Mendadak Hening menjelma laksana burung. Jeruji dingin berjajar merapat, bak kurungan segi empat, atau bujursangkar sempurna, mengungkung tubuhnya yang tepekur. Tidak ada celah kebebasan baginya, cuma pintu kecil jalannya, namun begitu kecil pintunya, hingga hanya separuh kepala Hening yang bisa dijulurkan, sekadar agar ia menghirup udara bebas dari kurungan burungnya. Ia sudah diperingatkan agar tidak macam-macam, namun Hening memutuskan untuk berontak.
Dengan memaksakan diri, kepala Hening lolos, utuh terbebaskan dari penjaranya. Namun dalam upaya melarikan diri, lehernya sampai terluka terhimpit oleh besi dingin, begitu parah hingga dadanya begah terengah-engah. Ia tak bisa bernapas, adakah yang bisa menolongnya sekarang? Di saat itulah Sunya mendekatinya dengan rasa panik.
"Hening! Kamu kenapa? Kamu tidak apa-apa, adikku?" Kakaknya mengusap rambutnya yang tergerai penuh keringat.
"Kak, tolong aku! Tolong, Kak! Aku terjepit di leherku!"
Sunya memasang seringai yang prihatin. Dengan hati-hati ia meraih leher sang adik, dan tak ragu-ragu memuntirnya keras-keras hingga "krek" yang menyakitkan terdengar. Tak puas sampai di situ, Sunya menjambak rambut Hening dan memelototi matanya yang terbelalak, setengah tak bernyawa, pupilnya melebar perlahan-lahan, dengan napas satu satu buncah dari bibir bening yang pias. Sunya mendekatkan wajahnya, menikmati pemandangan itu dengan kelegaan dan kepuasan.
"Kamu kan sudah diperingatkan untuk tak macam-macam, Hening sayang ..."
"Tidak! Tidak! Jangan, Kak! Jangan seperti itu!"
Sekonyong, tangan Hening bersinggungan dengan besi dingin. Bukan jeruji, syukurlah. Si gadis terjaga sepenuhnya, mendapati tangan kanannya menggenggam tiang tempat tidur besar, four poster bed, ranjang bertiang empat dari besi tempa yang tak berkarat, bukan jeruji dingin yang mengungkungnya di mimpi keparat barusan. Itu cuma mimpi, bukan kenyataan, cuma mimpi yang jahat. Kamu tidak apa-apa, tidak akan apa-apa di sini. Hening seakan merapal mantra gaib, bibirnya berkomat-kamit tanpa suara, menenangkan batinnya yang membuncah oleh ketegangan meluap-luap. Hari sudah pagi, ujarnya menghibur diri sendiri.
Tadinya, Hening mengira, pintu kamarnya akan dikunci dari luar oleh Sunya, setelah pelarian malamnya terbongkar beberapa hari lalu. Nyatanya itu tidak terjadi hingga saat ini, dan bisa saja Hening mengulangi pelariannya dengan cara sama seperti yang sudah-sudah. Namun, ia takut dan memilih patuh meminum pil putih biru, lalu efek obat akan membuatnya pulas hingga pagi menyingsing pukul tujuh. Seperti detik ini, waktu menunjukkan pukul tujuh dengan baunya yang khas.
Pukul tujuh punya bau yang menyenangkan. Baunya mirip teh melati, bercampur jeruk lemon, sedikit menyerupai kembang kemboja. Entahlah, Hening tak pandai melukiskan aroma, ia hanya pintar membaui dan menikmatinya, bahkan mimpi jahanam pun tak membuat bau enak pukul tujuh pudar begitu saja.
Hari ini hari interogasi, bukan? Hening punya kalender tak kasat mata di benaknya. Ia mencatat setiap jadwalnya di dalam hati, termasuk hari-hari yang tak enak, umpamanya posisinya sekarang sebagai saksi kunci, yang sesungguhnya tidak tahu menahu kematian orangtuanya sendiri. Bukankah ia pingsan di tempat kejadian perkara di tepi jurang lembah? Polisi-polisi tidak puas dengan keterangannya, dan ia terpaksa mengulang-ulang perkataan yang sama, ibarat menonton rekaman menyakitkan yang mesti kamu selesaikan sampai akhir. Untungnya Sunya tak pernah absen mendampinginya ke kantor polisi.
Hening tidak berharap banyak, ada kejutan di meja makannya pagi ini. Pasti tersedia segelas susu sapi segar, didampingi sepiring roti tawar panggang dengan olesan margarin tebal-tebal. Sarapan kesukaan Sunya, yang dipaksakan harus disukai Hening setiap harinya. Bukannya tidak bisa membuat sarapan sendiri, Hening harus menahan diri, karena Sunya akan mengamuk bila sarapan pagi bukan buatan tangannya sendiri. Bahkan Bibik Lik pun dibuatkan sarapan yang sama persis, dan mereka bertiga duduk patuh di meja, menikmati makan pagi ganjil, hanya dengan tersenyum kecil tanpa saling menyapa. Sesudah selesai makan, Sunya baru buka mulut dan menanyakan jadwal adiknya untuk hari tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hening Cipta Topan
Mystery / ThrillerTopan Antara Dika dan Hening Sidara Gasik. Sepasang manusia yang dihantui kematian orangtua yang misterius. Topan yang paranoid dengan racun dan kematian. Psikiater memvonisnya punya otak kriminal dan harus berhenti dari pekerjaannya sekarang. Untu...