"Bule, mienya udah jadi?"
"Sudah."
Revan bangkit dari duduknya, dia melangkah mendekati Bule Tia yang membawa nampan yang berisikan mie instan yang dia pesan dan juga ada es teh manis. Revan mengambil alih nampan itu, setelah mengucapkan terimakasih pada Bule Tia, Revan kembali melangkah ke tempat duduknya.
Azka tengah fokus pada ponselnya langsung menegakkan wajahnya saat Revan sudah siap untuk menikmati mienya, cowok itu mengambil sedotan yang berada di dalam gelas es teh manis milik Revan, yang kemudian dia pindahkan ke dalam gelasnya yang berisikan kopi. Dan Azka pun mulai menikmatinya seraya dia kembali fokus pada ponselnya.
"Lo chatting an sama Nyokapnya Bianca? Lo mau jadi pembinor?" semprot Eza yang berada disebelah Azka, cowok itu yang tadinya asik bermain Pou langsung membelak matanya saat tidak sengaja melihat layar ponsel Azka.
"Sembarangan lo!" balas Azka.
"Lo gak tau strategi Azka? Dia mah deketin dulu Mak Bapaknya, baru anaknya, itung-itung biar di restuin dulu." timpal Revan yang sedang mengunyah mienya.
"OH GITU!" sahut Eza tersenyum geli.
Azka memutar bola matanya malas, dia berdecak. "Gue gak suka Bi, tipe gue bukan cewek polos bloon kayak dia!" kilahnya.
Revan dan Eza kompak tersenyum menggoda. "Oh bukan tipenya." Eza mengangguk.
"Padahal dalam hati bilang suka pake banget." Revan memberikan senyum mengejek Azka.
"Emang tipe lo kayak apa, Ka?" tanya Eza yang.
Azka berdeham sebentar membuat kedua remaja itu menatap Azka penasaran. "Kayak, Zea." Azka tersenyum.
Revan menatap tajam Azka, dia berdiri dari duduknya dan mencengkram kaos putih polos Azka. "Bangsat lo!" Revan memberikan bogeman mentah pada rahang tegas Azka.
Eza hanya menonton keduanya, dia tidak berniat melerai, bahkan Eza mengambil mie Revan yang masih banyak dan memakannya, juga sesekali menyeruput kopi milik Azka.
Bagus hanya mereka bertiga di warung Bule karena hari sudah larut, entah anak-anak yang biasa nongkrong di Bule itu pulang ke rumah, atau bahkan mereka tengah menonton balap liar yang diadakan, atau mungkin mereka tengah menghabiskan makanan di rumah salah satunya.
"Bangsat! Gue bercanda, anjir!" Azka berucap sebelum Revan memberikan bogeman ke wajahnya.
Revan menendang tulang kering Azka pelan, yang kemudian meninggalkan Azka yang tengah meringis serta mengumpat kesakitan. Revan kembali duduk manis dan meminum es teh manisnya, mau makan mie, tapi sudah habis oleh Eza yang sekarang menyengir tak berdosa.
Azka terus menggerutu dan mengumpat sambil berjalan kembali ke tempat duduk di sebelah Revan. Kenapa tadi Azka tidak membalas Revan? Jawabnya kalau dalam bela diri, dia tidak sehebat Revan, bisa-bisa sahabatnya itu memberikan lebih, efek dulu saat latihan dia lebih sering bolos.
Azka menyodorkan ice bag pada Azka yang ia minta tadi pada Bule Tia ketika mereka masih aksi baku hantam. "Enak?" tanya Azka tertawa.
"Enak pantat lo!" sunggut Azka. Cowok itu mengambil kasar ice bag.
"Lebay!" Revan menggeplak lengan Azka.
"Si monyet!"
****
"Papa bangga banget sama kamu." ucap Darren menoleh sekilas dan tersenyum ke arah putrinya.
Zea ikut tersenyum. "Thanks for your support. Aku bisa sampai di sini karena Papa."
"Papa selalu dukung apapun, asal itu yang baik." Tangan satu yang bebas mengusap puncak kepala Zea.
Zea sudah izin pada teman-temannya dan guru-guru kalau dia pulang dengan Papanya, maka dari itu Zea berada di dalam mobil Papanya saat ini, bukan hanya dia, Bella juga memilih ikut pulang dengan orangtuanya. Hitung-hitung Pak Wili tidak capek-capek menghantarkan Zea ataupun Bella yang tidak membawa kendaraan saat tadi berangkat.
"Zea tidur gakpapa?" tanyanya pada Darren. Cewek itu tengah membenarkan posisi nyaman untuk tidur.
"Kenapa engga? Nanti kalau sudah sampai, Papa bangunkan." jawab Darren menoleh sekilas pada Zea.
Zea menyenderkan kepalanya pada kursi. Zea menatap ke arah luar jendela, tadinya dia ingin menutup matanya, tapi kedua netranya menangkap seseorang yang sangat familiar.
Motor besar berwarna hitam itu, dia tau pemiliknya. Revan Andreas. Bukan itu yang membuatnya resah, tapi di jok belakang ada yang mengisi, Zea tidak bisa melihat wajah cewek remaja itu karena posisinya, mobil Darren berada di belakang motor Revan. Di lampu merah ini.
Who is she?
****
Beberapa menit sebelumnya.
Revan menyipitkan matanya dari dalam helm fullfacenya-berniat untuk memastikan apa yang dia lihat tidak salah, ya dia tidak salah lihat. Tanpa membuang waktunya lagi, Revan segera menarik gasnya dan memperkirakan motornya di pinggir agar kendaraan lain tidak terganggu oleh motornya. Tanpa melepaskan helmnya, Revan turun dari motonya dan segera menarik seseorang yang berada di atas pembatas jembatan.
Cewek itu reflek berteriak walaupun teriakannya terpendam dengan suara-suara kendaraan yang lalu-lalang. Revan melepaskan helmnya dan menaruhnya di bawah, satu tangan mencekal lengan cewek itu erat, takut-takut cewek itu akan kembali mencoba bunuh diri.
"Lo gila?" tanya Revan marah.
Cewek dengan rambut hitam itu menyentak tangan Revan dari tangannya, alisnya menyatu. "Lo yang gila!" balasnya ikut marah.
Revan menyugarkan rambutnya, "lo kalau mau bunuh diri liat kondisi! Jangan di tempat yang ramai!"
"Siapa yang mau bunuh diri?" tanya cewek itu menatap wajah Revan sedikit mendongak karena cowok yang ada dihadapannya lebih tinggi darinya.
"Lo lah, lo duduk di sini, orang yang pertama kali liat lo aja berpikiran kalau lo mau bunuh diri!" kata Revan seraya menunjuk pembatas jembatan yang beberapa menit lalu cewek itu duduk.
"Gue duduk biasa! Dan gue liat ke bawah karena kalung gue jatuh! Gak ada niatan bunuh diri ya!" jawabnya.
Revan berdecak. "Jadi beneran lo gak mau bunuh diri?" tanya Revan memastikan.
Cewek itu mengangguk. "Engga. Dosa gue banyak, belum cukup amal buat masuk surga."
Revan menghembuskan napasnya kasar. Jadi dia membuang waktu di sini? "Oke." Revan mengambil helmnya dan memasang kembali, dia melangkah mendekati motornya.
"Woy." panggil cewek itu.
Revan yang sudah duduk di atas motor menoleh malas pada cewek yang tengah berdiri di sebelah motornya. "Apa?"
Cewek itu menatap Revan ragu, "gue nebeng, hp gue juga ikut jatuh ke bawah. Boleh?" tanya cewek itu hati-hati. Kalau ponselnya tidak jatuh juga dia tidak akan meminta tebengan pada cowok yang baru saja dia lihat. "Kalau gak boleh, gue minjem hp lo deh, buat mesen ojek online."
"Hp gue mati, gue tebengin lo-"
"Zia." potongnya saat tau kalau cowok yang bersamanya tengah bingung memanggilnya apa.
Revan mengangguk. "Oke Zia. Lo gue tebengin. Cepet naik."
Zia mengangguk. "Makasih? Nama lo?" Zia sedikit mencondongkan wajah setelah dia sudah naik.
"Revan."
"Makasih Revan."
Karena hari sudah larut, Revan langsung menancapkan gasnya tanpa mau membuang waktu lagi. Dia jadi berpikir, kira-kira apakah Zea akan marah saat tau dirinya memboncengkan cewek lain?
****
see youuu.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVAZE [Segera Terbit]
Teen FictionRevan dan Zea, perpaduan yang sangat cocok. Revan dengan keminusannya dan Zea dengan nilai plus di mata orang-orang. Sebenarnya tidak semenyenangkan itu berpacaran dengan seorang Revan bagi Zea, karena: 1. Revan yang cemburuan. 2. Revan yang posesif...