah putra Retno, sementara Ziva adalah menantunya. Ia ingat bahwa tadi Mika mengatakan soal Raja dan Ziva yang memiliki kemampuan sama seperti dirinya, yaitu bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata.

"Anak dan menantu saya memang bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata, tapi saya enggak bisa. Jadinya saya tanya sama kamu, di rumah sakit memangnya banyak makhluk halus?"

Santi pun segera mengangguk, saat paham bahwa Retno tidak memiliki kemampuan melihat seperti putra dan menantunya.

"Iya, Dokter. Tapi bukan di sekitaran tempat Dokter biasa berada. Makhluk-makhluk halus di rumah sakit kebanyakan sering menempati lorong-lorong yang jarang dilewati oleh perawat atau pasien. Dan ... lebih banyak di sekitaran kamar jenazah. Pada dasarnya, mereka memang sering menempati tempat-tempat yang jarang ditempati oleh manusia," jawab Santi.

"Jadi ... tidak ada yang melintas atau muncul di tempat saya praktek, ya?"

Santi pun tersenyum.

"Iya, Dokter. Tidak ada sama sekali. Dokter tenang saja."

Setelah Santi selesai memasang infus pada lengan Rere, wanita itu segera menyimpan tiga tabung oksigen cadangan yang dibawanya dari rumah sakit. Ziva keluar dari bagian dalam rumah seraya membawa baskom berbahan stainless dari arah dapur yang sudah diisi dengan air. Wanita itu meletakkannya di samping sofa, membuat Vano segera menyingkir dari sisi Rere untuk sementara waktu.

"Ziva ...." lirih Rere.

"Iya, Re. Aku di sini," balas Ziva, sambil meraih tangan Rere untuk digenggam.

"Maaf," lirihnya sekali lagi.

Ziva pun langsung menggelengkan kepalanya. Ia berusaha tersenyum agar Rere tidak merasa ketakutan.

"Kamu enggak perlu minta maaf. Aku sudah memaafkan kamu sejak lama. Kamu sekarang fokus saja untuk bertahan. Aku akan ada di sini untuk kamu. Aku enggak akan pergi. Aku akan dampingi kamu sampai semua selesai. Kamu jangan takut."

Kedua mata Rere kini basah akibat airmata yang menggenang. Ziva menyeka airmata itu dengan lembut, agar Rere tidak semakin bersedih. Vano bisa melihat betapa sayangnya Ziva terhadap Rere, namun Rere selama ini tidak menyadari hal itu.

"Ziv, ini handuk yang kamu minta," ujar Raja, seraya menyerahkan handuk itu ke tangan Ziva.

Ziva menatap ke arah Mika agar ikut mendekat ke arahnya. Pria itu segera mendekat seperti yang Ziva inginkan, sementara Raja kini masih berdiri di tempatnya.

"Kamu harus berada di luar, Rasyid akan mendampingi kamu. Benda yang ada di meja itu akan dipantau oleh Tari dan Hani, sementara kamu harus memantau halaman lalu melaporkan keadaan padaku atau Mika," pinta Ziva.

"Akan kulakukan. Kamu konsentrasi saja terhadap Rere dan semua prosesnya. Kamu harus tetap sabar, semarah apa pun kamu saat ini," pesan Raja.

Ziva pun menganggukkan kepalanya. Ia paham dengan apa yang dipesankan oleh suaminya tersebut. Ia tidak boleh kalah dari amarah yang berkecamuk di dalam dadanya. Karena hal itu jelas hanya akan membuat keadaan Rere semakin sulit ditangani. Setelah Raja dan Rasyid keluar rumah, Rian pun muncul sambil membawakan kain sarung yang tadi diminta oleh Hani. Hani segera menyerahkan kain sarung tersebut pada Anita tanpa bergeser dari posisinya.

"Tante Anita, silakan bantu untuk lindungi Rere agar tidak terlihat oleh semua pria yang ada di rumah ini. Pakaian Rere akan dibuka oleh Ziva saat dia sedang menjalani proses ruqyah bagian luar tubuhnya," ujar Hani.

Anita menerima kain sarung itu dari tangan Hani. Wanita paruh baya itu gemetar luar biasa karena masih shock dengan hal yang dialami oleh Rere.

"Boleh aku saja yang membantu untuk melindungi? Tante Anita tampaknya tidak bisa melakukan hal itu saat ini," Vano mengajukan diri.

Mika pun langsung menoleh dengan cepat sambil melotot ke arah pria tersebut.

"Eits! Jangan macam-macam, ya! Kamu sama Rere bukan mahram. Jadi yang boleh membantu untuk melindungi dia saat ini hanya orangtuanya, Paman dan Bibinya, serta sepupunya yaitu Ziva," omel Mika.

Omelan itu sukses membuat Vano mundur beberapa langkah. Mika pun kembali menatap air di dalam baskom dengan wajah menahan sebal. Santi tertawa diam-diam saat melihat keberhasilan Mika membuat Vano terdiam dan tidak bicara lagi. Anita pun segera berdiri dan mulai mendekat ke arah sofa tempat Rere berbaring untuk membentangkan kain sarung tadi. Rian meminta Faris, Ramadi, Vano, dan Harun untuk ikut bersamanya meninggalkan ruang tamu agar tidak perlu ada yang takut kalau Rere akan terlihat.

"Bu, bisa tolong berdiam di balik sarung yang dibentang Tante Anita?" pinta Ziva.

"Iya, Nak. Bisa," jawab Mila, dengan cepat.

Mila segera masuk ke balik sarung yang terbentang, lalu berlutut tepat di atas kepala Rere.

"Kalau Rere berteriak, Ibu harus langsung tahan tubuhnya agar tidak terangkat dari sofa. Tubuh Rere tidak boleh terangkat dari sofa, apa pun yang terjadi. Ibu tidak boleh kalah dari Rere saat ini, karena itu adalah bentuk perlawanan dari si pengirim teluh," jelas Ziva.

"Iya, Ibu paham," jawab Mila.

Anita kembali menangis saat mendengar apa yang dibicarakan oleh Ziva dan Mila. Ambar kini berdiri di samping Anita dan membantunya melindungi Rere dengan kain sarung lain yang dibentangkan. Mila menatap Rere dan mengusap puncak kepalanya dengan lembut.

"Tahan ya, Sayang. Rere pasti kuat. Tante akan ada di sini untuk peluk Rere, ya," bujuk Mila, dengan kedua mata berkaca-kaca.

"Tante," lirih Rere, ikut meneteskan airmata.

* * *

TELUH KAIN KAFANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang