Arlita turun dari lantai atas, setelah Gani memilih beristirahat sejenak usai meluapkan emosinya tentang Rere yang ditolong oleh seseorang. Ia masuk ke kamarnya sendiri dan meraih ponselnya dari atas meja rias di kamar tersebut. Ia segera mencoba menelepon Ki Yoga, untuk mendapat penjelasan soal jarum yang tadi mendadak patah saat baru saja beberapa saat dimasukkan ke dalam wadah ritual. Ia amat sangat tidak bisa tenang setelah melihat hal tersebut. Ia takut bahwa pada akhirnya Gani dan dirinya akan kalah, lalu Rere bisa diselamatkan. Jika itu sampai terjadi, nyawa Gani dan nyawanya akan menjadi taruhan. Ia tidak akan bisa menerima kenyataan jika sampai terjadi sesuatu pada Gani. Maka dari itu ia berupaya ingin mencegah hal-hal buruk agar tidak terjadi.
"Halo, Bu Arlita. Selamat malam," sapa Ki Yoga di seberang sana."Ya, selamat malam Ki Yoga. Aku ingin menanyakan beberapa hal," sahut Arlita.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Hal sepenting apa yang perlu ditanyakan, sehingga Bu Arlita menelepon malam-malam begini dan tidak bisa menunggu pagi? Silakan, katakan saja dan aku akan menjawab pertanyaan anda," ujar Ki Yoga.
"Begini, Ki Yoga. Aku sudah pernah menjalani ritual teluh kain kafan ini untuk membunuh orang yang paling aku benci, yaitu mantan calon Istri Suamiku, hingga akhirnya tak jadi dia nikahi. Aku pernah memasukkan jarum ke dalam wadah ritual seperti yang anda sarankan, dan itu benar-benar berhasil membuatnya tersiksa. Tapi kali ini saat Putraku mencoba memasukkan jarum pada wadah ritual itu, jarum itu justru keluar kembali dari wadah tersebut dan mendadak patah menjadi dua saat terlempar ke lantai. Apa artinya itu, Ki Yoga? Apakah itu adalah pertanda buruk?" tanya Arlita, setelah memberi penjelasan.
Ki Yoga jelas menjadi sedikit kaget saat mendengar kejadian tersebut. Dukun itu langsung tahu bahwa ada perlawanan yang benar-benar sangat kuat, yang saat ini sedang dilakukan oleh sasaran dari teluh kain kafan itu.
"Itu pertanda ada perlawanan, Bu Arlita. Sasaran yang dituju oleh Putra anda sedang dibuat melawan balik atas serangan teluh kain kafan itu. Itu jelas bukan perkara yang bisa dibiarkan begitu saja. Kita harus memberikan serangan yang lebih mematikan, jika tidak ingin ada perlawanan lagi dari pihak yang menjadi sasaran. Besok pagi aku akan datang ke rumah Bu Arlita. Kita akan sama-sama memberikan serangan yang lebih dahsyat, agar sasaran Putra anda tidak akan bisa lolos dari kematian yang diharapkan," jawab Ki Yoga.
Keresahan Arlita ternyata terbukti. Pihak Rere sedang mengadakan perlawanan untuk melepaskan Rere dari teluh kain kafan yang Gani kirimkan.
"Kalau bisa datanglah pagi-pagi sekali, Ki Yoga. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada Putraku. Aku tidak ingin kehilangan dia. Jadi datanglah pagi-pagi sekali dan bantu dia untuk membuat sasarannya mati dan tak bisa melawan lagi," pinta Arlita.
"Baik, Bu Arlita. Akan aku usahakan. Pagi-pagi sekali aku akan tiba di sana dan langsung membantu mematahkan perlawanan dari pihak yang menjadi sasaran Putramu. Putramu akan baik-baik saja, Bu Arlita. Anda tidak perlu resah seperti itu. Anda tahu pasti, bahwa aku tidak pernah gagal ketika membantu mengirimkan teluh kain kafan kepada seseorang," Ki Yoga kembali meyakinkan Arlita.
"Baiklah. Akan aku tunggu. Selamat malam," pamit Arlita.
"Selamat malam, Bu Arlita."
Setelah sambungan telepon itu terputus, Arlita pun kembali menyimpan ponselnya ke atas meja. Ia menatap ke arah cermin pada meja rias, dan mulai mengingat bagaimana ketika dirinya mengirim teluh kain kafan kepada wanita yang seharusnya dinikahi oleh Tomi. Ya, dulu ia sengaja merebut Tomi, karena Tomi tidak mudah digoda dengan cara biasa. Ia sangat kesal saat Tomi tetap bersikeras akan menikahi wanita pilihannya yang sudah menjadi kekasihnya selama bertahun-tahun. Ia merasa tidak punya jalan lain saat itu, selain mengirimkan teluh kain kafan kepada wanita itu sampai wanita itu benar-benar mati. Tomi akhirnya menikahi Arlita, setelah mengalami patah hati yang dalam atas meninggalnya sang pujaan hati. Arlita berlagak menjadi pelipur lara untuk Tomi, sehingga Tomi pun luluh dan menikahinya.
Maka dari itulah Arlita tidak pernah mau meminta cerai pada Tomi, sekasar apa pun sikap pria itu terhadapnya. Ia tidak mau kehilangan hasil kerja kerasnya selama ini hanya karena perkara sikap kasar Tomi yang sesekali muncul. Ia sangat merasa puas ketika berhasil membunuh calon istri Tomi, dan kini ia sengaja mengajarkan cara yang sama kepada Gani agar Gani juga bisa merasakan kepuasan yang sama ketika Rere akhirnya mati.
"Tunggu saja, Rere. Kamu boleh melawan sekarang, tapi bisa aku pastikan bahwa itu tidak akan lama terjadi. Kamu akan segera mati seperti yang kami inginkan. Kamu akan mati tanpa bisa memberikan perlawanan lagi. Aku sendiri yang akan memastikan itu, Rere. Aku sangat membencimu, karena gara-gara kamu Putraku harus putus dari Ziva Adinata dan pada akhirnya dengan kamu pun hubungannya berantakan akibat kamu yang sudah hamil anaknya Vano Bareksa. Sekarang Putraku harus menelan pil pahit, di mana dia tidak bisa kembali pada Ziva, karena Ziva kini sudah menikah dengan Raja Wiratama dan menjadi Nyonya Wiratama. Semua itu terjadi karena kamu, Rere! Kamu adalah pembawa sial ke dalam hidup kami dan kamu harus mati untuk membayar semua kesialan yang kamu bawa tersebut!" geram Arlita.
Arlita pun segera beranjak keluar dari kamarnya dan kembali naik ke lantai atas. Ia kembali masuk ke kamar Gani dan melihat bahwa Gani kini sudah tertidur nyenyak. Ia beranjak mendekat dan duduk di tepian tempat tidur. Ia menatap begitu lama ke arah wajah Gani, lalu mengusapnya dengan penuh kasih sayang.
"Setelah Rere, mari kita singkirkan Raja dari sisi Ziva. Tidak masalah jika Ziva sudah menjadi janda, Sayang. Dia adalah yang terbaik dan Mama mau kamu memilikinya seperti Raja memilikinya saat ini," bisik Arlita.
Wanita itu jelas masih mengincar Ziva agar bisa ia jadikan menantu. Ziva adalah sosok yang benar-benar ia inginkan untuk mendampingi Gani selama-lamanya.
"Tapi jika Ziva masih saja menolak meski dia sudah kita buat jadi janda, maka tidak ada jalan lain. Kita harus mengikatnya dengan pelet, agar dia kembali menerima kamu dan bisa menjadi pendampingmu. Mama benar-benar hanya menginginkan Ziva untuk menjadi menantu di dalam keluarga kita. Mama tidak ingin yang lain," tambahnya.
Arlita pun kembali bangkit dari tepian tempat tidur dan berjalan menuju ke meja yang menjadi tempat ritual dilaksanakan. Ia menatap penuh kebencian pada foto Rere yang terbungkus oleh kain kafan di dekat wadah ritual.
"Segeralah mati, Rere. Jangan terus memberikan perlawanan yang sia-sia terhadap Putraku," desis Arlita, penuh kebencian.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH KAIN KAFAN
Horor[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 5 Ziva panik setengah mati saat Rere diserang dengan teluh oleh seseorang tepat di depan matanya. Ia dan yang lainnya berusaha keras untuk membuat Rere terlepas dari teluh itu. Keadaan yang kacau itu membuatnya...