1 | Putusnya Benang Pertama

1.6K 147 14
                                    

Ziva dan Rasyid muncul tak lama kemudian, sebelum Tari sempat menjawab pertanyaan dari Faris dan Ramadi.


"Harap minggir semuanya," pinta Rasyid.

Ziva masih mempertahankan keseimbangan tangannya, agar benda putih berbentuk pocong itu tidak bergeser dari posisinya saat berada di atas pisau daging. Semua orang memberikan ruang, agar Ziva bisa meletakkan benda itu di atas meja seperti yang Raja sarankan tadi.

"Oke ... pelan-pelan saja, Ziv. Sudah hampir sampai, jadi jangan buat kesalahan akibat terburu-buru," tuntun Rasyid.

"Ya, aku mencobanya Ras," balas Ziva.

Hani dan Tari menatap ngeri pada benda putih berbentuk pocong yang kini akan diletakkan di atas meja.

"Ya Allah, ikatannya," lirih Hani, seakan tahu bahwa segalanya akan menjadi sangat rumit.

Ziva akhirnya berhasil meletakkan benda itu ke atas meja tanpa menggeser posisinya. Tatapan matanya kini terarah kepada Rere yang masih kejang-kejang di sofa.

"Kita harus menghentikan kejang-kejangnya lebih dulu," ujar Ziva.

"Berarti kamu harus fokus dulu pada Rere, bukan pada benda itu," tanggap Tari.

"Tugas kalian sekarang adalah menjaga benda ini agar tidak bergeser dari posisinya. Kalian harus pastikan itu selama aku mencoba menghentikan kejang-kejangnya," perintah Ziva.

Tari dan Hani pun mengangguk dengan cepat, lalu segera berpindah posisi ke arah meja yang akan mereka jaga. Rasyid mendampingi Ziva agar wanita itu selalu tenang. Ia tidak mau Ziva kehilangan kesabaran sehingga akan melakukan kesalahan yang bisa berakibat fatal. Kini Ziva kembali ke sisi Rere, Vano bergeser sedikit dari tempatnya untuk memberi ruang pada Ziva. Kedua mata Ziva kembali tergenang oleh airmata. Ia mengusap wajah Rere dengan lembut, lalu mengecup keningnya.

"Sabar ya, Sayang. Aku enggak akan meninggalkan kamu. Kita berjuang sama-sama, ya. Aku akan lakukan yang terbaik agar kamu kembali seperti biasanya lagi," lirih Ziva.

Rasyid mengusap lembut punggung Ziva untuk menguatkannya. Vano bisa mendengar apa yang Ziva katakan, begitu pula dengan Ambar maupun Anita. Ambar maupun Anita benar-benar ingin Rere segera terlepas dari hal mengerikan yang tengah menyiksanya.

"Ras, ambil botol air yang sudah Raja siapkan. Satu saja," pinta Ziva.

Rasyid pun segera meraih botol air yang tadi sudah Raja siapkan. Ia segera mendekat pada Ziva setelah membuka tutup botol itu.

"Ruang sedikit air pada tutup botolnya," Ziva mengarahkan.

Rasyid pun segera menuang sedikit air pada tutup botol itu dan menyerahkannya pada Ziva. Ziva menerimanya dan berupaya menenangkan dirinya selama beberapa saat.

"A'udzubillahi minassyaitanirrajim. Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma inni massaniyadhdhurru wa anta arhamur rohimin," ucap Ziva.

Wanita itu kemudian meniup air pada tutup botol itu sebanyak tiga kali. Setelahnya, ia mencoba membuka mulut Rere dan meminumkan air tersebut. Perlahan kejang-kejang yang Rere alami mulai berkurang. Ziva pun kemudian menyerahkan tutup botol tadi ke tangan Rasyid, lalu menengadahkan kedua tangannya di depan botol tersebut.

"Tuang airnya ke tanganku, Ras. Cepat," pinta Ziva.

Rasyid pun segera menuang air itu ke tangan Ziva. Ziva kembali membacakan doa yang sama dan meniup air itu sebanyak tiga kali.

"Berdzikir. Siapa pun yang ada di ruangan ini tolong berdzikir," titah Ziva.

Saat semua orang mulai berdzikir, air di tangannya itu segera ia usapkan ke seluruh wajah Rere dimulai dari bagian kanan hingga tuntas.

"Bismillahirrahmanirrahim," lirih Ziva.

Tubuh Rere mulai melemas dan kejang-kejangnya sudah berhenti, seiring dengan selesainya usapan air yang Ziva lakukan. Kedua mata Rere yang tadi terus terbuka begitu lebar kini mulai kembali normal seperti biasanya. Tatapannya tampak nanar, namun ia tahu bahwa Ziva masih ada di sampingnya.

"Ziv ...." lirihnya, sangat lemah.

"Iya, Re. Ini aku. Sabar ya, Sayang. Sabar. Insya Allah aku akan usahakan agar kamu terbebas dari rasa sakit," janji Ziva.

Benda putih berbentuk pocong yang terletak di atas meja mendadak berbunyi nyaring. Seakan baru saja ada yang terputus dari benda itu.

"Ziv, benang pada benda itu terputus satu helai," lapor Hani.

Ziva hanya menganggukkan kepalanya sambil menyeka airmatanya. Raja dan Mika masuk ke rumah itu tak lama kemudian.

"Ziv, pocong yang tadi kita lihat ada banyak sekali di luar. Mereka hampir ada di setiap titik halaman rumah," ujar Raja.

"Berapa banyak?" tanya Ziva, sambil menatap ke arah Mika.

"Eh? Mana aku tahu! Yang indigo 'kan kamu dan Suamimu. Tanya sama dia, dong," tunjuk Mika ke arah Raja.

"Iya, maksudku pun begitu, Mik. Terserah siapa yang mau jawab. Ada berapa banyak pocong-pocong itu di luar sana?" ulang Ziva.

"Sekitar dua puluh, Ziv. Tapi barusan sepertinya ada yang menghilang satu," jawab Raja.

"Ya ... jelas menghilang satu. Benang yang mengikat pada benda itu baru saja terputus satu helai. Berarti masih ada sembilan belas helai lagi yang harus diputuskan agar Rere bisa terbebas dari teluh kain kafan itu," ujar Ziva.

"Astaghfirullah hal 'adzhim! Sembilan belas? Satu saja mau diputuskan, Rere tampaknya sudah sangat menderita seperti tadi, Nak," ujar Retno, sambil mengusap-usap dadanya.

"Rere masih sangat menderita saat ini, Bu," ralat Raja. "Seluruh tubuhnya kesakitan saat ini, hanya dia tidak bisa ungkapkan. Maka dari itulah dia terlihat lemas sekai."

"Hei ... mari kita utamakan untuk menyelamatkan calon bayinya. Jangan sampai calon bayi itu adalah sasaran selanjutnya," saran Hani, yang teringat bahwa Rere sedang mengandung.

"Ah, iya ... kamu benar soal itu, Han. Utamakan dulu untuk menyelamatkan calon bayinya. Calon bayi Rere jelas adalah yang paling rentan dicelakai dalam perkara ini," sahut Mika, setuju dengan saran Hani.

"Kalau bisa Rere harus diinfus agar dirinya tidak kekurangan cairan saat proses kita laksanakan," tambah Tari.

"Akan Tante telepon dulu perawat yang bertugas di rumah sakit. Tante akan memintanya membawa infus serta cadangan oksigen yang baru," ujar Retno.

Keadaan kembali hening selama beberapa saat. Faris kini langsung menatap ke arah Ziva, setelah tadi pertanyaannya tidak dijawab oleh Tari.

"Ziva, ada yang ingin kamu jelaskan pada Ayah?" tanya Faris.

Ziva tahu apa maksud pertanyaan itu, begitu pula dengan yang lainnya. Mereka sadar bahwa sekarang sudah tak ada lagi yang bisa disembunyikan.

"Inilah pekerjaan kami, Yah. Kami selalu diminta oleh pihak kepolisian untuk mengurus kasus tidak masuk akal yang tidak bisa mereka pecahkan dengan akal sehat manusia. Kami ditugaskan untuk mematahkan setiap hal yang berkaitan dengan teluh dan menyelamatkan korban yang sudah hampir berada di ambang kematian tidak wajar," jawab Ziva, menjelaskan yang ia mampu.

"Dan selama ini artinya kamu bisa melihat hal-hal yang kami tidak bisa lihat, Nak?" tanya Mila.

"Iya, Bu. Sejak kecil aku sudah begitu. Maaf karena aku tidak memberi tahu Ibu atau Ayah. Almarhumah Nenek bilang padaku, bahwa hal itu hanya akan membuat Ayah dan Ibu merasa tidak tenang jika sampai kalian tahu."

"Dan kamu juga punya kemampuan seperti itu, Nak?" tanya Retno, kepada Raja.

* * *

TELUH KAIN KAFANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang