Hening (7)

86 16 1
                                    

Sesudah pengereman mendadak itu, kedua penumpang dalam mobil, Hening dan Sunya keluar berbarengan, lantaran sebuah objek putih di tengah jalan menyambar perhatian Sunya yang matanya awas. Isyarat tangannya menunjuk benda yang tergolek di badan jalan, menyerupai kucing kecil terkapar dan tak bergerak. Mungkinkah ini korban tabrak lari pemobil tak berperasaan?

Suasana jalan kebetulan lengang. Mereka punya cukup waktu untuk menepi, mengamati makhluk malang yang mungkin saja tengah meregang nyawa, siapa tahu mereka masih bisa menyelamatkan hidupnya? Makhluk itu putih bulunya, tetapi kumal dan mengenaskan, dengan telinga panjang yang bertabur kudis, bulu-bulu panjangnya begitu kusut tak terawat, sebagian sudah gimbal membentuk sulur-sulur tak beraturan, digerogoti kutu tungau sekaligus penyakit borok yang menjijikkan.

"Ya ampun, Kak. Ini kelinci ternyata. Dia masih hidup." Hening merasakan denyut nadi di kaki dan leher si kelinci berbulu rusak.

"Kelinci anggora. Ini kelinci ras, bukan jenis kelinci potong atau kelinci kampung. Pasti dulu ada pemiliknya, tapi kelinci ini dibuang karena tak terawat." Sunya memaparkan analisisnya.

"Kasihan sekali, ya. Untung saja tidak terlindas mobil. Sepertinya kelinci ini kelaparan dan haus, Kak. Kita bawa dia pulang, ya? Kita rawat dia, boleh kira-kira?"

Binar-binar di mata Hening memaksa Sunya tergerak, lalu meluluskan keinginannya. Boleh saja, ia mengangguk setuju, disusul pekikan Hening yang girang, maka tanpa buang waktu kelinci lemah itu berhasil diamankan dalam rengkuhan lengan Hening. Keadaannya begitu rapuh dan mengkhawatirkan, Sunya sedikit risau kelinci itu takkan bertahan lama, sementara Hening sudah demikian mencintainya pada pandangan pertama.

"Jangan terlalu menyayangi kelinci itu, Hening. Takutnya dia tak bisa bertahan hidup. Kamu pasti sedih sekali kalau dia ..."

"Aku akan membuat dia hidup, Kak. Apa pun jadinya, kelinci ini pasti umurnya akan panjang." Hening mengangguk kuat-kuat, menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. "Lihat, coba lihat Kak, matanya membuka setengah, dia lagi mengendus tanganku. Masih ada harapan. Syukurlah, segala puji kepada Tuhan."

Bibik Lik begitu terperanjat melihat kelinci yang ditelantarkan dan penuh kudis, tubuhnya kurus kering karena malnutrisi sejak lama, belum lagi keadaannya dehidrasi berat dengan bulu menyedihkan karena tak dimandikan pemilik sebelumnya. Mereka memutuskan meminta bantuan seorang profesional. Kebetulan, ada praktik dokter hewan yang bisa dipanggil ke rumah. Meskipun kabarnya, dokter muda itu spesialisasinya menangani hewan ternak besar, semisal sapi, kerbau, kuda, dan domba.

"Bisa pasti. Kelinci itu diternakkan untuk dagingnya, kan? Tidak jauh beda, sama-sama hewan ternak juga kok, Nona." Bibik Lik meyakinkan Sunya agar mengontak dokter hewan yang dimaksudnya.

Singkat cerita, dokter hewan yang dipanggil ke rumah mereka begitu antusias merawat si kelinci anggora. Dengan terampil, dokter muda itu melakukan grooming pada si kelinci, memangkas gimbalnya sampai habis, sembari menerangkan asal-usul ras kelinci, diperkirakannya jenis English Anggora White Solid. Padahal harganya tidak murah di pasar hewan Barito dan hanya sedikit miring jika dijual secara daring. Hanya saja, kelinci ini jatuh ke tangan yang salah, karena diabaikan sebelum dibiarkan untuk mati di jalan oleh pemilik tak bertanggung jawab.

"Untuk obat kutu kelinci harus khusus formulanya. Biasanya yang saya sarankan berbentuk spray atau semprotan. Jangan pakai obat kutu kucing atau anjing yang ada zat permethrin dan organofosfat. Kedua-duanya tidak aman untuk kelinci. Jangan pakai kalung anti kutu juga. Bisa menimbulkan luka bakar dan luka sengatan. Lagipula kelinci suka menggigit. Khawatirnya kalungnya digigit-gigit, lalu kelincinya keracunan atau cedera di mulutnya." Si dokter hewan menjelaskan seraya menyisir sisa bulu kelinci dengan sisir bergigi rapat. Sebelumnya sisir dibasahi dengan cairan alkohol 70 persen.

Hening Cipta TopanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang