Chapter 8 - Paradise Island

2.1K 150 1
                                    

Aisha tersenyum membaca berbagai komentar di akun Instagram-nya setelah memposting foto romantisnya bersama Gratia. Banyak yang memberi dukungan, namun banyak juga yang mencemooh pilihannya lalu mengata-ngatainya dengan julukan yang buruk.

Sekarang ia tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari LGBTQ+. Dirinya cukup beruntung karena banyak penggemarnya yang siap membelanya di garda terdepan.

Jadi ia tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk membalas perkataan jahat yang mereka lontarkan.

“Ngomong-ngomong, Ma'am ... kapan kalian memutuskan untuk berbulan madu?” tanya Emma disela makan siang mereka bertiga.

Aisha mengalihkan perhatian dari ponselnya untuk menatapnya. “Bulan madu?” tanyanya. “Untuk apa?”

BRAK!

Emma menggebrak meja membuat Aisha dan Gratia terlonjak. “Untuk apa!? Ya—jelas untuk bersenang-senang,” jawabnya penuh urat.

Aisha melirik Gratia sekilas. “Aku harus bekerja.”

Gratia mengangguk kecil, kembali menikmati pasta-nya. Pernikahan mereka tidak nyata. Sedangkan bulan madu hanya untuk pernikahan yang nyata—yang dilakukan oleh dua manusia yang saling mencintai—agar mereka memiliki waktu sendiri untuk berbagi kasih.

Jadi mereka bulan madu untuk apa.

Emma menghela napas. “Aku tahu kau seorang pekerja keras. Tapi—Ma'am, sudah sewajarnya seseorang pergi bulan madu setelah menikah,” ujarnya. “Dan kau juga harus istirahat sejenak dari pekerjaanmu. Setelah semua yang terjadi—kau dan Paul—kau berhak mendapatkan waktu luang bersama istrimu.”

Setelah mendengar ucapan panjang Emma, Aisha menatap istrinya. Yang kemudian balas menatapnya.

“Menurutmu kita harus melakukannya?”

Ditanya seperti itu membuat jantung Gratia berdebar. “Aku—terserah saja.” Tapi ia akan merasa bahagia jika bisa berbulan madu bersama Aisha.

Maksudnya, idolanya.

Karena tidak pernah terbesit dalam kamus Gratia jika dirinya akan berbulan madu bersama model kesukaannya.

Dapat bertemu saja sudah sangat bersyukur. Ditambah menikah dan pergi bulan madu. Siapa yang menyangka hal itu bisa terjadi.

Aisha menghela napas, menyimpan ponselnya ke dalam saku blazer-nya. “Apa ada tempat yang ingin kau kunjungi?”

Sebenarnya ide itu sama sekali tidak buruk. Dan Aisha juga merasa dirinya perlu liburan.

Benar kata Emma. Paul membuatnya lelah. Baik batin maupun fisik. Pria itu membuatnya pontang-panting sampai membuatnya harus menikahi gadis asing di pinggir jalan.

“Maldives?” Gratia menjawab ragu.

Senyum Aisha merekah. “Itu tempat yang indah. Kalau begitu kita pergi ke sana untuk bulan madu.” Ia juga sudah lama tak menginjakkan kaki di sana.

Gratia tersentak tidak percaya. “Serius?” Anggukan mantap Aisha membuatnya tersenyum lebar.

Bulan madu di Maldives, ya?

Gratia menyantap makanannya dengan jantung berdebar.

Emma ikut tersenyum lega. “Setelah bulan madu, aku tidak sabar melihat kalian memiliki anak,” selorohnya.

“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Gratia seketika tersedak makanannya.

Aisha dengan sigap menepuk-nepuk punggungnya. “Makan pelan-pelan saja,” ujarnya lembut.

Gratia menggeleng. Kedua matanya berkaca-kaca akibat perih di tenggorokannya. Dan bukan soal makanan. Ia terkejut mengetahui Aisha ingin memiliki anak.

“Kau tidak apa-apa?” Emma menyodorkan air putih kepada Gratia yang sudah mulai tenang.

Gratia menerima dan menenggaknya dengan rakus. Kemudian menatap Aisha dengan mata membulat. “A-aku tidak tahu kalau kau ingin punya anak.”

Aisha terdiam. Setelah orang-orang di sekitarnya mendesaknya untuk menikah, sekarang mereka mendesaknya lagi untuk segera memiliki anak.

Sialnya jika ia menjawab ‘tidak’, Emma bisa curiga karena selama ini Aisha juga pusing memikirkan tentang siapa yang menjadi penerus bisnisnya nanti. Tapi memiliki anak tidak ada dalam daftar kontrak pernikahannya dengan Gratia. Ia tidak yakin gadis itu mau mengandung dan melahirkan anak untuknya. Apalagi 10 juta terlalu murah jika sampai bertaruh nyawa.

“Masih terlalu dini untuk membicarakan soal anak,” Aisha akhirnya menjawab, tersenyum kecil. “Kami baru menikah beberapa hari yang lalu. Apa kau lupa?”

Emma mengangguk. “Benar juga.” Senyumnya merekah. Tidak merasa curiga sedikitpun melihat tingkah laku dua wanita di hadapannya. “Tapi sebaiknya jangan terlalu lama. Grat sudah cukup matang untuk mengandung.”

“A-aku?”

Gratia terhenyak.

Emma mengangguk lagi. “Ya. Aisha terlalu tua untuk hamil dan melahirkan. Jika dipaksa, resiko kematiannya akan lebih besar. Jadi lebih baik jika kau yang hamil karena kau masih muda.”

Detik itu juga, Gratia menelan ludahnya.

Baca selengkapnya chapter 8 sampai 10 sudah tersedia di KaryaKarsa atau klik link di bio :)

She and Her Sexy CEO (KaryaKarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang