5 | Udara Yang Terasa Menipis

1.1K 103 4
                                    

Faris, Harun, dan Ramadi menatap ke arah dinding pojok ruang tamu yang benar-benar terlihat hangus. Ramadi jelas langsung menatap ke arah Faris usai mengamati dinding hangus itu.


"Masih ada delapan belas benang lagi yang terdapat pada benda itu. Berarti masih ada delapan belas pocong yang harus dihadapi dan dihanguskan oleh Mika. Bayangkan, Pak Faris, mungkin rumah ini butuh warna baru ketika Bapak akan mengecat ulang dindingnya," ujar Ramadi.

"Papa!" tegur Ambar.

Ramadi pun dengan cepat menoleh ke arah istrinya sambil berjengit kaget.

"Ini keadaan Rere sedang tidak baik-baik saja! Jangan ngomong yang macam-macam! Jangan sampai nanti Papa yang akan Mama ceburkan ke dalam ember cat!"

Ramadi bergegas sembunyi di balik punggung Vano dengan cepat. Hal itu membuat Vano meringis putus asa, padahal dirinya saat ini sedang kalut akibat Rere yang belum terlepas dari teluh kain kafan.

"Papa jangan bertingkah konyol sekarang, dong. Kondisinya lagi genting," mohon Vano.

"Papa hanya berusaha mencairkan suasana, Van. Tidak lebih," balas Ramadi, berusaha membela diri.

Ziva kembali merendam handuk yang tadi ke dalam air dan memerasnya. Wanita itu kembali lagi ke dalam bentangan sarung dan mulai mendekat ke arah Rere. Rere menatapnya dan kembali menangis. Ziva tersenyum untuk menghiburnya sebentar.

"Kita mulai lagi ya, Re. Tahan ya, Sayang," ujar Ziva.

"Iya, Ziv," balas Rere, lirih.

Ziva pun segera mendekatkan handuk tadi ke leher Rere, dimulai dari bagian kanan.

"Bismillahirrahmanirrahim."

"ARRRRGGGGGGGGHHHHHH!!! SAKIT ZIVA, SAKIT!!!"

"Tahan, Sayang. Tahan, Nak. Tahan," pinta Mila, tak henti-hentinya membantu menguatkan Rere.

Rere menangis sejadi-jadinya saat usapan itu mulai beranjak perlahan menuju ke leher sebelah kiri.

"ARRRRGGGGGGGGHHHHHH!!!"

Rasyid menatap ke arah rumah saat teriakan Rere kembali terdengar. Pria itu mendadak merasa ngeri, karena untuk pertama kalinya ia harus menangani persoalan teluh di dalam keluarga sendiri.

"Aku dan Rere sama-sama sepupunya Ziva. Aku sepupu dari pihak Ibu, sementara Rere sepupu dari pihak Ayah. Aku tahu betapa sayangnya Ziva pada kami berdua, meskipun Rere tidak paham akan hal itu. Ziva tetap sayang padanya dan tidak akan ingin sesuatu terjadi padanya," ujar Rasyid.

"Tapi setelah semua yang terjadi saat ini berakhir, Rere pasti akan paham tentang betapa sayangnya Ziva kepadanya. Dia pasti akan paham, bahwa selama ini seharusnya dia tidak perlu menuruti rasa iri hatinya. Karena tanpa diminta pun, Ziva akan selalu ada untuk Rere. Segala sesuatunya memang harus dijalani dengan sabar, bahkan Ziva sendiri terus bersabar selama menghadapi tingkah laku Rere. Rere pasti akan paham. Pasti," yakin Raja.

"Dia harus paham, Ja. Kalau dia masih tidak paham juga, aku akan mencaci makinya habis-habisan," niat Rasyid.

Raja pun langsung meringis saat mendengar niatan itu dari mulut Rasyid.

"Tolong ingatkan aku untuk tidak membuat Ziva kesal, marah, dan sebagainya. Soalnya aku enggak mau menerima satu caci maki pun dari mulutmu," pinta Raja.

"Oh, kalau kamu jelas harus aku perlakukan secara berbeda, dong. Caci maki? Ah ... tentu saja tidak akan kulakukan. Aku akan lebih memilih langsung mencekikmu jika sampai kamu berani membuat Ziva kesal, marah, dan lain sebagainya," janji Rasyid.

Raja pun segera memilih untuk kembali memperhatikan pocong-pocong yang masih memenuhi halaman. Pocong-pocong itu terus melompat-lompat ke sana-ke mari tanpa henti. Salah satu dari pocong-pocong itu akan hilang jika teriakan Rere telah berhenti.

"Mas, itu di sana!" Santi menunjuk ke arah dekat pintu menuju ruang tengah.

Bapak-bapak yang sedang berdiri di dekat pintu ruang tengah pun segera berlari masuk ke ruang tengah dengan cepat. Tempat yang Santi tunjuk sangat dekat dengan tempat mereka berada saat itu.

"Dekat lukisan?" tanya Mika,

"Iya, Mas," jawab Santi.

Mika kini sedang mempertimbangkan apakah akan menyiram pocong yang Santi lihat atau tidak. Masalahnya adalah, lukisan itu adalah lukisan mahal yang sangat Faris sukai. Tari dan Hani pun tahu apa yang menjadi pertimbangan Mika saat itu, namun jelas Mika tidak punya pilihan lain.

"Siram, Mik! Enggak ada jalan lain!" seru Tari, gemas.

"Buruan, Mik! Jangan sampai kamu yang kami siram!" tambah Hani, tak kalah gemas.

Rian hanya bisa tertawa saat tahu kalau Mika seakan sedang berada di antara celah jurang yang dalam. Jika dia menyiram, maka lukisan milik Faris akan jadi korban. Tapi jika dia tidak menyiram, maka dirinya yang akan jadi korban keganasan Tari dan Hani.

"Semoga lukisannya selamat," desis Mika, yang kemudian langsung menyiram ke arah yang tadi ditunjuk oleh Santi.

CTASSS!!!

Satu benang lainnya terputus dari benda berbentuk pocong di atas meja. Teriakan Rere juga berhenti, dan Ziva segera keluar dari dalam bentangan kain sarung untuk mengambil nafas yang jauh lebih panjang daripada tadi.

"Ziva? Kamu enggak apa-apa, 'kan?" tanya Tari, yang ingin sekali meraih Ziva dan hanya bisa menggapai tangannya saja.

"Te--tekanan udara di dalam sana ma--makin menipis, Tar, saat aku mulai mengusap kulit Rere," jawab Ziva.

Mila dan Retno kini saling pandang satu sama lain.

"Kita tidak merasakannya, hanya Ziva yang merasakan hal seperti itu," bisik Mila.

"Mungkin karena dia yang mengusap kulit Rere, makanya hanya dia yang merasakan. Dia tadi bilang akan ada perlawanan dari si pengirim teluh, 'kan? Mungkin salah satu perlawanannya adalah tekanan udara akan sangat tipis bagi yang Ziva rasakan," balas Retno, ikut berbisik.

Ziva kini menatap ke arah Mika.

"Kalau kamu sudah tahu di mana pocongnya berada, tolong segera disiram, Mik. Aku tersiksa juga di dalam sana, bukan hanya Rere," mohon Ziva.

"Ma--maaf, Ziv. Tadi kupikir itu ... lukisan punya Ayahmu ...."

"Nyawa Rere lebih penting, Mika," potong Ziva.

"Iya, Ziv. Iya. Nyawa Rere jelas lebih penting. Maaf, ya. Maafin aku," Mika benar-benar menyesal karena tadi dirinya terlalu banyak pertimbangan.

Santi jadi ikut merasa tidak enak pada Ziva, karena tadi dirinya tidak mendorong lebih keras terhadap Mika untuk segera menyiram pocong yang muncul. Padahal tadi dia sudah melihat pocong itu muncul dengan sangat jelas.

"Mbak Ziva tenang saja, nanti aku yang marahi Mas Mika kalau dia banyak pertimbangan lagi," janji Santi.

"Tolong Suster Santi, kalau bisa sekalian dijambak saja rambutnya Mika. Biar dia segera sadar kalau terlalu banyak pertimbangan itu tidak baik," pinta Hani, cukup sengit.

Santi pun langsung melebarkan telapak tangan kanannya dan mulai melemaskan jari-jarinya beberapa kali.

"Eits ... jangan dijambak, dong. Aku lebih senang kalau disayang. Aku disayang saja, ya, jangan dijambak. Oke?" Mika membuat penawaran dengan Santi, sebelum rambutnya menjadi sasaran jambak sungguhan.

* * *

TELUH KAIN KAFANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang