Mika dan Ziva kembali masuk ke dalam rumah setelah selesai bicara berdua. Semua mata menatap ke arah mereka, namun keduanya tidak peduli dengan tatapan siapa pun. Mika segera memberi tanda pada Hani untuk ikut bersamanya. Hani paham dengan tanda itu, karena Mika sudah sering menggunakan tanda seperti itu jika keduanya mendapat tugas bersama. Hani pun segera mengikuti langkah Mika menuju ruang tengah, dan Rian mengikuti langkah mereka berdua. Ziva sendiri kini duduk di samping Raja yang sedang menjaga benda berbentuk pocong di atas meja bersama Rasyid.
"Ada apa? Kamu tadi membicarakan firasat yang kamu dapatkan kepada Mika?" tanya Raja.Ziva langsung mengangguk untuk membenarkan tebakan Raja. Rasyid menatap ke arah mereka berdua sambil menyipitkan kedua matanya.
"Kalian berdua itu bisa saling membaca isi pikiran atau bagaimana? Kok sepertinya Raja sering sekali menebak pikiran kamu dengan tepat, dan kamu pun begitu terhadapnya," heran Rasyid.
Raja pun langsung memasang senyum menyebalkan di hadapan Rasyid.
"Itu adalah kelebihan dua orang insan yang sudah ditakdirkan untuk menjadi belahan jiwa, Ras. Kamu enggak usah kaget. Itu hal biasa bagi kami berdua," jawab Raja.
Rere--yang sedang beristirahat ditemani oleh Tari--mendadak langsung menahan tawanya. Disatu sisi, Rere harus menahan sakit pada sebagian tubuhnya. Namun di sisi lain, ia harus menahan tawa akibat jawaban gila yang Raja cetuskan. Tari pun paham bahwa Rere ingin sekali mengomentari jawaban itu, jika dirinya sedang dalam keadaan sehat wal 'afiat.
"Enggak usah memberi jawaban seperti adegan dalam film, deh! Kutampol lama-lama muka gantengmu itu biar jadi pas-pasan!" omel Rasyid.
"Kenapa cuma mengancam, sih? Kamu tidak mau merealisasikan ancamanmu?" tanya Tari.
"Kamu mau Rasyid kujadikan ayam geprek malam ini juga?" sengit Ziva, sambil mengarahkan tatapannya ke arah Tari.
"Duh, cepat sekali kamu terpancing emosi kalau Raja terancam. Segitu cintanya kamu sama dia, hah?" sindir Tari.
Raja langsung mendekap Ziva ke dalam pelukannya dari arah samping, lalu meletakkan kepalanya di pundak Ziva. Ziva sendiri langsung memegangi lehernya yang terasa agak tegang akibat tekanan darah yang mulai naik.
"Aku heran sama kamu dan Rasyid. Kok bisa-bisanya kalian kompak sekali setiap kali nyinyirin orang lain? Aku mau membicarakan soal firasatku sejak baru duduk di sini. Tapi niatku itu terhalang oleh mulut-mulut nyinyir kalian yang tiada duanya," ungkap Ziva.
"Sabar, Adinda Zivaku. Mereka memang sudah dari sananya seperti itu. Sudah setelan pabrik," ujar Raja.
Rasyid pun langsung melempar Raja dengan jaket miliknya yang sejak tadi ia pegang setelah tidak lagi bertugas di halaman rumah. Raja pun terkekeh pelan saat berhasil membuat Rasyid mengalami darah tinggi.
"Iya, Kakanda Rajaku. Aku akhirnya paham bahwa setelan pabrik memang susah untuk diubah meski hanya sedikit," balas Ziva, dengan sengaja.
"Hei ... bicarakan saja mengenai firasatmu sebelum aku tampol betulan wajahnya Suamimu! Kamu enggak mau Raja jadi memiliki wajah yang pas-pasan, 'kan?" cicit Tari, sudah terlanjur gemas.
Raja dan Ziva pun melakukan adu kepalan tinju sambil tersenyum menyebalkan di hadapan Rasyid dan Tari. Rasyid dan Tari sudah jelas kalah telak saat itu setelah beradu mulut dengan Raja dan Ziva.
"Oke, sekarang akan aku jelaskan soal firasat yang aku dapatkan," ujar Ziva, memulai.
Di ruang tengah, Mika dan Hani kini tengah menghadapi Anita dan Harun. Sebagai orangtua Rere, mereka jelas harusnya tahu siapa-siapa saja orang yang kemungkinan membenci Rere sampai memiliki niatan balas dendam. Anita dan Harun kini mendapat tatapan tegas dari Faris, sehingga mereka harus menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Mika dan Hani.
"Jawab saja. Hal itu mereka tanyakan demi kebaikan Rere. Kalian mau Rere mati konyol karena teluh kain kafan itu?" Faris mengingatkan soal apa yang sedang dialami oleh Rere.
"Itu benar. Jawab saja. Siapa pun nama yang kalian sebutkan, tidak mungkin akan mereka datangi satu persatu untuk mencari kemungkinannya," tambah Mila, sambil mengusap-usap punggung tangan Anita dengan lembut.
Anita dan Harun masih saja diam. Mereka sepertinya takut untuk berbicara atau menyebut siapa saja nama orang-orang yang kemungkinan membenci Rere hingga mendendam. Hal itu membuat Faris merasa kesal dan tampak siap untuk meledakkan amarahnya.
"Kalau sampai ada apa-apa pada keponakanku, kalian berdua tidak akan selamat dari murkanya aku! Teruslah bungkam, terserah kalian!" tegas Faris.
Faris kemudian bangkit dari sofa dan berjalan menuju ruang tamu. Munculnya Faris di ruang tamu itu sukses membuat pembicaraan soal firasat yang Ziva dapatkan terhenti begitu saja. Faris meminta Tari untuk pergi dari sisi Rere, dan dirinya kini duduk di samping sofa menggantikan Tari.
"Rere, bagaimana keadaan kamu, Nak? Sudah agak membaik atau masih terasa sama?" tanya Faris, begitu pelan.
"Agak membaik, Om. Tapi sebagian masih terasa sakit seperti yang pertama kali aku rasakan," jawab Rere, lirih.
Faris pun mengangguk-anggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia paham dengan apa yang Rere rasakan.
"Mika dan Hani sedang bertanya pada Papa dan Mamamu, soal siapa saja yang mungkin membencimu sampai memiliki dendam yang begitu dalam. Tapi mereka tidak mau menjawab. Mereka ... tampaknya memilih untuk menyembunyikan hal itu dari kami. Padahal hal itu adalah hal yang penting untuk kami ketahui saat ini, terutama bagi Ziva yang akan melaksanakan pematahan teluh kain kafan dari diri kamu. Jadi menurut Rere, Om harus bagaimana? Apakah Om dan yang lainnya benar-benar tidak boleh tahu siapa-siapa saja yang membenci kamu hingga memiliki dendam?"
Cara bicara Faris yang sangat lembut benar-benar membuat Rere tidak bisa menahan airmatanya. Ia tidak merasakan takut saat ditanya oleh Faris, namun justru merasakan rasa tidak tega jika sampai tidak menjawab pertanyaan yang Faris ajukan. Ia tidak pernah merasa disayangi sampai sedalam itu, karena selama ini kedua orangtuanya hanya sering bersikap cuek dan terkadang kasar.
"A--aku bisa me--memberi tahu Mi--Mika dan Ha--Hani, Om," jawab Rere, agak terbata-bata.
Faris pun meraih tisu yang berada tak jauh dari sofa tersebut, lalu membantu menyeka airmata Rere.
"Sudah, Rere jangan menangis. Rere tidak boleh lemah dalam keadaan seperti ini. Rere justru harus kuat, agar perlawanan yang Ziva lakukan tidak menjadi sia-sia. Om akan panggil Mika dan Hani, ya. Nanti Rere bicara dengan mereka berdua, agar Ziva bisa segera melakukan tahapan selanjutnya pada kamu. Rere paham, 'kan?"
"Iya, Om. Aku paham,"
Faris pun segera beranjak dari sisi Rere, lalu memanggil Mika dan Hani untuk bertanya langsung pada Rere daripada menunggu hal tidak jelas dari Anita dan Harun. Setelah Mika dan Hani pergi ke ruang tamu, Faris kembali menatap tajam ke arah Anita maupun Harun.
"Mulai sekarang, Rere akan menetap di sini sampai dia benar-benar menikah dengan Vano. Kalian berdua tidak akan aku beri izin untuk merawat dia lagi. Karena aku tidak percaya kalau kalian bisa merawatnya dengan baik," putus Faris.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH KAIN KAFAN
Horror[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 5 Ziva panik setengah mati saat Rere diserang dengan teluh oleh seseorang tepat di depan matanya. Ia dan yang lainnya berusaha keras untuk membuat Rere terlepas dari teluh itu. Keadaan yang kacau itu membuatnya...