Topan (9)

63 11 0
                                    

Perasaan manusia sungguh njelimet (baca: rumit). Maka dari itu, Topan sebagai seorang awam merasa, perilaku manusia yang sulit dikontrol, atau dalam istilah kasarnya kurang waras, sah-sah saja dinamakan "complex". Kata ini kebetulan mengingatkan pada "kompleks" yang artinya rumit dan penuh kesulitan. Father Complex, Mother Complex, Daughter Complex, Sister Complex, Cinderella Complex, Oedipus Complex, kira-kira itu sederet contoh yang lumrah.

Namun, Topan kurang yakin soal Husband Complex, kemungkinan ini penyakit yang menimpa Ellin Sugono, sang dokter jiwa tenar nan cantik jelita, yang disinyalir Topan bernasib cukup malang sebetulnya. Memilih satu dari dua - yang kamu cintai kedua-duanya dengan sangat - memang sulit sekali keputusannya. Antara suami tercinta atau kegilaan bekerja keras. Di satu sisi, Ellin takut sekali kehilangan hati sang suami. Di sisi lainnya, ia tak sudi merendahkan ego maupun memadamkan "ambisi mahalnya", dengan kata lain, Ellin ingin merengkuh kedua kecintaannya itu erat-erat, hingga akhirnya perlahan ia remuk karena memeluk terlalu kuat.

"Sudah? Sudah ada jawaban dari your hubby, Lin?" Topan menilik pelipis kiri Ellin, mencari tanda depresi, karena Ellin yang banyak pikiran selalu memunculkan urat kebiruan besar-besar di pelipisnya.

"Belum tuh, belum online." Ellin memijit-mijit ponselnya, tepat di hadapannya menjulang tumpukan empat kardus paket yang siap dijemput ekspedisi "F", kesemuanya kardus cokelat tua yang dilabeli stiker Fragile saling silang.

Sejurus kemudian Ellin Sugono mengangkat muka, menyudahi kesibukannya dengan ponsel dan sang suami baru. Senyum kecilnya mengerucut, menatap Topan dengan kacamata hitam terpasang. Meja Topan sendiri bersih, hanya ada map plastik hijau diisi berkas-berkas surat jalan, sejumlah besar tertanggal empat tahun silam, yang terbaru baru ditandatanganinya empat puluh menit sebelumnya.

"Eh, Fan. Sorry ya kalau aku ganggu kamu kerja. Kayaknya kamu sibuk, deh."

"Bisa kamu lihat sendiri, betapa sibuknya aku. Hahaha." Topan membentangkan lengan, kedua-duanya merangkul sandaran kursi kantoran yang didudukinya. Kursi kantor hidrolik yang nyaris kelihatan baru, baru ditinggal pengelola lamanya yang bekerja genap satu bulan ketika resign tiba-tiba.

"Sibuk, kan? Betewe, kamu tinggal di mana, Fan? Oh ya, paviliun ya? Kamu sewa rumah kecil kan? Punyanya bos taman kupu-kupu ini, bukan?"

"Ho-oh, iya, benar. Kayak yang aku ceritain ke kamu, Lin."

Ellin membenahi ujung keriting rambutnya, memuntir-muntirnya dengan jari sedemikian rupa, menanggalkan kacamata dan meniupnya ringan untuk mengenyahkan debu, lalu secepatnya sepasang lensa hitam itu bertengger kembali, tanpa ia menatap Topan lurus-lurus, kebiasaan profesional Ellin saat mereka berhadapan muka sebagai dokter jiwa dan pasiennya.

"Kamu pasti mau main ke rumah baru aku, deh. Tapi, maaf banget, Dok Ellin yang baik, lain kali aja gimana? Rumahku masih kayak kapal pecah, tuh. Aku belum sempat bebenah, maklumlah orang bujangan, sih. Semoga gak kecewa, ya."

"Bujangan second hand, kali deh. Udah itu gede rasa lagi kamunya, Fan, Fan. Pliss deh."

Singkat cerita, puas mengerjai Ellin yang mengoloknya bujang second hand, Topan sengaja berbaik hati menawarkan tur keliling taman kupu-kupu, mumpung orang-orang ekspedisi "F" masih beberapa jam lagi sampai di lokasi. Jujur, Topan sendiri belum benar-benar hafal medan, sudut-sudut taman sebagian masih asing buatnya, karena kemalasannya beranjak dari kantor pengelola yang nyaman, dalam arti pendingin ruangannya menyejukkan dan mejanya lapang dan sangat bersih. Pekerjaannya juga bersih sekali, cukup angkat telepon, pegang pena, lalu tahu-tahu semuanya sudah beres. Tanpa perlu sistem yang canggih, pengelolaan taman ini seakan berjalan dengan sendirinya. Jadi, sebenarnya peran Topan ini pengelola urusan macam apa, ya?

Hening Cipta TopanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang