25 | Tiba

1.2K 138 3
                                    

Tomi kini telah beristirahat selama beberapa saat setelah Mika membawanya keluar dari kamar Gani. Pria paruh baya itu tampak termenung begitu lama, seakan tengah menyesali sesuatu yang Mika tidak bisa tebak. Suara pembicaraan dari dalam kamar Gani terdengar sangat jelas oleh mereka berdua. Namun Tomi tampaknya sudah tidak mau tahu lagi dengan hal yang ada sangkut pautnya dengan Gani ataupun Arlita. Pria paruh baya itu mungkin sudah merasa muak dengan tindak-tanduk istri serta putranya.


"Om ingin minum atau makan?" tawar Mika, yang berpikir bahwa Tomi masih kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh.

"Aku lebih ingin semuanya cepat berakhir. Aku sudah lelah, muak, dan bosan dengan keadaan yang sama. Baik itu Istriku ataupun Putraku, keduanya benar-benar hanya selalu membawakan aku rasa frustrasi," jawab Tomi.

Mika paham dengan apa yang Tomi rasakan saat ini. Menghadapi dua manusia yang karakternya seperti Arlita maupun Gani jelas bukanlah hal yang mudah. Tomi jelas merasa beban hidupnya sudah terlalu berat, terlebih karena dua orang itu kini justru memilih bersekutu dengan Iblis.

"Om mau ke bawah saja? Mungkin akan lebih baik jika Om berada di bawah dan tidak mendengarkan pembicaraan yang terjadi di dalam kamar Gani," saran Mika.

Tomi menganggukkan kepalanya.

"Ya, mungkin kamu benar. Sebaiknya aku turun saja ke bawah dan berhenti mendengarkan jawaban-jawaban sinting yang keluar dari mulut Putraku."

Mika pun segera membawa Tomi turun dari lantai atas tersebut. Mereka sama-sama menuruni tangga dan melihat kalau Arlita sedang terikat di kursi meja makan. Federick mengembalikan samurai milik Mika dan Mika pun kembali menyimpan samurai itu di punggungnya seperti semula. Tomi kini memilih duduk di salah satu kursi yang cukup jauh di meja makan itu.

"Sekarang jawab, sudah berapa lama kamu sering melakukan teluh kain kafan seperti itu? Gani tidak mungkin bisa melakukannya sendiri kalau tidak diajari olehmu! Terlebih karena dia jauh lebih dekat denganmu daripada dengan Pak Tomi!" Faris kembali mengintimidasi.

Arlita diam saja dan memilih tidak menjawab. Wanita paruh baya itu memalingkan wajahnya dari Faris, agar Tomi tidak melihat bagaimana ekspresinya. Mika menatap Tomi yang masih ia temani duduk setelah tidak lagi berada di lantai atas.

"Kalau aku yang bertanya, dia pasti akan menjawab. Karena aku akan menggunakan caraku sendiri," gumam Mika, pelan.

Tomi pun menatap ke arah Mika.

"Kalau begitu cobalah. Buat dia bicara dengan caramu sendiri," saran Tomi.

Mila balas menatap Tomi.

"Om tidak akan keberatan? Caraku mungkin agak sedikit ...."

"Pak Faris," Tomi memotong ucapan Mika.

Faris pun menoleh ke arah Tomi.

"Ada apa, Pak Tomi?" tanya Faris, tetap segarang tadi.

"Biarkan Mika yang bertanya pada perempuan itu. Mika punya cara sendiri untuk membuatnya bicara," jawab Tomi.

Mika pun tertawa pelan saat sadar kalau Tomi sudah benar-benar tidak lagi peduli tentang status Arlita dimatanya. Pria itu pun segera beranjak dari kursinya dan kemudian langsung berhadapan dengan Arlita. Arlita masih memalingkan wajahnya ketika Mika duduk di kursi yang ada di hadapannya. Ia tidak percaya kalau Mika akan bisa membuatnya buka mulut, karena Mika sama sekali tidak memperlihatkan diri seperti orang yang serius. Karena pria itu terus saja tertawa-tawa sendiri seperti orang gila, bagi Arlita.

Botol kecil yang ada di dalam tas pinggang milik Mika pun dikeluarkan. Pria itu kemudian membuka tutup botol tersebut dan mendekatkan botolnya ke arah tangan Arlita yang terikat.

"Sudah berapa lama anda sering melakukan teluh kain kafan seperti itu?" tanya Mika.

Arlita tetap bungkam.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Mika, lalu menuang satu tetes air ke tangan Arlita.

"ARRRGGGGGHHHHHH!!! SAKIT!!!" Arlita mendadak berteriak sangat keras.

Suara Arlita terdengar sampai ke lantai atas. Gani bahkan bisa ikut mendengar teriakan itu dari kamarnya, dan mulai merasa khawatir.

"Jawab. Sudah berapa lama anda sering melakukan teluh kain kafan seperti itu?" Mika kembali bertanya. "Kalau anda tidak menjawab, rasanya akan semakin menyiksa. Air ini hanya bekerja pada orang yang sebelumnya pernah melakukan teluh terhadap seseorang. Jadi semakin lama anda bungkam, maka akan semakin sakit saat airnya menetes ke tangan anda."

Arlita tampak sangat tersiksa saat itu. Namun Tomi sama sekali tidak peduli ketika Ramadi, Faris, dan Federick menatapnya. Tomi benar-benar tidak mau tahu apa-apa lagi soal Arlita dan tingkah lakunya. Mika pun kembali meneteskan satu tetes air ke tangan Arlita tak lama kemudian.

"ARRRGGGGGHHHHHH!!! AMPUN!!! SAKIT!!! AKAN KUJAWAB ... AMPUN!!!"

Mika pun segera menutup kembali botol itu dan menyimpannya ke dalam tas pinggangnya. Ramadi mendekat dan mencoba memegang air yang menetes di lantai.

"Tidak terasa sakit sama sekali. Ini hanya air biasa," bisiknya pada Bapak-bapak yang lain.

"Mika sudah bilang kalau air itu hanya akan bekerja pada orang yang sebelumnya pernah melakukan teluh terhadap seseorang," balas Federick, ikut berbisik.

"Sekarang jawab. Silakan," ujar Mika.

Arlita tampak sedang mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum memberikan jawaban kepada Mika.

"A--aku ha--hanya me--melakukannya satu ka--kali. I--itu pun, su--sudah sangat la--lama," ujar Arlita, terbata-bata.

"Kepada siapa?" tanya Mika lagi.

Sejenak Arlita melirik ke arah Tomi, namun Tomi sedang tidak menatap ke arahnya.

"Ke--kepada se--seorang wanita yang a--aku anggap se--sebagai sainganku."

"Namanya?"

Arlita--mau tidak mau--harus menjawab pertanyaan itu. Ia jelas tidak mau lagi merasakan hal sesakit tadi, ketika Mika menuangkan tetesan air ke atas telapak tangannya.

"Na--namanya ... Aliana Mustika."

Tomi pun langsung bangkit dari kursinya dan menerjang Arlita hingga tersungkur ke lantai bersama kursi yang tengah diduduki oleh wanita paruh baya itu. Tomi mencekik kuat-kuat leher Arlita usai mendengar nama Aliana disebut.

"PEMBUNUH KAMU!!! AKU MENCINTAI DIA DAN KAMU MEMBUNUHNYA!!!" teriak Tomi, mengeluarkan semua rasa sakit hatinya yang selama ini sudah terpendam.

Mika, Faris, Ramadi, dan Federick segera menarik Tomi agar menjauh dari Arlita. Harun hanya melihat saja dari jauh dan sama sekali tidak mau ikut campur.

"Sudah, Pak Tomi! Sudah!" paksa Ramadi.

"Jangan ikut menjadi manusia yang keji seperti dia, Pak Tomi. Tahan emosi anda saat ini. Tahan," saran Faris.

"PEMBUNUH!!! KAMU MEMBUNUH ORANG YANG AKU CINTAI!!! JAHAT KAMU ARLITA!!! PEMBUNUH!!!"

Teriakan Tomi jelas terdengar sampai keluar rumah. Ki Yoga yang baru saja tiba di halaman rumah itu mendadak merasakan ada hal yang tidak beres di dalam rumah Keluarga Jatmiko saat ini. Untuk itulah ia memutuskan untuk berhenti dan memulai ritualnya untuk melanjutkan teluh kain kafan yang masih berjalan, tepat di tengah-tengah halaman rumah tersebut. Ziva merasakan adanya ritual yang kembali dimulai. Hal itu membuatnya segera menyeret Gani turun dari tempat tidurnya secara paksa.

"Ayo, cepat ikut denganku!" bentak Ziva.

* * *

TELUH KAIN KAFANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang