Hening dan Topan (16)

69 9 0
                                    

Rumah Gasik dibangun di atas Bukit Tinggi, dibayangkan Hening sebagai rumah bunuh diri yang sarat kematian semu. Semu karena tidak kesemua penghuninya mati, setidaknya kakak adik perempuan cantik itu, Sunya dan Hening, belum mati detik ini juga, generasi ketiga Gasik yang mewariskan beban dosa nantinya, pada generasi keempat yang merupakan putra dan putri mereka. Beban dosa itu dilimpahkan turun temurun, dimulai dari sang kakek yang mulanya berdosa tak disengaja. Semuanya ada kaitannya dengan danau terkutuk, danau mati yang ironisnya masih saja dinamai Danau Baru, hingga sekarang.

Kakek mereka punya reputasi jelek. Dicap antek tentara pemerintah yang mengakibatkan sejumlah nyawa melayang, kebetulan mereka kuli tinta yang tak punya dosa. Namun, kebetulan sekali, kantor surat kabar mereka berelasi erat dengan partai bersimbol palu arit, dari koneksi sang pemilik yang simpatisan. Ada dua puluh jiwa yang disasar kopkamtib, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang dibentuk selang sehari setelah 30 September 1965. Kebetulan kedua puluh wartawan itu bersembunyi di Danu Anyar, dalam perlindungan dan naungan tetua adat setempat.

Sang pemuda dua puluh lima tahun, Ranu Tirta Dari Gasik namanya, seorang idealis yang percaya, kota kelahiran yang dicintainya pantang dicemari hal-hal yang berhaluan kiri. Sekalipun para wartawan itu dianggap bersih, semata cuma korban dari tuntutan pekerjaan sebagai pewarta berita aktual. Kakek Hening itu yang membocorkan keberadaan para pelarian politik, kabarnya mereka dianggap melawan aparat hingga ditembak mati di tempat, seluruhnya ada dua puluh jasad yang ditenggelamkan di Danu Anyar, danau hidup yang lantas menyurut tiba-tiba dalam sehari dan semalam saja. Danu Anyar pun menjelma danau mati, hingga sekarang.

"Jasad-jasad itu tidak diketemukan, walaupun danaunya surut dalam sehari dan semalam. Ada dua puluh jasad, dan seluruhnya tertelan dasar danau yang kelam." Hening menuturkan cerita pada Topan yang mendengarkan saksama.

Dasar danau yang kelam. Bukankah itu perkataan ibu Topan dahulu sebelum menghilang? Orangtuanya yang tenggelam juga tak pernah kembali, bahkan jasadnya pun tak kembali diketemukan. Seakan dasar danau menelan mereka hidup-hidup, atau merenggut orangtuanya dalam keadaan tanpa nyawa, seperti korban dua puluh jenazah yang ditenggelamkan untuk kesalahan yang disengaja?

Pada tahun kelam 1965 itu, palu arit simbol momok yang ditakuti. Semua hal yang berbau kiri akan ditumpas tanpa ampun, bahkan slogan yang berlaku kala itu tak kalah mengerikan, lebih baik salah bunuh seribu daripada meloloskan satu. Mungkin saja dua puluh nyawa itu tidak bersalah, hingga kematian mereka ditutup-tutupi dengan cara penenggelaman secara massal. Kakek Hening boleh jadi dihantui dosa membunuh tak sengaja. Barangkali sang kakek cuma mengharapkan penahanan, bukan kematian sia-sia korban politik yang tidak tahu menahu sesungguhnya.

"Ayah ibu saya membayar lunas dosa kakek saya. Mereka terbujur di dasar danau yang kering. Takdir yang saya benci memang seperti itu. Ironi hidup yang melucu, mempermainkan nasib manusia yang merasa punya kuasa penuh atas hidupnya." Hening kembali bertutur dengan lancar.

Topan mendengarkan dengan tegang. Perbuatan kakek Hening bukan satu-satunya dosa berdarah keluarga Gasik. Bukankah banyak kematian yang tertutup-tutupi di Danu Anyar, kesemuanya mengerucut pada nama terhormat di kota ini. Gasik. Keluarga kaya raya dan berpengaruh di lereng kehancuran. Reputasi melandai yang terancam pupus di dasar jurang, karena sebuah perlawanan. Iptu Ananda tak ingin serupa nasib kakek dan ayahnya. Si polisi muda giat melawan, dan Topan sudah digaet sebagai sekutu asing yang diandalkan. Namun, ada Hening di sini.

Bisa memandangi paras Hening berlama-lama adalah mimpi Topan yang jadi kenyataan. Mereka bukannya jarang bertemu muka. Sebelum Hening datang ke sisi Topan, dua kali dalam sehari mereka bersua di meja makan. Aroma nikmat pertemuan itu yang ditunggu-tunggu Topan, bukan harum masakan Bibik Lik yang tiada duanya. Namun, Topan menekan emosi itu diam-diam, karena mata Hening begitu menyerupai almarhumah istri Topan. Bukan cuma warna mata yang mirip, ada nyawa di kedua pasang mata itu. Mata Hening dan mata Summa sama-sama terlihat hidup, bergelora hebat, dan mencari tak hentinya jawaban yang mustahil.

Hening Cipta TopanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang