Topan (13)

59 11 2
                                    

Iptu Ananda memperlihatkan buku catatan kusam yang berdarah. Tidak, buku itu tidak bernoda darah, akan tetapi mengisahkan kematian-kematian misterius di Danu Anyar, dalam rentang yang terbilang panjang, bahkan dimulai sebelum tahun 1965 yang penuh tanda tanya. Tahun kelam itu, 1965, di mana sumber air terbesar kota mengering tiba-tiba, dalam sehari semalam saja, disinyalir juga berhubungan dengan darah.

"Benang merahnya sama, Pak. Buku catatan tua ini isinya kasus misterius berdarah, dan kaitannya mengarah pada satu nama saja, yakni Gasik."

"Bukan main. Ini artinya ..."

"Sebelum pensiun, kakek saya mewariskan buku catatan pada ayah saya, lalu ayah saya meneruskannya pada saya. Sudah tiga generasi kami mengabdi di Danu Anyar sebagai polisi. Mungkin anak saya kelak akan menjadi yang keempat."

Topan mencoba mencari kaitan antara Iptu Ananda dengan buku catatan kuning di tangannya, buku yang betul-betul menguning dimakan usia, dan usia si polisi yang masih begitu muda dan idealis. Usia idealis di antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Dulu Topan juga sama idealisnya saat semuda Iptu Ananda, namun memasuki umur lebih dari seperempat abad, perlahan kenyataan hidup memberi bukti, idealisme itu cuma omong kosong yang tak bisa dimakan.

"Artinya kematian yang berkaitan dengan Gasik tidak bisa diusut, apalagi dituntut keadilannya, begitu, Pak Ananda?"

Topan melirik diam-diam, mengarah ke pintu rumah yang terkuak, namun istana Gasik yang megah nun jauh di atas bukit menjulang, dan rumah ini membelakangi kaki bukit, menghadap hamparan hijau yang permai dan bersemak-semak rendah. Kata Gasik selalu dikaitkannya dengan Hening. Namun, anehnya, Topan selalu diyakinkan hati kecilnya, Hening bersih dan tak bersalah dalam kaitannya dengan nama keluarganya, sebuah nama yang paling ditakuti, paling disegani, dan paling punya pengaruh hebat di kota ini.

Konspirasi ganjil, kata Iptu Ananda, melibatkan tiga generasi Gasik dengan pihak pemangku kepentingan di kota ini. Namun, sang terduga konspirator generasi kedua, Tuan Gasik yang adalah ayah Hening, terbunuh dalam kasus yang mencuat belakangan ini. Tanpa angin dan tanpa hujan kasusnya lantas dipetieskan, sebelum kasus berikutnya menggegerkan tak kalah dahsyat, dikaitkan dengan lagi-lagi nama Gasik. Mandor perkebunan teh yang vokal dan pembangkang itu, ditemukan tewas mengenaskan hanya sepuluh meter jaraknya dari kediaman Topan.

"Nah, begini, Pak Topan. Ada spekulasi kalau Mandor bernama Yamin alias Pahing itu keracunan makanan. Namun, ada spekulasi kedua, keracunan itu cuma sebagai kedok, tujuannya mengalihkan tuduhan ke pihak lain. Masalahnya, saya keburu dibebastugaskan sebelum terjun lebih jauh dalam kasus ini."

"Berarti mereka tahu Pak Ananda punya sesuatu yang tak diketahui orang banyak?"

"Persis. Buku catatan ini saksi bisunya. Kakek saya yang pertama kali gagal, disusul ayah saya, lalu kegagalan ini harus saya emban, karena kami semua keburu dipecat atau dibebastugaskan saat penyidikan nyaris menyibak titik terang."

"There' s something fishy about it." Topan menggumam pelan, berharap Iptu Ananda tidak menyimak ucapannya.

"Ya, fishy. Benar, Pak, bau amis itu termasuk bau tak enak. Bapak pasti tahu ujaran lama ini, bangkai tidak bisa selamanya tersimpan rapat. Lambat laun pasti terungkap meski sudah disembunyikan serapi dan secerdik mungkin."

"Siapa yang mengirim Bapak kepada saya? Atau cuma kebetulan Pak Ananda tahu soal saya?" Topan mendelik penasaran, tanpa niatan terlihat kurang bertata krama.

"Sumber yang bisa dipercaya, Pak. Bapak penulis skenario ternama, kan? Pasti Bapak sering bertemu kebetulan baik di fiksi maupun dunia nyata. Kebetulan itu bukan pepesan kosong, sebabnya dunia ini sudah semakin sempit, Pak. Apa pun bisa terjadi berkat teknologi ciptaan manusia. Misalnya, tanpa kendaraan mobil, Pak Topan pastinya tak terpikir pindah jauh-jauh ke kota kami, kan?"

Hening Cipta TopanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang