Hening (4)

100 16 2
                                        

Suasana dapur sudah hening di pukul sepuluh malam ini. Hening merayap hati-hati, tanpa suara dan tanpa alas kaki, ini kebiasaannya bila minggat, karena bergerak serupa siluman adalah satu-satunya cara lolos dari Sunya yang mumpuni nalurinya. Kakinya sudah terlatih di alam bebas tanpa alas, justru ada kenikmatan tersendiri, menguntai embun di telapak kaki telanjangnya, merasakan rumput merebah dan kerikil kecil menggesek di kulitnya yang peka. Hening sejatinya sang Putri Malam yang syahdu.

Aroma tajam membekas pada pintu pantry, selayaknya bau dapur yang berlemak dan "gemuk". Harum rempah-rempah yang menyengat kala dimasak. Aroma pembakaran daging dalam oven besar, bahkan bau asap dapur pun melekat di kusen pintu, walaupun Bibik Lik lebih banyak mengolah makanan dengan kompor listrik, hanya sesekali memakai kompor gas yang berasap. Hening tidak bisa memasak, tetapi ia mengenali dapur ini karena menyukai baunya yang intim.

Dapur adalah satu-satunya tempat Hening tak dituntut sempurna dalam rumahnya. Ayahnya bahkan melarang ia memasak. Kulit bak pualam Hening tak pantas mengenal pisau tajam atau sodet tumpul kata ibunya. Cukup tahu beres, Bibik Lik itu tukang masak profesional, dulunya membantu di beberapa rumah makan sebelum direkrut menjadi asisten di rumah Gasik. Bahkan ibu Hening sendiri tidak bisa memasak kecuali menjerang air untuk teh dan kopi susu suaminya.

Hening menguak pintu nyatoh yang tak berderit. Tak perlu meraba dalam kegelapan, ia mengenali gudang dapur seakan membaca telapak tangan sendiri. Pintu kebebasannya tak jauh, ada di ujung belakang pantry, di balik kulkas tua abu-abu, dulu warnanya masih putih bersih. Roda kulkas untungnya tidak mendecit ketika ia menggeser pelan-pelan. Tersibaklah sebilah pintu yang sempit dan tidak tinggi. Hati-hati ia merunduk dan menyelinap keluar, lalu menutup kembali pintu tanpa bersuara sedikit pun.

Langit malam ini bergelimang bintang-bintang. Tak kalah cerah dengan rembulan yang tidak kelihatan, boleh jadi bersembunyi di balik awan pekat. Semilir angin menyibak rambutnya yang panjang, kelam, sehitam langit malam memahat pepohonan menyerupai siluet tajam. Hening ada di halaman belakang rumahnya, sebentar lagi ia bisa lolos dari bukaan gerbang yang kuncinya dikantungi gaun tidurnya. Bibik Lik menyebutnya "pintu pembantu". Bukaan yang kecil, cukup dimasuki satu orang saja, biasanya Bibik Lik mengambil jalan belakang lalu berputar memasuki rumah dari pintu samping. Pintu rahasia milik Hening, untungnya, tidak kentara kelihatan karena terhalangi patung Yunani yang melukiskan Dewa Apollo. Bahkan, tukang kebun mereka pun tidak tahu. Dikiranya pintu itu pintu mati yang tak terpakai lagi.

Kaki telanjangnya menyisir jalan setapak, menuruni tangga batu yang tidak curam, merasakan kerikil tajam menusuk, urat halus kakinya menegang sedikit, tapi langkahnya tak surut mengejar kebebasan. Bukit Tinggi nama bukitnya, ya itu milik keluarga Gasik turun temurun, terkenal dengan nyanyian burung hantu yang membangunkan bulu kuduk. Namun, Hening telah menjelma Putri Malam, menyatu dengan alam bebas, seakan ia memang dilahirkan menghirup kebebasan setiap waktunya.

Sayangnya Hening lebih menyerupai putri raja yang terpenjara. Sejak tahun lalu, Sunya melarangnya keluar rumah, kecuali ayah ibunya yang membawanya keluar. Malam itu, malam di mana orangtuanya terbujur di dasar lembah, apa yang terjadi sebenarnya? Menurut Sunya, orangtua mereka membawanya pergi dengan mobil, tapi untuk alasan apa, Sunya mengaku kurang tahu menahu.

Tahu-tahu insiden itu terjadi. Hening merasa remuk, meskipun lahiriahnya seperti tak kurang suatu apa pun. Mengapa ia tidak nampak sedih? Entahlah. Keadaannya sudah mati rasa sepenuhnya. Kehilangan orangtua baginya tidak berarti sama sekali. Justru ia takut kebebasan satu-satunya miliknya mati selama-lamanya, karena paviliun itu bakal dimiliki orang asing selama satu tahun. Rumah yang disukainya tidak ada lagi mulai esok hari.

Tubuhnya terkesiap menangkap desis aneh, datangnya dari balik pohon yang menunduk, lalu menggema sahut-sahutan dari bambu lampai yang berdempet rapat. Seperti nyanyian malam yang menyayat, lagu kesunyian itu bertingkah jangkrik mengerik dan katak mendendang kegirangan, namun semuanya sunyi, dingin, dan kuyup, oleh embun yang membasahi bilah-bilah rumput. Malam semakin dingin oleh rintik hujan sore tadi, lalu lorong pepohonan mendadak menggelap.

Hening Cipta TopanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang